Friday 24 February 2012

Cahaya-cahaya kita (1)


Hari itu, kita akan saling debat mempersoalkan satu hal. Tentang anak-anak kita. Debat yang dibumbui oleh satu sendok tawa, tiga siung rajuk, atau mungkin dua potong kesal agar lebih terasa. Itu bukan bertengkar. Kita kembali bermain puzzle-puzzle yang tak akan pernah kita bosan mainkan.

Kukatakan padamu aku ingin lima anak. Oke. Mungkin kau keberatan. Apa? Kau ingin sebelas? Tanyaku ditengah usulmu yang menginginkan tiga anak saja. Aku tertawa melihat kau melongo saat itu.

Baiklah sayang. Tawar menawar selanjutnya akan kita gelar pada doa-doa padaNya. Katakanlah agar lebih mudah memberi perumpamaan. Aku mengalah untuk menyamakan suara denganmu. Tiga anak. Aku mengusulkan nama-nama indah berisi doa ini pada mereka: Nur, Ray, Hikari. Kalau kau kurang suka, aku tak akan memaksa. Hanya akan kembali meminta agar aku nanti bisa memanggil mereka dengan panggilan itu. Tak apa kan?

Mengapa kau ingin menamai mereka dengan nama-nama itu? Tanyamu sembari memasang senyum. Seperti yang sudah kau duga. Aku ingin mereka bisa memiliki sifat layaknya sinar. Cahaya. Pelita. Tidak untuk hidup mereka sendiri. Tapi juga untuk orang lain. Saat ada yang bertanya pada mereka apakah arti nama mereka. Nur, ray, dan hikari akan kompak menjawab: cahaya.

Nur, ray, dan hikari. Hey bukankah kau tidak bisa melafalkan huruf r? tanyamu yang membuatku tersentak lantas manyun. Lalu? Aku akan memanggil mereka dengan lafal yang lebih mudah tapi penuh cinta: nun, ley, hika. Hey! Sah-sah saja bukan?

Nur,ray, dan hikari akan tumbuh bersama zaman. Aku tahu. Kau juga tahu. Zaman mereka dan zaman kita tentu berbeda. Lesatan teknologi atau perilaku masyarakat yang mungkin membuat kita geleng-geleng kepala. Nur, ray, dan hikari mau tak mau harus menjalaninya. Menjalani proses yang tentu akan membuatmu pusing dan aku terus mengomel

Saat mereka sedang manis-manisnya. Kelelahan kita akan terbayar dengan tampang lugu dan tatapan polos mereka. Kita tentu tak akan merasa lelah dengan itu. Masih memiliki banyak energi hingga ke dongeng-dongeng pengantar tidur mereka. Bukan dongeng tentang kura-kura yang menipu si kancil saat lomba lari. Namun dongeng kura-kura yang dapat menang karena kesalahan kancil itu sendiri. Dongeng-dongeng warisan ibuku juga ibumu. Lebih banyak kisah-kisah indah dari zaman Rasulullah mulia. Nabi-nabi. Ulama dan orang-orang shaleh. Ah, sepertinya aku harus kembali membaca kisah-kisah itu dari sekarang.  

Tentu, sayang. Kita tentu akan mengenalkan nur, ray, dan hikari dengan Rabb semesta alam sedini mungkin. Memunculkan tanya-tanya dari pikiran dan lisan mereka sendiri. Mengapa begini mengapa begitu. Mengapa ada siang ada malam. Mengapa buah apel ada yang merah dan ada yang hijau. Mengapa bentuk bulan selalu berubah-ubah. Dan pertanyaan-pertanyaan yang sesungguhnya memang terus ada sepanjang zaman. Terus ada hingga hari akhir tiba. Terus ada selama semesta dan seisinya terus khusyu pada orbitNya. Saat aku kehabisan kata untuk menjawab tanya-tanya cerdas mereka. Aku akan melirikmu yang dengan senyum merekah segera mengambil peranku kala itu. 

Aku begitu khawatir. Dapatkah kita mengenalkan mereka dengan cinta? Cinta untukNya, untuk RasulNya, untuk kita, untuk sesama. Ah sayang, aku begitu was-was sampai berdegup kecang jika mengingat mereka harus menjalani hidup di zaman itu jika tanpa kendali agama yang kuat. Kita bisa, pasti.

Nur, ray, dan hika. Aku segenap upayaku dapat mengenalkan mereka pada apa yang kita sebut pondasi hidup: islam. Doa-doa saat makan, saat tidur, bacaan shalat dan mengaji yang akan sangat lucu saat mereka mencoba melafalkannya. Gerakan shalat yang mereka tiru. Lagu aku cinta Allah yang kuharap mampu mengalahkan lagu-lagu kotor yang bahkan sudah menjamur detik ini. Ah sayang, jangan sampai lagu-lagu selevel pelacur hamil duluan, atau cinta satu malam itu sempat mereka hapalkan. 

Nur, dalam bayanganku. Ia adalah putri tertuamu. Sifatnya tegas namun ramah. Banyak tanya ini itu. Selalu ingin tahu. Ia mungkin mewarisi sifat keras kepalaku (atau juga kamu?) tak masalah sayang, terkadang keras kepala itu perlu.
Ray lain lagi, ia meledak-ledak seumpama semangat kala hari berganti. Begitu percaya diri namun tetap rendah hati. Nakal? Tentu. Aku lebih suka jika ia nakal seperti anak laki-laki pada umumnya. Nakal yang normal. Nakal yang membawanya dalam proses belajar. Ia akan pulang setiap sore dengan tibuh dan baju kotor. Aku tak akan memarahinya. Namun sesekali menyuruhnya untuk mencuci sendiri bajunya itu. Kemandirian dan tanggung jawab harus sedini mungkin kita tanamkan.

Lalu hika? Tanyamu memotong pandanganku yang menjauh. Aku tersenyum melihat wajahmu yang mulai penasaran dan tertarik kala itu.

Hika. Ia sangat manis dan periang. Melihat matanya seperti melihat cahaya senja yang menghangatkan. Mungkin kita akan kewalahan dengan sifat dan sikapnya. Kewalahan yang akan kita nikmati dengan suka cita bukan?

Lalu? Dengan segala keistimewaan mereka. Tak mengapa jika aku menginginkan dua lagi nanti. Haha. Mungkin kau akan tertawa. Aku sudah memikirkan ini sejak detik ini. Bahkan sejak aku belum tahu siapa kamu, sayang.

Baiklah mungkin ini mimpiku saja yang kuharap menjadi nyata.

Lihatlah kelak mereka akan beranjak remaja. Ada cita. Ada cinta. Banyak hal yang ingin kutulis tentang episode ini.... tentang mimpi tentang cinta. semoga

bersambung

No comments:

Post a Comment