Hari itu, kita akan saling debat mempersoalkan satu hal.
Tentang anak-anak kita. Debat yang dibumbui oleh satu sendok tawa, tiga siung
rajuk, atau mungkin dua potong kesal agar lebih terasa. Itu bukan bertengkar.
Kita kembali bermain puzzle-puzzle yang tak akan pernah kita bosan mainkan.
Kukatakan padamu aku ingin lima anak. Oke. Mungkin kau
keberatan. Apa? Kau ingin sebelas? Tanyaku ditengah usulmu yang menginginkan
tiga anak saja. Aku tertawa melihat kau melongo saat itu.
Baiklah sayang.
Tawar menawar selanjutnya akan kita gelar pada doa-doa padaNya. Katakanlah agar
lebih mudah memberi perumpamaan. Aku mengalah untuk menyamakan suara denganmu.
Tiga anak. Aku mengusulkan nama-nama indah berisi doa ini pada mereka: Nur, Ray,
Hikari. Kalau kau kurang suka, aku tak akan memaksa. Hanya akan kembali meminta
agar aku nanti bisa memanggil mereka dengan panggilan itu. Tak apa kan?
Mengapa kau ingin menamai mereka dengan nama-nama itu? Tanyamu
sembari memasang senyum. Seperti yang sudah kau duga. Aku ingin mereka bisa
memiliki sifat layaknya sinar. Cahaya. Pelita. Tidak untuk hidup mereka
sendiri. Tapi juga untuk orang lain. Saat ada yang bertanya pada mereka apakah
arti nama mereka. Nur, ray, dan hikari akan kompak menjawab: cahaya.
Nur, ray, dan hikari. Hey bukankah kau tidak bisa melafalkan
huruf r? tanyamu yang membuatku tersentak lantas manyun. Lalu? Aku akan
memanggil mereka dengan lafal yang lebih mudah tapi penuh cinta: nun, ley,
hika. Hey! Sah-sah saja bukan?
Nur,ray, dan hikari akan tumbuh bersama zaman. Aku tahu. Kau
juga tahu. Zaman mereka dan zaman kita tentu berbeda. Lesatan teknologi atau
perilaku masyarakat yang mungkin membuat kita geleng-geleng kepala. Nur, ray,
dan hikari mau tak mau harus menjalaninya. Menjalani proses yang tentu akan
membuatmu pusing dan aku terus mengomel
Saat mereka sedang manis-manisnya. Kelelahan kita akan
terbayar dengan tampang lugu dan tatapan polos mereka. Kita tentu tak akan
merasa lelah dengan itu. Masih memiliki banyak energi hingga ke dongeng-dongeng
pengantar tidur mereka. Bukan dongeng tentang kura-kura yang menipu si kancil
saat lomba lari. Namun dongeng kura-kura yang dapat menang karena kesalahan
kancil itu sendiri. Dongeng-dongeng warisan ibuku juga ibumu. Lebih banyak
kisah-kisah indah dari zaman Rasulullah mulia. Nabi-nabi. Ulama dan orang-orang
shaleh. Ah, sepertinya aku harus kembali membaca kisah-kisah itu dari
sekarang.
Tentu, sayang. Kita tentu akan mengenalkan nur, ray, dan
hikari dengan Rabb semesta alam sedini mungkin. Memunculkan tanya-tanya dari
pikiran dan lisan mereka sendiri. Mengapa begini mengapa begitu. Mengapa ada
siang ada malam. Mengapa buah apel ada yang merah dan ada yang hijau. Mengapa
bentuk bulan selalu berubah-ubah. Dan pertanyaan-pertanyaan yang sesungguhnya
memang terus ada sepanjang zaman. Terus ada hingga hari akhir tiba. Terus ada
selama semesta dan seisinya terus khusyu pada orbitNya. Saat aku kehabisan kata
untuk menjawab tanya-tanya cerdas mereka. Aku akan melirikmu yang dengan senyum
merekah segera mengambil peranku kala itu.
Aku begitu khawatir. Dapatkah kita mengenalkan mereka dengan
cinta? Cinta untukNya, untuk RasulNya, untuk kita, untuk sesama. Ah sayang, aku
begitu was-was sampai berdegup kecang jika mengingat mereka harus menjalani
hidup di zaman itu jika tanpa kendali agama yang kuat. Kita bisa, pasti.
Nur, ray, dan hika. Aku segenap upayaku dapat mengenalkan mereka pada apa yang kita sebut pondasi hidup: islam.
Doa-doa saat makan, saat tidur, bacaan shalat dan mengaji yang akan sangat lucu saat mereka
mencoba melafalkannya. Gerakan shalat yang mereka tiru. Lagu aku cinta Allah
yang kuharap mampu mengalahkan lagu-lagu kotor yang bahkan sudah menjamur detik
ini. Ah sayang, jangan sampai
lagu-lagu selevel pelacur hamil duluan, atau cinta satu malam itu sempat mereka
hapalkan.
Nur, dalam bayanganku. Ia adalah putri tertuamu. Sifatnya
tegas namun ramah. Banyak tanya
ini itu. Selalu ingin tahu. Ia mungkin
mewarisi sifat keras kepalaku (atau juga kamu?) tak masalah sayang, terkadang
keras kepala itu perlu.
Ray lain
lagi, ia meledak-ledak seumpama semangat kala hari berganti. Begitu percaya
diri namun tetap rendah hati. Nakal?
Tentu. Aku lebih suka jika ia nakal seperti anak laki-laki pada umumnya. Nakal yang
normal. Nakal yang membawanya dalam proses belajar. Ia akan pulang setiap sore
dengan tibuh dan baju kotor. Aku tak akan memarahinya. Namun sesekali
menyuruhnya untuk mencuci sendiri bajunya itu. Kemandirian dan tanggung jawab
harus sedini mungkin kita tanamkan.
Lalu hika?
Tanyamu memotong pandanganku yang menjauh. Aku tersenyum melihat wajahmu yang
mulai penasaran dan tertarik kala itu.
Hika. Ia
sangat manis dan periang. Melihat matanya
seperti melihat cahaya senja yang menghangatkan. Mungkin kita akan kewalahan dengan sifat dan
sikapnya. Kewalahan yang akan kita
nikmati dengan suka cita bukan?
Lalu? Dengan segala
keistimewaan mereka. Tak mengapa jika aku menginginkan dua lagi nanti. Haha. Mungkin
kau akan tertawa. Aku sudah memikirkan ini sejak detik ini. Bahkan sejak aku
belum tahu siapa kamu, sayang.
Baiklah mungkin
ini mimpiku saja yang kuharap menjadi nyata.
Lihatlah kelak
mereka akan beranjak remaja. Ada cita. Ada cinta. Banyak hal yang ingin kutulis
tentang episode ini.... tentang mimpi tentang cinta. semoga
bersambung
No comments:
Post a Comment