Monday 20 February 2012

Lapah-lapah go to Palembang


“Kamu berani?” pertanyaan itu terlontar dari mami. Saya tertawa seolah mendapat ledekan. Meski saya tahu, pertanyaan itu adalah ungkapan khawatir dari beliau.
“Beranilah…” jawab saya sok yakin. Meski itu tak lantas menyurutkan gurat-gurat khawatir dari wajah beliau. Wajar memang. Walau bagaimanapun saya seorang wanita. Riskan pergi jauh tanpa ada yang menyertai.
Tapi jujur, saya memang tidak was-was memikirkan perjalanan yang kedua menuju palembang dengan kereta api ini. Yang pertama kali saat menemani abi, itu pun saat usia saya baru 4 tahun. Ini tak lebih dari sekedar naik kendaraan dan menunggu untuk sampai di satu tempat. Apalagi dari jauh-jauh hari sebelum berangkat, ayah man -paman- yang tinggal di palembang memastikan kedatangan saya akan ditunggu di stasiun. Saya  tinggal membawa diri diatas kereta dari pukul 9 malam sampai pukul 5 pagi. Itu sudah cukup aman. Dengan izinNya.

Pukul 7 malam saya diantar mami, era, dan aat menuju stasiun tanjung karang yang jaraknya cukup jauh dari rumah.  Memakan waktu hampir 1 jam. Sesampainya kami langsung mencari tempat duduk yang sesuai dengan no tiket yang saya beli tadi pagi. 14 b gerbong 2 kelas bisnis. Sebelum turun, mami masih sempat berkenalan dengan seorang ibu dan menitipkan saya pada beliau.
Si ibu ternyata asyik diajak ngobrol. Asli Palembang. Sudah 30 tahun merantau ke lampung. Berdagang di pasar bambu kuning. Anak-anaknya 4 orang, sudah menikah semua. Dan beliau pulang kampung untuk menjenguk ibunya.
Wah… saya selalu senang bisa mengobrol dengan para orangtua yang bercerita tentang anak –anak mereka. Itu seperti mengobati sedikit kekakuan saat mengobrol dengan orangtua sendiri. Dengan bapak satpam, mamang becak, pak petani, ibu pedagang, sopir angkot, guru sampai ke dosen profesor. Mengobrol dengan para orangtua adalah kesempatan saya untuk belajar menjadi pendengar yang baik (saya termasuk tipe orang yang lebih suka bercerita daripada mendengarkan, hehe). Mengobrol dengan para orangtua dirumah membuat saya bercermin. Seperti inilah kedua orangtua saya. Dengan mata menyala, berkaca-kaca. Menceritakan ini itu tentang keluarga mereka. Tentang anak-anak mereka. Nama, sifat, usia. Si  A bekerja di sini. Si B sudah menikah dengan si ini. Well, saat kereta api mulai berjalan. Terhitung 30 menit saya dan si ibu mengobrol. Alhamdulillah, sanguinis seperti saya bisa juga menjadi pendengar yang baik. Teruji dan terbukti. hehe
Tibalah kereta ini mulai terisi penuh. Saya berdoa sejak tadi semoga tidak ada penumpang disebelah saya. Dengan begitu saya bisa tidur nyaman. Tapi doa itu tidak terkabul ;( Hehe. Bahkan pemilik tiket 14 a gerbong 2 kelas bisnis ternyata seorang pria. Usianya mungkin sekitar 30an awal. Haduh. Alamat tidak tidur semalaman.
Si mas menawari,  ingin duduk di dekat jendela atau tidak. Untuk urusan seperti ini, saya lebih memilih duduk di dekat jalan hilir mudik di kereta ini saja. Tidak di dekat jendela. Entahlah, mungkin bisa lebih bebas.
Setelah posisi sudah pada tempatnya, setelah petugas memeriksa semua tiket penumpang. Saya dan si mas –yang ternyata membawa rombongan 15 orang untuk bekerja borongan di Palembang- berbasa-basi dengan pertanyaan standar: pulang atau pergi? Baru kali ini? Sendirian? Wah berani ya? Akhirnya si mas itu tertidur pulas dalam posisi duduk. Pulas sekali sampai besok pagi. Alhamdulillah. Lebih baik seperti ini daripada harus meladeni dia mengobrol semalaman. Hehe.
Di sisi lain, si ibu asli Palembang terdengar ribut-ribut dengan beberapa penumpang. Beliau duduk selang dua bangku dari tempat saya. Setelah menyimak sebab ribut-ribut terjadi. Akhirnya diketahui ternyata si ibu salah tempat duduk. Olala. Kasihan juga. Saya menawari diri untuk membantunya membawakan barang-barang beliau yang lumayan banyak. Tapi ternyata sudah didahului oleh bapak2 yang ribut dengannya mempersoalkan tempat duduk tadi.
“Beginilah orangtua, hanum. Sudah pikun. Ibu pindah ya.” Sahutnya sambil tertawa. 
“Iya bu, hati-hati.” Saya mengikutinya dengan ekor mata.  Ibu yang energik. Bahkan pulang kampung seperti ini masih sanggup pergi sendirian. Kemana 4 orang anak-anaknya? Mungkin mereka sibuk dengan kehidupan masing-masing. Ah, apakah waktu mereka yang 24 jam x 7 itu tidak bisa diberikan satu saja kepada ibu mereka? Mungkin jauh. Tapi bukankah keamanan sang ibu sangat mahal? Tak bisa dibayar dengan apapun? Mungkin waktu, biaya, juga kondisi memang tidak memungkinkan.
Entahlah. Saya belum pernah berada dalam kondisi seperti ini. Selalu. Kejadian-kejadian seperti ini membuat saya membayangkan masa depan dan membuat janji-janji. Kalau saya, akan begini dan begitu. Tidak akan seperti ini dan seperti itu. Semoga bisa tertunaikan.
Lima belas menit dalam perjalanan. Kebiasaan dari dulu. Selalu lupa berdoa jika bepergian. Siapa yang bisa menjamin saya bisa selamat selain Dia. Ahya wa amuut…
Bismillahi majreeha wa mursaha…
Saya mengedarkan pandangan. Di deretan bangku belakang, sekilas terlihat semuanya laki-laki. Mungkin 15 orang rombongan yang dibawa oleh si mas sebelah ini. Persis di bangku depan, dua orang ibu-ibu yang mengobrol dengan bahasa bukan lampung bukan Palembang –mungkin bahasa ogan-. Tak lama kedua ibu itu pun tertidur setelah memesan 4 bantal yang disediakan oleh petugas kereta api. 4 ribu rupiah untuk 1 bantal. Begitu yang saya lihat dari hasil melirik. Hehehe.
Persis 2 bangku di sebelah kiri, dengan nomor kursi 14 c dan 14 d, diduduki oleh seorang nenek dengan cucu laki-lakinya –mungkin- yang sepertinya lebih muda dari saya. Saya dan si nenek berpapasan mata dan saling melempar senyum. Wah, tiba-tiba saya menyesalkan doa tadi. Coba doanya semoga satu bangku dengan nenek-nenek atau ibu-ibu. Dengan begitu, saya kan bisa menggelar alas koran dibawah dan tidur aman. Ekor mata saya melirik si cucu yang terlihat bersungut-sungut sejak pertama kali datang. Tadi mereka diantar seorang bapak, mungkin bapaknya. Dipesankan ini itu, namun si anak memasang wajah cemberut. Mungkin dia terpaksa mengantarkan neneknya ke Palembang. Atau memang ada masalah. Atau mungkin sedang sakit. Lalu apa hubungannya dengan saya? Hubungannya adalah saya jadi sungkan ingin melakukan tawat menawar. Tamar menawar? Iya. Saya sempat berniat ingin mengajak cucu nenek ini tukar tempat duduk. Soalnya saya juga mendengar si nenek memintanya untuk menggelar alas dibawah. jelas saja nenek itu bisa capek. Semalaman dalam posisi duduk. Tapi permintaan nenek tadi tidak dijawabnya dan dia tetap duduk dengan wajah cemberutnya. Nah, kalau dia mau tukaran tempat duduk dengan saya kan enak. Si nenek bisa selonjoran tidur diatas. Saya akan senang hati menggelar koran di bawah. Toh dua ibu didepan juga melakukan hal yang sama. Lagi-lagi saya melirik si cucu. Dia sadar dan menoleh dingin kearah saya. Wah, tidak jadi deh. Hehehe.
Lantunan edcoustic terdengar dari saku jaket saya. Telpon dari mami. Bertanya saya sudah sampai mana. Wah, mana mungkin saya tahu. Hehe. Setelah sampai di stasiun kotabumi, sangat jelas tulisan KOTABUMI di plang gedung stasiun, barulah saya menelepon balik, sudah di kotabumi mi. mami kembali menasehati ini itu. Bertanya bisa tidur tidak. Usahakan bisa tidur. Biar besok kuat saat tes. Begitu pesan beliau. Ah, memang ya. Tidak ada kekhawatiran melebihik kekhawatiran seorang ibu. Mami juga begitu. Untuk urusan satu ini memang selalu. Kakak perempuan saya saja yang sudah hampir dua tahun bekerja di Bengkulu, minimal 3 x sehari ditelpon mami. Tidak pernah absen. Apalagi kalau sudah mendengar kabar gempa Bengkulu (Yang memang lumayan sering terjadi). Wah, dengan wajah tegang. Beliau langsung menelepon. Bisa dipastikan seharian beliau tidak lepas dari hp. Next, back to topic…
Ngantuk. Dingin. Bosan. Hm, itulah yang saya rasakan malam itu. Saya lebih banyak menyimak suara krek-krek kereta api yang beradu dengan batangan rel, juga desau angin, pun beberapa dengkur tak harmonis dari sekeliling. Saya merogoh kantung depan tas ransel yang memang sengaja saya taruh dibawah, tidak diatas (tempat menaruh tas dll). Mengambil headset dan menyetel mp3 Mishary Rasyid. Tidak ada yang lebih menenangkan hati selain mendengarkan lantunan kalamullah. Menarik resleting jaket sampai keatas. Mencari posisi duduk yang lebih enak. Menengok kearah jendela yang lumayan bisa terlihat. Memperhatikan lampu-lampu rumah dalam remang juga berbilang pohon-pohon menjulang. Memejamkan mata. Melafazkan doa dalam hati, Ridhoi perjalanan ini ya Rabbi…
Tengah malam. Pukul 1 dini hari. Kereta kembali berhenti di stasiun. Saya mencoba mencari tahu sampai di stasiun mana. Sayang sama sekali tidak terlihat. Suasana kembali ramai. Petugas kereta api yang lagi-lagi memeriksa tiket. Beberapa penumpang yang terbangun dan tak lama tertidur lagi. Si mas sebelah yang tak terusik sama sekali –petugas tidak membangunkannya untuk memeriksa tiket karena tiketnya sudah dipegang dengan teman-temannya di belakang *sok tau, hehe*. Dua ibu-ibu di depan terbangun dan sama-sama mengambil posisi duduk. Memesan dua piring nasi goreng kepada seorang petugas yang memang dari tadi hilir mudik membawa pesanan nasi, kopi, teh.  Kembali ribut mengobrol ini itu dengan bahasa ogan. Saya menoleh ke kiri. Terlihat si cucu yang sudah berkurang sedikit ekspresi cemberutnya. Membuka lembaran koran yang baru dibelinya lantas menggelarnya dibawah (mau juga akhirnya, hehe). Neneknya bisa tidur selonjoran diatas, dan ia segera tidur dibawah.  hiks, daku iri.
Beberapa pedagang naik dan menjajakan dagangannya. Saya langsung teringat tidak membawa air mineral. 4 ribu untuk satu botol. Lumayanlah. Lantas saya bertanya pada petugas yang lewat berbalik arah dari memeriksa tiket tadi.  Bertanya tempat shalat di kereta ini. Cukup kaget dengan jawaban: tidak bisa. Saya jadi was-was berada diperjalanan yang semua penumpangnya tidak bisa shalat subuh.  Akhirnya saya memutar otak. Kembali bertanya apakah benar sampai stasiun kertapati tepat waktu pukul 5 subuh nanti. Jawaban yang lagi-lagi membuat kaget: tidak. Nanti jam 8 atau setengah 9. Olala. Saya kembali memutar otak. Last choice, saya bertanya pada mr. google. Mengetik disana: cara shalat diatas kereta api. Ternyata ada. Shalat sambil duduk. Dengan isyarat mata dan sedikit gerakan tubuh. Alhamdulillah. Sungguh agamaMu sangat mudah J
Pukul setengah 5, saya beranjak ke wc. Wah, aroma yang tidak mengenakkan menyeruak. Ya jelaslah. Namanya juga fasilitas umum. Menggunakan air mineral untuk berwudhu. Sedikit menyesal kenapa tidak dari tadi saat kereta berhenti di stasiun. Akan lebih mudah daripada saat berjalan seperti ini. Ya sudahlah. Mau bagaimana lagi. Yang penting bisa shalat. Bismillah. Semoga shalatku diterima.
Langit mulai menelurkan cahaya. Bisa terlihat dari jendela kereta ada fajar yang mengintip malu-malu disana. Kereta api kembali berhenti. Tiba di stasiun Baturaja. Wah, berarti sudah masuk wilayah sumatera selatan. Keadaan di luar sudah mulai terang. Ternyata tanah sumatera selatan basah. Mungkin semalaman diguyur hujan. Subuh yang dingin bertambah dingin. Ah, pasti nikmat sekali jika bisa tertidur barang sebentar.
Only human terdengar. Sms dari Tulus, adik sepupu yang akan menjemput di stasiun kertapati. Sms yang asli dengan bahasa Palembang. Sampai mana, nda? Baru lewat stasiun Baturaja. Tulus sudah di kertapati. Nanti sms kalau sudah turun. Oke, saya membalas singkat. Tak lama edcoustic yang terdengar. Ayah man menelepon. Bertanya juga sudah sampai mana dan bilang beliau sudah di kertapati. Saya jadi sedikit bingung. Ayah man dan Tulus bukannya sama-sama di kertapati lantas kenapa sama-sama bertanya. Hehe.
Edcoustic lagi-lagi terdengar. Kali ini mami. Bertanya sampai dimana. Saya memberitahu baru saja ditelpon ayah man, beliau sudah menunggu di kertapati. Juga bertanya apakah saya bisa tidur. Tidak, tapi nanti bisa tidur di rumah serumpun –kakak sepupu perempuan-. Apakah sudah makan. Belum, nanti di rumah serumpun. Jangan lupa makan. Iya. Hati-hati. Iya. Ya Rabbi, semoga kekhawatiran seperti ini, perhatian seperti ini, bisa juga saya berikan pada beliau kelak.
Aktivitas didalam kereta mulai ramai. Kebanyakan wara wiri ke wc. Memesan nasi goreng yang harganya 15 ribu atau kopi seharga 10 ribu. Beberapa masih betah mendengkur bahkan sampai akan tiba di stasiun terakhir (kertapati). Sampai-sampai harus dibangunkan oleh petugas kereta api. Wah nyenyak sekali tidurnya. Luar biasa saya iri. Hehe.
Pukul 8 lewat 25 menit, kereta api merapat di stasiun kertapati. Saya cepat-cepat mengirim sms ke tulus. Saat turun dari kereta, ia membalas: Tulus pakai baju pink, nda. Saya tersenyum lebar. Lucu juga membaca smsnya. Pakai baju pink. Dari dulu saya masih menganggap warna pink adalah warna yang lucu jika dipakai seorang cowok. Hehe. Abaikan, hanya pikiran selintas. Sebab setelahnya pun saya menyusuri lautan manusia, mencari seorang cowok berbaju pink. Oh ya. Meskipun Tulus adalah adik sepupu saya. Saya jelas tidak hafal dengan wajahnya. Terakhir kami bertemu saat saya umur 4 tahun dan dia umur 2 tahun. Itu pun saya tahu dari kenang-kenangan foto di album keluarga.
Setelah melewati empat gerbong kereta, masih juga saya belum menangkap seorang cowok memakai baju pink. Tapi tak lama, saya justru menangkap sesosok yang sudah saya kenal. Ayah man. Beliau sering pulang ke lampung. Saya langsung menghampirinya yang ternyata baru saja menekan nomor hape dan menelepon saya. Matanya menangkap sosokku. Disebelahnya, ada Febri –adiknya serumpun-. Ayah man memberitahu bahwa yang lain sudah di gerbong kereta api yang akan menuju lampung. Yang lain? Well. Saya memang belum memberitahu ini. Bertepatan dengan perjalanan saya ke Palembang. Seluruh keluarga besar di Palembang (kecuali dua orang sepupu –Tulus dan serumpun- yang menjaga rumah) pulang kampung ke lampung karena ada adik sepupu yang menikah.
Saya masuk kedalam gerbong itu. Riuh sekali disana. Satu persatu menyalami mereka semua. Sembari menanggapi pertanyaan ini itu: o ini anaknya abah? Anum? Sudah besar ya? O yang mau ikut tes? Mata saya menangkap satu cowok berbaju pink. Ini pasti tulus. Pantas saja dari tadi tidak ketemu. Dia masih  sibuk mengangkut-angkut barang. Tak lama kami berdua berpamitan dari rombongan.
Kami menuju rumah serumpun di pusat kota. Tak jauh dari jembatan Ampera. Kalau rumah tulus, cukup jauh dari sini, tepatnya di sekojo.
Hanya sekitar 10 menit kami sudah sampai. Tak lama, serumpun keluar menyambut. Ternyata di rumah juga ada ambai. Neneknya serumpun dari ibunya. Menyimak bahasanya saya lebih bingung lagi. Disimak lebih dalam, Ooo ternyata ambai orang asli ogan. Pantas tidak paham. Tak lama, tulus izin keluar. Setelah memastikan ia akan kembali kesini pukul setengah 12 untuk mengantarkan saya ke padang selasa.
Oh ya. Lucu juga. Dari awal saya menulis, belum menjelaskan tujuan datang ke Palembang. Hehe. Oke. Saya ke Palembang karena mengikuti tes tertulis penerimaan pegawai BI. Tentu saja saya sebenarnya tidak pede untuk mengikuti tes ini. Tes ke 2 dari 7 tahapan tes untuk bosa menjadi pegawai PCPM Bank Indonesia. Tapi terlalu kerdil jika saya menyerah sebelum bertanding. Usaha dulu baru ada hasil. Tidak mungkin juga saya mematahkan mimpi kedua orangtua yang seketika sangat bahagia mendengar saya lolos tahap 1 tes administrasi.
Pukul 9 tepat. Cukup lama mengobrol dengan ambai, lebih tepatnya mengangguk-angguk mendengarnya berbicara ini itu. Biasalah, nenek-nenek pada umumnya. Hehehe. Serumpun berulang kali mengajak makan. Memang saya belum makan sejak naik kereta semalam. Tapi memang lagi, kalau dalam perjalanan seperti ini, suka lupa dengan makanan. Hehe. Setelah memastikan ambai tidak lagi mengajak bicara. Saya menyusul serumpun ke dapur. Mengobrol ini itu sembari menemani membuat pempek. Setengah jam kemudian, saya teringat sesuatu. Tidur. Wah ini penting. Saya bilang ingin istirahat sebentar. Lumayan. Bangun kembali pukul 11 siang.
Pas sekali. Pempek kapal selam sudah siap untuk disantap. Kami berempat. 4? Siapa satunya lagi? Hehe. Saya, serumpun, ambai, dan sangkut. Sangkut adalah tetangga depan rumah. Mungkin sahabat dekat serumpun. Pertama kali berkenalan dengan sangkut. Lucu juga mendengar namanya. Sangkut. Unik. Lain lagi dengan serumpun. Sebenarnya serumpun itu bukan namanya. Akan tetapi panggilan khusus dari keluarga di lampung. Menandakan antara lampung dan Palembang masih satu rumpun. Begitu mungkin. Itu hanya dugaan saya saja. Hehehe.
Nah, nama asli serumpun adalah intan. Tetapi dia di rumah dipanggil angkut. Beda huruf s saja dengan sangkut. Hehe. Lucu kan?
Next. Saya siap-siap pergi tes. Tulus datang tepat waktu. Dia harus menunggu sekitar 10 menit karena saya belum siap. Wah jadi tidak enak merepotkan. Meskipun sepupu, kami juga kurang begitu kenal. Hehe. Lain halnya dengan serumpun. Dia beberapa kali pernah menginap di rumah saya. Jadi ya sudah akrab.
Kami segera meluncur ke daerah padang selasa. Tepatnya di gedung pascasarjana Universitas Sriwijaya. Tidak susah menemukan lokasinya. Karena selain Tulus mengenal baik daerah ini. Siapa juga yang tidak tahu lokasi Unsri. Alhamdulillah, tidak ada kejadian kesasar atau terlambat datang.
Saya dan Tulus mulai mengobrol banyak. Menunjuk ini itu. Mengenalkan disana ada ini disana ada itu. Setelah sampai dia berkata,”nanti sudah selesai yunda sms tulus be? Tulus susul disini. Cari-carilah kenalan ajak ngobrol.” Saya tertawa mendengar pesannya itu. Mungkin karena belum terbiasa mendengar orang Palembang bicara dengan logat khas seperti itu.
Saya sama sekali tidak terlambat. Justru banyak waktu untuk shalat dzuhur dan mengobrol dengan peserta tes lain. Wah mereka berasal dari jauh juga rata-rata. Dari Bengkulu, lahat, baturaja, dan hei! Saya bahkan bertemu dengan hendra. Adik tingkat waktu SMA dan kuliah. Sebelum masuk kedalam aula. Hendra sempat-sempatnya bilang, kita duduk sampingan ya mbak? Biar saya bisa nyontek. Beh! Saya tertawa. Jadi teringat sesuatu. Kami pernah mengalami itu waktu SMA. Saya kelas 2 dan dia kelas 1. Karena saat ulangan kelas 1 dan 2 duduk berdampingan. Diurut menurut kelas dan abjad. Jadilah saya yang kelas 2.1 dan hendra 1.1, saya yang berawalan huruf F dan hendra H bernasib satu bangku. Meskipun lain soal lain jawaban. Dengan sok yakin, hendra pernah menyontek kertas ulangan saya. Saya sampai bengong melihat aksinya.
“Hendra, soalnya kan lain, kenapa kamu malah nyontek saya?” Tanya saya sembari berbisik dan memasang wajah galak,
Dia malah cengengesan. Hadeh. Emang rada aneh ini orang. Hehe.
Kami memasuki aula tepat pukul 1 siang. Keinginan Hendra tidak terjadi. Saya duduk di deretan depan. Dia jauh di belakang. Cukup lama proses mengisi absen, memeriksa nomor peserta, izin masing2 peserta yang digilir jika ingin ke wc. Tes baru dimulai pukul 2.
To be honest. Saya agak malas menjelaskan detail bagaimana tes itu. Saya hanya ingat 6 atau 7 kali menulis nama, nomor peserta, dll di kertas jawaban yang berganti 6 atau 7 kali itu. Setiap lembar jawaban, rata-rata memuat 100 soal. Dengan berbagai tipe dan khasnya. Well. Ini memang sebenar-benarnya tes. Hehehe. Lihat saja nanti hasilnya. Yang penting usaha optimal sudah saya kerahkan. Saat tes tadi, kepala saya cukup pusing. Mungkin karena sejak pagi saya belum makan nasi, malah makan pempek kapal selam. hehehe.
***
Karena saya agak malas menjelaskan. Saat tulus menjemput dan bertanya bagaimana tes tadi. Saya hanya menjawab dengan jawaban singkat. Wuah, luar biasa! Itu saja jawaban saya. Setelahnya saya malah tertawa-tawa tidak jelas.
Sesampai di rumah, serumpun memaksa saya makan nasi. Tidak perlu dipaksa sebenarnya, kali ini saya benar-benar lapar. Hehe. Sembari makan ditemani serumpun dan tulus yang menikmati keripik coklat –oleh-oleh saya dari lampung- saya bilang ingin jalan-jalan ke jembatan Ampera. Serumpun dan tulus jadi ikut semangat. Saya mengeluarkan kamera Panasonic yang sudah berumur 3 tahun lebih. Keadaannya tidak baik. Foto yang dihasilkan tidak begitu jelas lagi. Kadang-kadang bahkan saat dihidupkan otomatis menutup lagi. Itulah yang terjadi pada kamera itu sejak saya berangkat tadi malam.
Saya menyerahkan kamera itu ke tulus. Barangkali  tulus tau celahnya. Begitu terang saya asal. Tulus justru menanggapi serius. Ia seperti merapal mantera sambil memejamkan mata. Membuat saya dan serumpun tertawa melihatnya. Hey! Ajaib. Kamera saya bisa digunakan. Wuah bangganya Tulus minta ampun. Dia langsung bergaya ini itu. Menjepret sana sini. Kami kembali mematangkan rencana jalan-jalan malam ini. Hehe.
Ditengah-tengah semangat kami merencanakan  jalan-jalan malam ini. Ambai tiba-tiba marah. Ambai baru menyadari saat itu sudah pukul setengah 6 sore. Menjelang magrib. Wah, dia jadi mengomel-ngomel tidak karuan. Dengan bahasa khas ogannya dia masih terus mengomel. Terlihat sekali dia marah besar. Tidak dibangunkan sejak tadi. Tidak diingatkan makan sore, tidak diingatkan shalat ashar, tidak diingatkan mandi sore. Tentu saja yang ambai marahi itu serumpun. Awalnya serumpun hanya senyum-senyum kearah kami berdua. Dan tidak menjawab omelan ambai. Tapi lama-lama dia tidak tahan juga. Wah, jadi tambah ramai mendengar mereka ribut. Saya mencoba mememberi isyarat supaya serumpun diam saja. Tetapi mungkin dia juga sudah kesal. Membela diri dengan mengatakan bahwa dia sudah membangunkan ambai sampai berkali-kali.
Saya dan tulus hanya diam sembari mendengar ambai dan serumpun balas membalas. Namun saat ambai pergi mandi –meski masih saja tetap mengomel- serumpun kembali diam. Tiba-tiba tulus menyetel lagu korea dan nge-dance tidak jelas. Kontan saja kami berdua tertawa ditahan-tahan. Lucu sekali. Saya jadi tahu ternyata tulus juga penggemar korea. Wah bakalan cocok nih. Hehe
Setelah magrib, saya dan Tulus sudah siap berangkat. Akan tetapi serumpun masih juga diomeli ambai yang saat itu sedang makan. Setelah beberapa menit tidak ada kejelasan sampai kapan ambai berhenti mengomel, serumpun menyuruh kami untuk pergi duluan. Nanti dia menyusul. Akhirnya kami mengalah.
***
Beginilah suasana malam di kota Palembang. Hm, apa ya. Ramai dan khas. Di sini, bahasa daerah sangat kental. Sangat berbeda dengan di lampung. Sayang sekali. Terus terang saya kembali bertanya-tanya. Apa sebabnya bahasa lampung tidak membudaya. Disini, orang jawa, orang cina, semua berbahasa Palembang. Oi bahkan saya sudah bisa beberapa kalimat:
Idak pacak = tidak pas
Lemak nian makan pempek ni = enak sekali makan pempek ini
Dak begawe tadi kau? = tidak kerja tadi kau?
Sikok be = satu saja
Duo ikok
Tigo ikok
Hehe
Saya mendengar itu di warung mie ayam ‘lek pon’ di pinggir pasar sekanak. Saya memang bilang ingin makan mie ayam di Palembang, apa rasanya sama dengan yang di lampung. Tulus langsung membelokkan motornya saat itu juga. Ternyata pas sekali posisi kami di jalan dengan warung mie ayam ini. Saya dan mie ayam memang berjodoh. Halah.
Hm, apa ya. Enak. Sama dengan yang di lampung. Cuma bedanya ini mienya keriting. Hehe. Jumlahnya juga lebih sedikit. Tidak penuh satu mangkuk. Tulus kembali mencoba-coba menghidupkan kamera. Innalillahi. Error lagi T_T wah kesal sekali rasanya. Semangat yang tadi menggebu-gebu seketika menguap. Tulus kembali seperti merapal mantera. Memejamkan mata. Dan mencoba menghidupkan lagi. Hasilnya: Gagal! T_T
Ya sudahlah. Yang penting bisa melihat langsung ampere di malam hari. Meski rada kesal. Bisa juga kami tertawa sepanjang jalan. Lucu sekali mendengarkan tulus kembali menyanyikan lagu korea. Kali ini yang slow.  Saling bercerita tentang film korea yang diputar di indosi*r.  saya mengirim sms ke serumpun. Bertanya apakah dia sudah bisa berangkat sekarang? Tapi saying, serumpun menjawab ambai masih marah-marah dan mengatakan ia tidak bisa ikut jalan-jalan.
Tak lama, kami sudah sampai di TKP. Dan kesan saya adalah….
It’s so beautiful…..surelly. nice view! cahaya-cahaya lampu berwarna-warni. Desau angin segar dari sungai musi. Beberapa pedagang lampu hias yang memperagakan dagangannya. Lampu terbang dan entah apa lagi. Ramai sekali!
Tulus kembali mencoba menghidupkan kamera. Alhamdulillah, bisa! Wah saya sampai ingin melompat kalau tidak ingat umur. Hehe.
Oke! It’s time for foto-foto ^^. Senangnya. Meski hasilnya tidak begitu bagus. Tapi lumayanlah. Cekidot.

 lampu di jembatan ampera ada yang rusak. makanya kurang terang.kata tulus sih gitu. hehe


 Nah, ini dia yang namanya tulus :)


 Keren! tapi wc di bawah kanan ini ganggu pemandangan aja ;(


 di depan museum sultan badaruddin. agak-agak horor rasanya :D


 Bolehlah :D


 Nah, tulus lagi ni :D


 di depan benteng kuto besak. artinya:benteng kota besar B)



 di depan bank sumatera selatan. hehe


Sembari mencari objek tempat foto dan memasang gaya tidak jelas. Tulus begitu semangat memberitahu ini itu. Benteng kuto, museum sultan badaruddin, museum garuda, Al-Qur’an terbesar sedunia. Kalau hari minggu yunda masih di sini, tulus bisa ajak ke pulau kemaru dan danau opi. Begitu katanya ditengah-tengah sok narsisnya kami berganti-ganti jadi subjek dan objek. Saya tak sabar memintanya untuk foto di jembatan ampera. Di pinggir jalan. Akhirnya keinginan itu terkabul juga. Meski hasilnya lebih-lebih tidak jelas. Hehe. Cekidot.



ampera dari sisi kiri. eh P nya ga hidup :O
again, bolehlah :D
 
ampera dari sisi kanan. P nya hidup kok :D
 Lampu-lampunya cantik :*

Wah. Jangankan di Palembang. Di lampung saja saya jarang sekali keluar malam2. Kalau tidak dua tahun sekali ke pameran. Hehe. Maka wajarlah kalau saya seperti orang dusun masuk kota.
***
Keesokan paginya, saya merasa badan agak sedikit tidak enak. Sebenarnya bisa saja memaksa langsung pulang pagi itu. Tapi saya tak ingin menjemput sakit. Mungkin saya perlu istirahat dan menghirup angin segar sore hari di sekitar sungai musi di bawah jembatan ampera . Maunya. Hehehe.
Pagi-pagi, saya dan serumpun pergi ke pasar. Beli ikan juga sayur asam dan tempe. Pasar sekanak ramai dengan bahasa khasnya. Meski tidak bisa, saya sedikit paham apa yang mereka katakan. Apalagi sikok. Duo ikok. Tigo ikok. Hehehe. Setelah sarapan kami hanya beres-beres sebentar. Siangnya juga hanya ngobrol ini itu sembari makan pempek. Again. Kali ini beli. Saya memilih tekwan. Wow! Ini tekwan terenak yang pernah saya coba. Tahu berapa harganya? 2000 rupiah saudara-saudara! Luar biasa! Mengalahkan bakso jadi-jadian di dekat rumah saya yang harganya 3000 rupiah. Hehe.
Sayangnya, menikmati tekwan panas di siang yang panas begini. Wuah! Dobel panas rasanya. Hehehe. Suhu di Palembang memang jauh lebih panas dari di lampung. Kipas angin juga tidak begitu membantu. Ya tak apalah hitung-hitung buang kalori. hehe
Sekitar pukul 4 sore, seperti keinginan saya. Saya, serumpun, dan sangkut jalan-jalan naik becak. Setelah bersempit-sempitan diatas becak plus cekikikan karena serumpun terus-terusan menyesali mengapa dia memakai sandal jepit. Oi, malu nian…..begitu terus dia berucap. hehe
Naik dengan becak tentu lebih menyenangkan dibandingkan dengan motor. Bisa lebih jelas memperhatikan sekitar. Wah, saya jadi membayangkan bisa bersepeda sore-sore disini. Menyusuri pasar-pasar yang letaknya saling berdekatan, pemukiman padat penduduk, dan tentu saja menikmati pemandangan sungai musi.
Sungai musi benar-benar menjadi khasnya Palembang. Memanjang sepanjang jalan. Dimana-mana bisa ditemukan alirannya. Dari stasiun kertapati sampai ke pasar sekanak ini, sungai musi bisa terlihat sejauh mata memandang. Pantas saja Palembang juga khas dengan pempek yang terbuat dari ikan sungai. Terutama ikan gabus. Mungkin itu juga yang membedakan pempek di lampung yang lebih sering menggunakan ikan laut.
Nah, laut justru jadi barang langka di Palembang yang tidak memiliki pantai. Pantai sumatera selatan terdapat di sebelah timur menuju pulau Bangka Belitung. Selebihnya hanya ada sungai. Lain dengan lampung yang dari timur, selatan, hingga barat dikelilingi pantai. Saya juga tidak heran saat serumpun dan tulus begitu excited bertanya ini itu tentang pantai-pantai di lampung. Jadi bangga juga. hehehe
Oke next. Sampailah kembali di jembatan ampera. Sepertinya kami memang tidak bisa jalan-jalan terlalu jauh karena waktu yang juga tidak memungkinkan. Tak masalah. Suasana di sekitar jembatan ampera sore-sore begini ternyata berbeda dibandingkan malam. Tidak ada lampu-lampu tentu. Lebihnya adalah sungai musi yang terlihat lebih jelas. Anginnya juga jauh lebih kencang. Terlihat beberapa orang yang sedang memancing baik di pinggir sungai, diatas jembatan, atau diatas perahu-perahu kecil. Ada juga jasa naik perahu-perahu mengelilingi sungai musi sekitar jembatan ampera. Sayang tidak bisa naik karena serumpun yang berkali-kali bilang malu karena menggunakan sandal jepit. Hehe. Saya menyerah mengajaknya lagi untuk naik perahu itu. Berhubung kamera tidak bisa digunakan, Kali ini foto-foto via hape. Lumayanlah. Lumayan tidak kelihatan T_T Foto-foto ini juga belum bisa dipindah. Jadi ya tidak bisa diposting disini.
Tepat 10 menit sebelum magrib kami sudah pulang. Serumpun terus-terusan membujuk saya untuk bisa menginap satu malam lagi. Hm, mau sih. Tapi…suara hati mengatakan saya harus pulang besok pagi. Hehe apa kali. Mami sudah beberapa kali menelepon bertanya kapan saya pulang. Saya sudah menjawabnya besok pagi. Sebenarnya juga bisa pulang besok malam saja. Tapi katanya di stasiun kertapati sangat rawan di malam hari. Banyak pencopet. Wah, saya tidak mau ambil resiko. Meskipun tulus bisa mengantar sampai ke stasiun. Tapi tetap saja saya merasa lebih aman berangkat pagi. Lagipula harga tiketnya juga jauh lebih murah hanya 15 ribu untuk kelas ekonomi dibandingkan malam 80 ribu untuk kelas bisnis.
***
Pagi-pagi saya dan serumpun pergi membeli nasi gemuk. Oi, namanya itu membuat saya tertawa. Merasa.
“Anum, mau nasi gemuk idak?” serumpun bertanya saat subuh tadi
“Nasi apa?”
“Nasi gemuk. Apo kalau di lampung namo nasi gemuk tu? Nasi santan ado sambal.”
“Ooo…nasi uduk….” Jawab saya tertawa. Haha. Ada-ada saja
Saat kami sampai rumah, ternyata tulus sudah datang. Memang dia yang akan mengantar saya ke stasiun. Wah, sepertinya saya yang kesiangan. Memang seharusnya pukul 7 pagi sudah harus sampai di stasiun kalau tidak mau antri panjang membeli tiket. Hm, saya bahkan belum mandi. Saat itu jam 7 kurang 15 menit. Bahkan pempek oleh-oleh dari serumpun juga sempat ketinggalan T_T
Alhasil, kami memang terlambat. Baru sampai sekitar pukul 8. Antriannya sampai ke tempat parkir. Mana saya juga belum membeli pesanan adik sepupu saya yang ulang tahun besok. Adik sepupu yang masih kelas 5 SD. Meminta oleh-oleh kotak pensil dari Palembang. Dia bahkan mewanti-wanti saya untuk benar-benar membelinya di Palembang. Bukan di lampung. Hm, terkadang memang ada-ada saja maunya anak kecil. Hehehe
Akhirnya saya putuskan untuk membeli tiket dengan calo. Kebetulan ada seorang bapak yang juga mau membelinya. Dari tawaran mereka 5o ribu untuk satu tiket. Ditawar 70 ribu untuk dua tiket. Transaksi deal. Akhirnya saya dan si bapak sepakat untuk membeli tiket itu.
Tulus menawarkan diri untuk mencari kotak pensil di pasar kertapati yang ternyata tak jauh dari stasiun. Tidak lama, hanya 10 menit sebelum kami berangkat, dia sudah tiba. Alhamdulillah.
“Hati-hati di jalan. Sampai lampung sms tulus. Jangan lupo makan. Titip salam sama keluarga di lampung.” Begitu pesannya sebelum saya masuk ke stasiun. Saya berterima kasih padanya. Tentu saya tak menemukan kesulitan apapun disini karena tulus. Makasih dek J
***
Ternyata kereta kelas ekonomi berbeda dengan kelas bisnis. Disini tempat duduknya tidak bisa diubah-ubah posisinya. Nasib deh, duduknya jadi berlawanan arah dengan jalannya kereta.
“Bisa pusing gay a pak, kalau duduknya terbalik gini.” Tanya saya pada si bapak yang tadi membeli tiket dengan saya.
Beliau tertawa, “ya ga lah. Sama aja.”
Wah tapi beruntungnya. Ternyata tempat duduk kami seharusnya muat oleh 3 penumpang. Tapi ini hanya 2. Alhamdulillah lapang. Tapi lagi, sialnya. Tepat di bawah kaki saya. Ada kardus isi ayam jago. Hiks. Langsung speechless deh. Saya dan ayam jadi saling liat-liatan. Saling tak terima keadaan.
“Haduh, kenapa harus deket kamu sih yam.”
“Ga gitu juga kale, siapa juga yang mau disini. Heloooo.”
Hehehe. Untuk mengatasi kekesalan. Yah, saya jadi membayangkan dialog itu. Haha.
Hm, si pemilik ayam tidak tampak batang hidungnya. Si bapak yang beli tiket dengan saya tadi (haduh kepanjangan) yang ternyata namanya pak agus. Terlihat sedang mengobrol di luar kereta dengan seorang petugas kereta api. Tadi beliau izin mau merokok dan menitipkan tasnya ke saya. Tak lama datang lagi seorang bapak. Yang duduk disebelah pemilik ayam jago. Di mengedarkan pandangan ke sekitar. Melihat ayam jago, tumpukan bahan tikar dibawah tempat duduk kami masing-masing, tempat barang diatas yang sudah penuh oleh kardus-kardus, tas saya dan tas pak agus juga. Hm, sepertinya bapak ini ingin menaruh tasnya, tapi memang sudah tidak muat.
“Ayam siapa itu mbak?” tanyanya pada saya.
“Ga tau pak.” jawab saya singkat
“Ini punya siapa?” tanyanya lagi menunjuk tumpukan bahan tikar. Kali ini saya menjawab dengan gelengan kepala. Si bapak lantas bercerita, ternyata dia sengaja membeli dua tiket agar bisa duduk nyaman.  Tapi sayang, ternyata berbeda bangku. 13 b dan 13 c. 13 b berada di sebelah 13 a. sedangkan 13 c berada disebelah 13 d dan 13 e. saya juga bingung setelah melihat di bangku 13 a dan 13 b sudah terisi dua orang penumpang. Si bapak bertanya pada dua orang pemuda itu, kurang jelas juga apa percakapan mereka. Mungkin si bapak memberitahu kalau dialah pemilik tiket 13 b yang saat itu diduduki oleh salah satu dari mereka. Yang terlihat dari raut wajah kedua pemuda itu seperti tidak mengindahkan si bapak bicara. Lantas pura-pura tidur.
“Siapa yang beli tiket, siapa yang duduk. Dicuekin lagi.” Begitu gerutunya kepada saya. Saya hanya menanggapi dengan senyum. Ada-ada saja memang. Apa susahnya mendengarkan orang yang lebih tua berbicara. Apalagi ini, ternyata si bapak pemilik asli tiket itu. Tinggal bilang maaf dan terima kasih, pastilah beliau lebih legowo.
Kereta api akan berangkat. Petugas kereta api sudah terlihat memeriksa tiket para penumpang. Wah, saya jadi teringat kalau tiket saya terbawa oleh pak agus. Setelah celingak celinguk kesana kemari akhirnya tampak juga pak agus datang dari arah belakang. Tepat saat petugas itu sampai di bangku kami.
“Saya beli dua tiket, tapi ternyata beda tempat.” Lapor si bapak kepada petugas
“Ini yang satunya?” petugas itu melirik kea rah pemuda yang membuang muka ke jendela.
“Bagus itu pak. Beli dua untuk satu orang daripada beli satu untuk dua orang.” Sahutnya sembari kembali melirik kearah dua pemuda tadi. Kami bertiga tertawa mendengarnya.
Saat itulah, si pemilik ayam datang. Ternyata dua orang. Seorang kakek dan seorang bapak yang ternyata bapak dan anak. Olala, ternyata lengkap sudah saya dikelilingi oleh 4 orang bapak-bapak yang asyik mengobrol ala bapak-bapak.
Saya tak lagi pusing dengan si ayam. Karena koran yang tadi dibeli oleh pak agus ditaruhnya diatas kardus ayam. Hehehe. Ya mudah-mudahan tidak pingsan. Lagipula si bapak pemilik ayam juga tidak keberatan.
Mereka mengobrol asyik sekali. Tentang kayu khas sumatera yang sedang dicari oleh si bapak dua tiket. Beliau ternyata bisnis ekspor kayu. Saya jelas kurang paham dengan apa yang mereka bicarakan. Hanya mendengarkan sembari sesekali menengok ke luar jendela. Saya tak ingin melewati suasana sekitar yang tidak kelihatan saat malam.
Pak agus sama sekali tidak bisa diam. Beliau yang mendominasi obrolan sepanjang perjalanan. Sekitar pukul 11 siang. Entahlah, mungkin kelelahan karena mengobrol. Ketiga bapak-bapak di hadapan kami berdua ternyata sudah tidur pulas dengan posisi masing-masing. Tinggallah saya dan pak agus yang masih mengobrol. Kali ini pak agus bertanya ini itu seperti wartawan. Fadila ke Palembang mau apa? Cowok yang tadi siapanya? Ayahnya kerja apa? Ibunya?
“Fadila suku apa?”
“Lampung pak.”
“Eh tapi kok wajahnya kayak orang jawa?”
“Hehe. Bapak adalah orang ke 99 yangbilang begitu sama saya.” Jawab saya asal
“hahaha. Tapi bener loh. Fadila ini mirip dengan keponakan istri bapak. Ya dia orang jawa. Hahaha.”
Saya Cuma mesam-mesem mendengarnya. Memang benar sudah kesekian kali saya mendapat komentar seperti ini. Tapi ya, whatever lah J
“Sudah punya pacar?” hm, kenapa pertanyaan seperti ini sering sekali muncul ya?
Saya menggeleng saja. Pak agus masih tidak bisa diam. Tapi ya lumayanlah daripada bengong sendiri melihat suasana kereta yang kacau balau di siang begini.
Sudah terhitung sejak pagi tadi ada 5 pengamen yang bernyanyi disini. Silih berganti. Ada beberapa yang bagus. Bahkan tadi barusan ini. Lagunya easy listening. 5 orang pemuda tanggung. Membawa gitar, gendang, bernyanyi lagu khas Palembang. Saya menyimak liriknya sayup-sayup. Ya saman. Ini lagu paling keren di kereta. Saya Tanya mr. google liriknya. Wah ketemu. Cekidot
jelik belumban perau di sungai musi
janganlah lupo beli telok abang
cantik rupo penyabar dan baik hati
adek manis berambut panjang di kuncit kepang

lika liku banyu batang ari semilan
mengalir bermuaro kei sungai musi jugo
elok lah bunga cindo menawan
muat kakak siang tegenang malem tejago

pulao kemarao melah sungi musi ke sungsang
nagh ke pusri laju tesasar ke kalidoni
badan saroh pkiran resah hati teguncang
ngarepke adek kalu bae galak jadi bini

ayayayayaya ya saman
pecak ny mudah tapi saroh nian

ayayayaya ya saman
nyari bini yang bener-bener setuluk an

ayayayayaya ya saman
pecak ny mudah tapi saroh nian

ayayayaya ya saman
nyari bini yang bener-bener setuluk an
 Artinya.... cari sendiri lah ya. hehe
***
Disela-sela kami mengobrol dan bergantian memberi pengamen ‘penghargaan’ pak agus dan bapak dua tiket terus-terusan membeli segala macam makanan yang lewat sejak tadi. Membeli cukup banyak lantas memaksa saya menghabiskannya. Wah, senang sih senang. Tapi penuh juga nih muatannya. Hehehe
Oh iya. Hampir lupa. Si bapak pemilik ayamsudah turun distasiun baturaja. Tinggalah hanya kami bertiga. akhirnya sibapak dua tiket merasakanjuga duduk lapang. Hehe.tapi beliau malah mempersilahkan saya jika mau selonjor kaki di bangku sebelahnya. Wah pucuk dicinta ulam tiba ini namanya.
Sangking banyaknya obrolan dengan narasumber pak agus, saya sampai lupa mau menuangkannya semua disini. Politik Indonesia, carut marut pemerintahan, sejarah kereta api,pns, ibu rumah tangga,Palembang dan lampung,orang sumatera, orang jawa,sampai ke tips-tips mencari calon suami (Ini khusus dibocorkannya pada saya). Haha. lucu sekali. Tapi rada sungkan juga. Bukannya apa-apa. Saya justru malu dengan si bapak dua tiket itu yang ikut menyimak pak agus –dengan serius dan yakin- memberi saya tips-tips itu.
Oh ya, soal naik kereta pagi-malam begini. Inalillahi, saya lupa dan tiba-tiba ingat saat sudah pukul 1siang. Bagaimana shalat dzuhur dan ashar??????? Saya sampai kelepasan kaget
“Ya Allah!”
“Kenapa?” Tanya pak agus ikut-ikutan kaget. Padahal kami sedang ditengah-tengah obrolan.
“Eh, ga pak. Ga kenapa-kenapa.”
Wah, saya kembali pusing. Beberapa menit kemudian saya izin ke wc. Ambil wudhu sebisanya.duduk kembali. Lantas shalat isyarat jamak qashar dzuhur-ashar. Astaghfirullah. Semoga diterima.
Selesai shalat,pak agus bertanya dengan pertanyaan yang sudah saya tebak
“fadila ngapain tadi? Shalat ya?”
Saya mengangguk saja. Masih merutuk kebiasaan lupa yang kadang-kadang kelewat batas
Pak agus malah memuji saya. Mengatakan jarang sekalianak mudaseperti saya. Lihataja seisi keretaini.siapa yangmasih ingatshalat.hm,saya Cuma senyummendengarnya. Sebenarnya mau balas bertanya, bapak ga shalat? Tapi urung. Entah kenapa saat itu saya kok tidak berani.
Obrolan kembali mengalir.saya hanya sesekali menimpali atau menjawab jika ditanya. Lagi-lagi,saya tidak ingin melewati pemandangan diluar kereta. Pohon-pohon menjulang, padi-padi menghampar, rumah-rumah kampong yang khas. Dan tentu saja pemandangan di dalam kereta ini sendiri.
Tepat pukul 6 sore. Saya sampai di stasiun tegineneng. Berjarak sekitar 15 km dari rumah saya di natar. Lebih dekat jika dibandingkan turun di stasiun tanjung karang. Kebetulan di dekat stasiun ada rumah sepupu juga. Atukami, kakak sepupu saya sudah menjemput di stasiun. Dia memberitahu via sms tadi. Mami juga sudah mewanti-wanti agar jangan kelewatan dari stasiun tegineneng. Hehehe.
Saat ingin turun, pak agus berbaik hati membawakan barang saya turun dari kereta. Meski sudah berkali-kali saya tolak.
“Dimana kakaknya fadila?” tanyanya saat kereta api mulai berhenti
“ini pak.” Jawab saya setelah melihat atukami melambaikan tangan kearah saya
“Wah, mirip ya. Tapi yang ini wajahnya wajah orang lampung.” Begitu komentar pak agus saat saya turun dan sebelum ia masuk kedalam kereta.haha. lucu sekali melihat atukami kaget mendengar seorang bapak berkata seperti itu
“Siapa itu nda?” tanyanya kaget
“Pak agus, kenal di kereta.”
“O…hahaha.”
The last. Setelah lewat magrib… akhirnya sampai dirumah ^^

No comments:

Post a Comment