“Kamu berani?” pertanyaan itu terlontar dari mami. Saya
tertawa seolah mendapat ledekan. Meski saya tahu, pertanyaan itu adalah
ungkapan khawatir dari beliau.
“Beranilah…” jawab saya sok yakin. Meski itu tak lantas
menyurutkan gurat-gurat khawatir dari wajah beliau. Wajar memang. Walau
bagaimanapun saya seorang wanita. Riskan pergi jauh tanpa ada yang menyertai.
Tapi jujur, saya memang tidak was-was memikirkan perjalanan
yang kedua menuju palembang dengan kereta api ini. Yang pertama kali saat
menemani abi, itu pun saat usia saya baru 4 tahun. Ini tak lebih dari sekedar
naik kendaraan dan menunggu untuk sampai di satu tempat. Apalagi dari jauh-jauh
hari sebelum berangkat, ayah man -paman- yang tinggal di palembang memastikan kedatangan
saya akan ditunggu di stasiun. Saya tinggal membawa diri diatas kereta dari pukul
9 malam sampai pukul 5 pagi. Itu sudah cukup aman. Dengan izinNya.
Pukul 7 malam saya diantar mami, era, dan aat menuju stasiun
tanjung karang yang jaraknya cukup jauh dari rumah. Memakan waktu hampir 1 jam. Sesampainya kami
langsung mencari tempat duduk yang sesuai dengan no tiket yang saya beli tadi
pagi. 14 b gerbong 2 kelas bisnis. Sebelum turun, mami masih sempat berkenalan
dengan seorang ibu dan menitipkan saya pada beliau.
Si ibu ternyata asyik diajak ngobrol. Asli Palembang. Sudah 30
tahun merantau ke lampung. Berdagang di pasar bambu kuning. Anak-anaknya 4
orang, sudah menikah semua. Dan beliau pulang kampung untuk menjenguk ibunya.
Wah… saya selalu senang bisa mengobrol dengan para orangtua
yang bercerita tentang anak –anak mereka. Itu seperti mengobati sedikit kekakuan
saat mengobrol dengan orangtua sendiri. Dengan bapak satpam, mamang becak, pak
petani, ibu pedagang, sopir angkot, guru sampai ke dosen profesor. Mengobrol
dengan para orangtua adalah kesempatan saya untuk belajar menjadi pendengar
yang baik (saya termasuk tipe orang yang lebih suka bercerita daripada
mendengarkan, hehe). Mengobrol dengan para orangtua dirumah membuat saya
bercermin. Seperti inilah kedua orangtua saya. Dengan mata menyala,
berkaca-kaca. Menceritakan ini itu tentang keluarga mereka. Tentang anak-anak
mereka. Nama, sifat, usia. Si A bekerja
di sini. Si B sudah menikah dengan si ini. Well, saat kereta api mulai
berjalan. Terhitung 30 menit saya dan si ibu mengobrol. Alhamdulillah, sanguinis
seperti saya bisa juga menjadi pendengar yang baik. Teruji dan terbukti. hehe
Tibalah kereta ini mulai terisi penuh. Saya berdoa sejak
tadi semoga tidak ada penumpang disebelah saya. Dengan begitu saya bisa tidur
nyaman. Tapi doa itu tidak terkabul ;( Hehe. Bahkan pemilik tiket 14 a gerbong
2 kelas bisnis ternyata seorang pria. Usianya mungkin sekitar 30an awal. Haduh.
Alamat tidak tidur semalaman.
Si mas menawari, ingin duduk di dekat jendela atau tidak. Untuk
urusan seperti ini, saya lebih memilih duduk di dekat jalan hilir mudik di
kereta ini saja. Tidak di dekat jendela. Entahlah, mungkin bisa lebih bebas.
Setelah posisi sudah pada tempatnya, setelah petugas
memeriksa semua tiket penumpang. Saya dan si mas –yang ternyata membawa
rombongan 15 orang untuk bekerja borongan di Palembang- berbasa-basi dengan
pertanyaan standar: pulang atau pergi? Baru kali ini? Sendirian? Wah berani ya?
Akhirnya si mas itu tertidur pulas dalam posisi duduk. Pulas sekali sampai besok
pagi. Alhamdulillah. Lebih baik seperti ini daripada harus meladeni dia mengobrol
semalaman. Hehe.
Di sisi lain, si ibu asli Palembang terdengar ribut-ribut
dengan beberapa penumpang. Beliau duduk selang dua bangku dari tempat saya. Setelah
menyimak sebab ribut-ribut terjadi. Akhirnya diketahui ternyata si ibu salah
tempat duduk. Olala. Kasihan juga. Saya menawari diri untuk membantunya
membawakan barang-barang beliau yang lumayan banyak. Tapi ternyata sudah
didahului oleh bapak2 yang ribut dengannya mempersoalkan tempat duduk tadi.
“Beginilah orangtua, hanum. Sudah pikun. Ibu pindah ya.”
Sahutnya sambil tertawa.
“Iya bu, hati-hati.” Saya mengikutinya dengan ekor
mata. Ibu yang energik. Bahkan pulang
kampung seperti ini masih sanggup pergi sendirian. Kemana 4 orang anak-anaknya?
Mungkin mereka sibuk dengan kehidupan masing-masing. Ah, apakah waktu mereka
yang 24 jam x 7 itu tidak bisa diberikan satu saja kepada ibu mereka? Mungkin
jauh. Tapi bukankah keamanan sang ibu sangat mahal? Tak bisa dibayar dengan
apapun? Mungkin waktu, biaya, juga kondisi memang tidak memungkinkan.
Entahlah. Saya belum pernah berada dalam kondisi seperti
ini. Selalu. Kejadian-kejadian seperti ini membuat saya membayangkan masa depan
dan membuat janji-janji. Kalau saya, akan begini dan begitu. Tidak akan seperti
ini dan seperti itu. Semoga bisa tertunaikan.
Lima belas menit dalam perjalanan. Kebiasaan dari dulu.
Selalu lupa berdoa jika bepergian. Siapa yang bisa menjamin saya bisa selamat
selain Dia. Ahya wa amuut…
Bismillahi majreeha wa mursaha…
Saya mengedarkan pandangan. Di deretan bangku belakang,
sekilas terlihat semuanya laki-laki. Mungkin 15 orang rombongan yang dibawa
oleh si mas sebelah ini. Persis di bangku depan, dua orang ibu-ibu yang
mengobrol dengan bahasa bukan lampung bukan Palembang –mungkin bahasa ogan-.
Tak lama kedua ibu itu pun tertidur setelah memesan 4 bantal yang disediakan
oleh petugas kereta api. 4 ribu rupiah untuk 1 bantal. Begitu yang saya lihat
dari hasil melirik. Hehehe.
Persis 2 bangku di sebelah kiri, dengan nomor kursi 14 c dan
14 d, diduduki oleh seorang nenek dengan cucu laki-lakinya –mungkin- yang
sepertinya lebih muda dari saya. Saya dan si nenek berpapasan mata dan saling
melempar senyum. Wah, tiba-tiba saya menyesalkan doa tadi. Coba doanya semoga satu
bangku dengan nenek-nenek atau ibu-ibu. Dengan begitu, saya kan bisa menggelar alas
koran dibawah dan tidur aman. Ekor mata saya melirik si cucu yang terlihat
bersungut-sungut sejak pertama kali datang. Tadi mereka diantar seorang bapak,
mungkin bapaknya. Dipesankan ini itu, namun si anak memasang wajah cemberut.
Mungkin dia terpaksa mengantarkan neneknya ke Palembang. Atau memang ada
masalah. Atau mungkin sedang sakit. Lalu apa hubungannya dengan saya?
Hubungannya adalah saya jadi sungkan ingin melakukan tawat menawar. Tamar
menawar? Iya. Saya sempat berniat ingin mengajak cucu nenek ini tukar tempat
duduk. Soalnya saya juga mendengar si nenek memintanya untuk menggelar alas
dibawah. jelas saja nenek itu bisa capek. Semalaman dalam posisi duduk. Tapi
permintaan nenek tadi tidak dijawabnya dan dia tetap duduk dengan wajah
cemberutnya. Nah, kalau dia mau tukaran tempat duduk dengan saya kan enak. Si
nenek bisa selonjoran tidur diatas. Saya akan senang hati menggelar koran di bawah.
Toh dua ibu didepan juga melakukan hal yang sama. Lagi-lagi saya melirik si
cucu. Dia sadar dan menoleh dingin kearah saya. Wah, tidak jadi deh. Hehehe.
Lantunan edcoustic terdengar dari saku jaket saya. Telpon
dari mami. Bertanya saya sudah sampai mana. Wah, mana mungkin saya tahu. Hehe.
Setelah sampai di stasiun kotabumi, sangat jelas tulisan KOTABUMI di plang
gedung stasiun, barulah saya menelepon balik, sudah di kotabumi mi. mami
kembali menasehati ini itu. Bertanya bisa tidur tidak. Usahakan bisa tidur.
Biar besok kuat saat tes. Begitu pesan beliau. Ah, memang ya. Tidak ada
kekhawatiran melebihik kekhawatiran seorang ibu. Mami juga begitu. Untuk urusan
satu ini memang selalu. Kakak perempuan saya saja yang sudah hampir dua tahun
bekerja di Bengkulu, minimal 3 x sehari ditelpon mami. Tidak pernah absen.
Apalagi kalau sudah mendengar kabar gempa Bengkulu (Yang memang lumayan sering
terjadi). Wah, dengan wajah tegang. Beliau langsung menelepon. Bisa dipastikan
seharian beliau tidak lepas dari hp. Next, back to topic…
Ngantuk. Dingin. Bosan. Hm, itulah yang saya rasakan malam
itu. Saya lebih banyak menyimak suara krek-krek kereta api yang beradu dengan
batangan rel, juga desau angin, pun beberapa dengkur tak harmonis dari
sekeliling. Saya merogoh kantung depan tas ransel yang memang sengaja saya
taruh dibawah, tidak diatas (tempat menaruh tas dll). Mengambil headset dan
menyetel mp3 Mishary Rasyid. Tidak ada yang lebih menenangkan hati selain
mendengarkan lantunan kalamullah. Menarik resleting jaket sampai keatas.
Mencari posisi duduk yang lebih enak. Menengok kearah jendela yang lumayan bisa
terlihat. Memperhatikan lampu-lampu rumah dalam remang juga berbilang
pohon-pohon menjulang. Memejamkan mata. Melafazkan doa dalam hati, Ridhoi
perjalanan ini ya Rabbi…
Tengah malam. Pukul 1 dini hari. Kereta kembali berhenti di
stasiun. Saya mencoba mencari tahu sampai di stasiun mana. Sayang sama sekali
tidak terlihat. Suasana kembali ramai. Petugas kereta api yang lagi-lagi
memeriksa tiket. Beberapa penumpang yang terbangun dan tak lama tertidur lagi.
Si mas sebelah yang tak terusik sama sekali –petugas tidak membangunkannya
untuk memeriksa tiket karena tiketnya sudah dipegang dengan teman-temannya di
belakang *sok tau, hehe*. Dua ibu-ibu di depan terbangun dan sama-sama mengambil
posisi duduk. Memesan dua piring nasi goreng kepada seorang petugas yang memang
dari tadi hilir mudik membawa pesanan nasi, kopi, teh. Kembali ribut mengobrol ini itu dengan bahasa
ogan. Saya menoleh ke kiri. Terlihat si cucu yang sudah berkurang sedikit
ekspresi cemberutnya. Membuka lembaran koran yang baru dibelinya lantas
menggelarnya dibawah (mau juga akhirnya, hehe). Neneknya bisa tidur selonjoran
diatas, dan ia segera tidur dibawah. hiks,
daku iri.
Beberapa pedagang naik dan menjajakan dagangannya. Saya
langsung teringat tidak membawa air mineral. 4 ribu untuk satu botol.
Lumayanlah. Lantas saya bertanya pada petugas yang lewat berbalik arah dari
memeriksa tiket tadi. Bertanya tempat
shalat di kereta ini. Cukup kaget dengan jawaban: tidak bisa. Saya jadi was-was
berada diperjalanan yang semua penumpangnya tidak bisa shalat subuh. Akhirnya saya memutar otak. Kembali bertanya
apakah benar sampai stasiun kertapati tepat waktu pukul 5 subuh nanti. Jawaban
yang lagi-lagi membuat kaget: tidak. Nanti jam 8 atau setengah 9. Olala. Saya
kembali memutar otak. Last choice, saya bertanya pada mr. google. Mengetik
disana: cara shalat diatas kereta api. Ternyata ada. Shalat sambil duduk.
Dengan isyarat mata dan sedikit gerakan tubuh. Alhamdulillah. Sungguh agamaMu
sangat mudah J
Pukul setengah 5, saya beranjak ke wc. Wah, aroma yang tidak
mengenakkan menyeruak. Ya jelaslah. Namanya juga fasilitas umum. Menggunakan
air mineral untuk berwudhu. Sedikit menyesal kenapa tidak dari tadi saat kereta
berhenti di stasiun. Akan lebih mudah daripada saat berjalan seperti ini. Ya
sudahlah. Mau bagaimana lagi. Yang penting bisa shalat. Bismillah. Semoga
shalatku diterima.
Langit mulai menelurkan cahaya. Bisa terlihat dari jendela
kereta ada fajar yang mengintip malu-malu disana. Kereta api kembali berhenti.
Tiba di stasiun Baturaja. Wah, berarti sudah masuk wilayah sumatera selatan. Keadaan
di luar sudah mulai terang. Ternyata tanah sumatera selatan basah. Mungkin
semalaman diguyur hujan. Subuh yang dingin bertambah dingin. Ah, pasti nikmat
sekali jika bisa tertidur barang sebentar.
Only human terdengar. Sms dari Tulus, adik sepupu yang akan
menjemput di stasiun kertapati. Sms yang asli dengan bahasa Palembang. Sampai mana, nda? Baru lewat stasiun
Baturaja. Tulus sudah di kertapati. Nanti
sms kalau sudah turun. Oke, saya membalas singkat. Tak lama edcoustic yang
terdengar. Ayah man menelepon. Bertanya juga sudah sampai mana dan bilang
beliau sudah di kertapati. Saya jadi sedikit bingung. Ayah man dan Tulus
bukannya sama-sama di kertapati lantas kenapa sama-sama bertanya. Hehe.
Edcoustic lagi-lagi terdengar. Kali ini mami. Bertanya
sampai dimana. Saya memberitahu baru saja ditelpon ayah man, beliau sudah
menunggu di kertapati. Juga bertanya apakah saya bisa tidur. Tidak, tapi nanti bisa tidur di rumah
serumpun –kakak sepupu perempuan-. Apakah sudah makan. Belum, nanti di rumah serumpun. Jangan lupa makan. Iya. Hati-hati. Iya. Ya Rabbi, semoga kekhawatiran seperti ini, perhatian seperti
ini, bisa juga saya berikan pada beliau kelak.
Aktivitas didalam kereta mulai ramai. Kebanyakan wara wiri
ke wc. Memesan nasi goreng yang harganya 15 ribu atau kopi seharga 10 ribu. Beberapa
masih betah mendengkur bahkan sampai akan tiba di stasiun terakhir (kertapati).
Sampai-sampai harus dibangunkan oleh petugas kereta api. Wah nyenyak sekali
tidurnya. Luar biasa saya iri. Hehe.
Pukul 8 lewat 25 menit, kereta api merapat di stasiun
kertapati. Saya cepat-cepat mengirim sms ke tulus. Saat turun dari kereta, ia
membalas: Tulus pakai baju pink, nda. Saya tersenyum lebar. Lucu juga membaca
smsnya. Pakai baju pink. Dari dulu saya masih menganggap warna pink adalah
warna yang lucu jika dipakai seorang cowok. Hehe. Abaikan, hanya pikiran
selintas. Sebab setelahnya pun saya menyusuri lautan manusia, mencari seorang
cowok berbaju pink. Oh ya. Meskipun Tulus adalah adik sepupu saya. Saya jelas
tidak hafal dengan wajahnya. Terakhir kami bertemu saat saya umur 4 tahun dan
dia umur 2 tahun. Itu pun saya tahu dari kenang-kenangan foto di album
keluarga.
Setelah melewati empat gerbong kereta, masih juga saya belum
menangkap seorang cowok memakai baju pink. Tapi tak lama, saya justru menangkap
sesosok yang sudah saya kenal. Ayah man. Beliau sering pulang ke lampung. Saya
langsung menghampirinya yang ternyata baru saja menekan nomor hape dan
menelepon saya. Matanya menangkap sosokku. Disebelahnya, ada Febri –adiknya
serumpun-. Ayah man memberitahu bahwa yang lain sudah di gerbong kereta api
yang akan menuju lampung. Yang lain? Well. Saya memang belum memberitahu ini.
Bertepatan dengan perjalanan saya ke Palembang. Seluruh keluarga besar di
Palembang (kecuali dua orang sepupu –Tulus dan serumpun- yang menjaga rumah)
pulang kampung ke lampung karena ada adik sepupu yang menikah.
Saya masuk kedalam gerbong itu. Riuh sekali disana. Satu
persatu menyalami mereka semua. Sembari menanggapi pertanyaan ini itu: o ini
anaknya abah? Anum? Sudah besar ya? O yang mau ikut tes? Mata saya menangkap satu
cowok berbaju pink. Ini pasti tulus. Pantas saja dari tadi tidak ketemu. Dia
masih sibuk mengangkut-angkut barang. Tak
lama kami berdua berpamitan dari rombongan.
Kami menuju rumah serumpun di pusat kota. Tak jauh dari
jembatan Ampera. Kalau rumah tulus, cukup jauh dari sini, tepatnya di sekojo.
Hanya sekitar 10 menit kami sudah sampai. Tak lama, serumpun
keluar menyambut. Ternyata di rumah juga ada ambai. Neneknya serumpun dari
ibunya. Menyimak bahasanya saya lebih bingung lagi. Disimak lebih dalam, Ooo
ternyata ambai orang asli ogan. Pantas tidak paham. Tak lama, tulus izin
keluar. Setelah memastikan ia akan kembali kesini pukul setengah 12 untuk
mengantarkan saya ke padang selasa.
Oh ya. Lucu juga. Dari awal saya menulis, belum menjelaskan
tujuan datang ke Palembang. Hehe. Oke. Saya ke Palembang karena mengikuti tes
tertulis penerimaan pegawai BI. Tentu saja saya sebenarnya tidak pede untuk
mengikuti tes ini. Tes ke 2 dari 7 tahapan tes untuk bosa menjadi pegawai PCPM
Bank Indonesia. Tapi terlalu kerdil jika saya menyerah sebelum bertanding.
Usaha dulu baru ada hasil. Tidak mungkin juga saya mematahkan mimpi kedua
orangtua yang seketika sangat bahagia mendengar saya lolos tahap 1 tes
administrasi.
Pukul 9 tepat. Cukup lama mengobrol dengan ambai, lebih
tepatnya mengangguk-angguk mendengarnya berbicara ini itu. Biasalah,
nenek-nenek pada umumnya. Hehehe. Serumpun berulang kali mengajak makan. Memang
saya belum makan sejak naik kereta semalam. Tapi memang lagi, kalau dalam
perjalanan seperti ini, suka lupa dengan makanan. Hehe. Setelah memastikan
ambai tidak lagi mengajak bicara. Saya menyusul serumpun ke dapur. Mengobrol
ini itu sembari menemani membuat pempek. Setengah jam kemudian, saya teringat
sesuatu. Tidur. Wah ini penting. Saya bilang ingin istirahat sebentar. Lumayan.
Bangun kembali pukul 11 siang.
Pas sekali. Pempek kapal selam sudah siap untuk disantap.
Kami berempat. 4? Siapa satunya lagi? Hehe. Saya, serumpun, ambai, dan sangkut.
Sangkut adalah tetangga depan rumah. Mungkin sahabat dekat serumpun. Pertama
kali berkenalan dengan sangkut. Lucu juga mendengar namanya. Sangkut. Unik.
Lain lagi dengan serumpun. Sebenarnya serumpun itu bukan namanya. Akan tetapi
panggilan khusus dari keluarga di lampung. Menandakan antara lampung dan
Palembang masih satu rumpun. Begitu mungkin. Itu hanya dugaan saya saja. Hehehe.
Nah, nama asli serumpun adalah intan. Tetapi dia di rumah
dipanggil angkut. Beda huruf s saja dengan sangkut. Hehe. Lucu kan?
Next. Saya siap-siap pergi tes. Tulus datang tepat waktu.
Dia harus menunggu sekitar 10 menit karena saya belum siap. Wah jadi tidak enak
merepotkan. Meskipun sepupu, kami juga kurang begitu kenal. Hehe. Lain halnya
dengan serumpun. Dia beberapa kali pernah menginap di rumah saya. Jadi ya sudah
akrab.
Kami segera meluncur ke daerah padang selasa. Tepatnya di
gedung pascasarjana Universitas Sriwijaya. Tidak susah menemukan lokasinya.
Karena selain Tulus mengenal baik daerah ini. Siapa juga yang tidak tahu lokasi
Unsri. Alhamdulillah, tidak ada kejadian kesasar atau terlambat datang.
Saya dan Tulus mulai mengobrol banyak. Menunjuk ini itu.
Mengenalkan disana ada ini disana ada itu. Setelah sampai dia berkata,”nanti
sudah selesai yunda sms tulus be? Tulus susul disini. Cari-carilah kenalan ajak
ngobrol.” Saya tertawa mendengar pesannya itu. Mungkin karena belum terbiasa
mendengar orang Palembang bicara dengan logat khas seperti itu.
Saya sama sekali tidak terlambat. Justru banyak waktu untuk
shalat dzuhur dan mengobrol dengan peserta tes lain. Wah mereka berasal dari
jauh juga rata-rata. Dari Bengkulu, lahat, baturaja, dan hei! Saya bahkan
bertemu dengan hendra. Adik tingkat waktu SMA dan kuliah. Sebelum masuk kedalam
aula. Hendra sempat-sempatnya bilang, kita duduk sampingan ya mbak? Biar saya
bisa nyontek. Beh! Saya tertawa. Jadi teringat sesuatu. Kami pernah mengalami
itu waktu SMA. Saya kelas 2 dan dia kelas 1. Karena saat ulangan kelas 1 dan 2
duduk berdampingan. Diurut menurut kelas dan abjad. Jadilah saya yang kelas 2.1
dan hendra 1.1, saya yang berawalan huruf F dan hendra H bernasib satu bangku.
Meskipun lain soal lain jawaban. Dengan sok yakin, hendra pernah menyontek
kertas ulangan saya. Saya sampai bengong melihat aksinya.
“Hendra, soalnya kan lain, kenapa kamu malah nyontek saya?”
Tanya saya sembari berbisik dan memasang wajah galak,
Dia malah cengengesan. Hadeh. Emang rada aneh ini orang.
Hehe.
Kami memasuki aula tepat pukul 1 siang. Keinginan Hendra
tidak terjadi. Saya duduk di deretan depan. Dia jauh di belakang. Cukup lama
proses mengisi absen, memeriksa nomor peserta, izin masing2 peserta yang
digilir jika ingin ke wc. Tes baru dimulai pukul 2.
To be honest. Saya agak malas menjelaskan detail bagaimana tes
itu. Saya hanya ingat 6 atau 7 kali menulis nama, nomor peserta, dll di kertas
jawaban yang berganti 6 atau 7 kali itu. Setiap lembar jawaban, rata-rata
memuat 100 soal. Dengan berbagai tipe dan khasnya. Well. Ini memang
sebenar-benarnya tes. Hehehe. Lihat saja nanti hasilnya. Yang penting usaha
optimal sudah saya kerahkan. Saat tes tadi, kepala saya cukup pusing. Mungkin
karena sejak pagi saya belum makan nasi, malah makan pempek kapal selam.
hehehe.
***
Karena saya agak malas menjelaskan. Saat tulus menjemput dan
bertanya bagaimana tes tadi. Saya hanya menjawab dengan jawaban singkat. Wuah,
luar biasa! Itu saja jawaban saya. Setelahnya saya malah tertawa-tawa tidak
jelas.
Sesampai di rumah, serumpun memaksa saya makan nasi. Tidak
perlu dipaksa sebenarnya, kali ini saya benar-benar lapar. Hehe. Sembari makan
ditemani serumpun dan tulus yang menikmati keripik coklat –oleh-oleh saya dari
lampung- saya bilang ingin jalan-jalan ke jembatan Ampera. Serumpun dan tulus
jadi ikut semangat. Saya mengeluarkan kamera Panasonic yang sudah berumur 3
tahun lebih. Keadaannya tidak baik. Foto yang dihasilkan tidak begitu jelas
lagi. Kadang-kadang bahkan saat dihidupkan otomatis menutup lagi. Itulah yang
terjadi pada kamera itu sejak saya berangkat tadi malam.
Saya menyerahkan kamera itu ke tulus. Barangkali tulus tau celahnya. Begitu terang saya asal.
Tulus justru menanggapi serius. Ia seperti merapal mantera sambil memejamkan
mata. Membuat saya dan serumpun tertawa melihatnya. Hey! Ajaib. Kamera saya
bisa digunakan. Wuah bangganya Tulus minta ampun. Dia langsung bergaya ini itu.
Menjepret sana sini. Kami kembali mematangkan rencana jalan-jalan malam ini. Hehe.
Ditengah-tengah semangat kami merencanakan jalan-jalan malam ini. Ambai tiba-tiba marah.
Ambai baru menyadari saat itu sudah pukul setengah 6 sore. Menjelang magrib.
Wah, dia jadi mengomel-ngomel tidak karuan. Dengan bahasa khas ogannya dia
masih terus mengomel. Terlihat sekali dia marah besar. Tidak dibangunkan sejak
tadi. Tidak diingatkan makan sore, tidak diingatkan shalat ashar, tidak
diingatkan mandi sore. Tentu saja yang ambai marahi itu serumpun. Awalnya
serumpun hanya senyum-senyum kearah kami berdua. Dan tidak menjawab omelan ambai.
Tapi lama-lama dia tidak tahan juga. Wah, jadi tambah ramai mendengar mereka ribut.
Saya mencoba mememberi isyarat supaya serumpun diam saja. Tetapi mungkin dia
juga sudah kesal. Membela diri dengan mengatakan bahwa dia sudah membangunkan
ambai sampai berkali-kali.
Saya dan tulus hanya diam sembari mendengar ambai dan
serumpun balas membalas. Namun saat ambai pergi mandi –meski masih saja tetap
mengomel- serumpun kembali diam. Tiba-tiba tulus menyetel lagu korea dan
nge-dance tidak jelas. Kontan saja kami berdua tertawa ditahan-tahan. Lucu
sekali. Saya jadi tahu ternyata tulus juga penggemar korea. Wah bakalan cocok
nih. Hehe
Setelah magrib, saya dan Tulus sudah siap berangkat. Akan
tetapi serumpun masih juga diomeli ambai yang saat itu sedang makan. Setelah
beberapa menit tidak ada kejelasan sampai kapan ambai berhenti mengomel,
serumpun menyuruh kami untuk pergi duluan. Nanti dia menyusul. Akhirnya kami
mengalah.
***
Beginilah suasana malam di kota Palembang. Hm, apa ya. Ramai
dan khas. Di sini, bahasa daerah sangat kental. Sangat berbeda dengan di
lampung. Sayang sekali. Terus terang saya kembali bertanya-tanya. Apa sebabnya
bahasa lampung tidak membudaya. Disini, orang jawa, orang cina, semua berbahasa
Palembang. Oi bahkan saya sudah bisa beberapa kalimat:
Idak pacak = tidak pas
Lemak nian makan pempek ni = enak sekali makan pempek ini
Dak begawe tadi kau? = tidak kerja tadi kau?
Sikok be = satu saja
Duo ikok
Tigo ikok
Hehe
Saya mendengar itu di warung mie ayam ‘lek pon’ di pinggir
pasar sekanak. Saya memang bilang ingin makan mie ayam di Palembang, apa
rasanya sama dengan yang di lampung. Tulus langsung membelokkan motornya saat
itu juga. Ternyata pas sekali posisi kami di jalan dengan warung mie ayam ini.
Saya dan mie ayam memang berjodoh. Halah.
Hm, apa ya. Enak. Sama dengan yang di lampung. Cuma bedanya
ini mienya keriting. Hehe. Jumlahnya juga lebih sedikit. Tidak penuh satu
mangkuk. Tulus kembali mencoba-coba menghidupkan kamera. Innalillahi. Error
lagi T_T wah kesal sekali rasanya. Semangat yang tadi menggebu-gebu seketika
menguap. Tulus kembali seperti merapal mantera. Memejamkan mata. Dan mencoba
menghidupkan lagi. Hasilnya: Gagal! T_T
Ya sudahlah. Yang penting bisa melihat langsung ampere di
malam hari. Meski rada kesal. Bisa juga kami tertawa sepanjang jalan. Lucu
sekali mendengarkan tulus kembali menyanyikan lagu korea. Kali ini yang
slow. Saling bercerita tentang film
korea yang diputar di indosi*r. saya
mengirim sms ke serumpun. Bertanya apakah dia sudah bisa berangkat sekarang?
Tapi saying, serumpun menjawab ambai masih marah-marah dan mengatakan ia tidak
bisa ikut jalan-jalan.
Tak lama, kami sudah sampai di TKP. Dan kesan saya adalah….
It’s so beautiful…..surelly. nice view! cahaya-cahaya lampu
berwarna-warni. Desau angin segar dari sungai musi. Beberapa pedagang lampu
hias yang memperagakan dagangannya. Lampu terbang dan entah apa lagi. Ramai
sekali!
Tulus kembali mencoba menghidupkan kamera. Alhamdulillah,
bisa! Wah saya sampai ingin melompat kalau tidak ingat umur. Hehe.
Oke! It’s time for foto-foto ^^. Senangnya. Meski hasilnya
tidak begitu bagus. Tapi lumayanlah. Cekidot.
lampu di jembatan ampera ada yang rusak. makanya kurang terang.kata tulus sih gitu. hehe
Nah, ini dia yang namanya tulus :)
Keren! tapi wc di bawah kanan ini ganggu pemandangan aja ;(
di depan museum sultan badaruddin. agak-agak horor rasanya :D
Bolehlah :D
Nah, tulus lagi ni :D
di depan benteng kuto besak. artinya:benteng kota besar B)
di depan bank sumatera selatan. hehe
Sembari mencari objek tempat foto dan memasang gaya tidak
jelas. Tulus begitu semangat memberitahu ini itu. Benteng kuto, museum sultan
badaruddin, museum garuda, Al-Qur’an terbesar sedunia. Kalau hari minggu yunda
masih di sini, tulus bisa ajak ke pulau kemaru dan danau opi. Begitu katanya
ditengah-tengah sok narsisnya kami berganti-ganti jadi subjek dan objek. Saya
tak sabar memintanya untuk foto di jembatan ampera. Di pinggir jalan. Akhirnya
keinginan itu terkabul juga. Meski hasilnya lebih-lebih tidak jelas. Hehe.
Cekidot.
ampera dari sisi kiri. eh P nya ga hidup :O
again, bolehlah :D
ampera dari sisi kanan. P nya hidup kok :D
Lampu-lampunya cantik :*
Wah. Jangankan di Palembang. Di lampung saja saya jarang
sekali keluar malam2. Kalau tidak dua tahun sekali ke pameran. Hehe. Maka
wajarlah kalau saya seperti orang dusun masuk kota.
***
Keesokan paginya, saya merasa badan agak sedikit tidak enak.
Sebenarnya bisa saja memaksa langsung pulang pagi itu. Tapi saya tak ingin
menjemput sakit. Mungkin saya perlu istirahat dan menghirup angin segar sore
hari di sekitar sungai musi di bawah jembatan ampera . Maunya. Hehehe.
Pagi-pagi, saya dan serumpun pergi ke pasar. Beli ikan juga
sayur asam dan tempe. Pasar sekanak ramai dengan bahasa khasnya. Meski tidak
bisa, saya sedikit paham apa yang mereka katakan. Apalagi sikok. Duo ikok. Tigo
ikok. Hehehe. Setelah sarapan kami hanya beres-beres sebentar. Siangnya juga
hanya ngobrol ini itu sembari makan pempek. Again. Kali ini beli. Saya memilih tekwan.
Wow! Ini tekwan terenak yang pernah saya coba. Tahu berapa harganya? 2000
rupiah saudara-saudara! Luar biasa! Mengalahkan bakso jadi-jadian di dekat
rumah saya yang harganya 3000 rupiah. Hehe.
Sayangnya, menikmati tekwan panas di siang yang panas
begini. Wuah! Dobel panas rasanya. Hehehe. Suhu di Palembang memang jauh lebih
panas dari di lampung. Kipas angin juga tidak begitu membantu. Ya tak apalah
hitung-hitung buang kalori. hehe
Sekitar pukul 4 sore, seperti keinginan saya. Saya,
serumpun, dan sangkut jalan-jalan naik becak. Setelah bersempit-sempitan diatas
becak plus cekikikan karena serumpun terus-terusan menyesali mengapa dia
memakai sandal jepit. Oi, malu nian…..begitu terus dia berucap. hehe
Naik dengan becak tentu lebih menyenangkan dibandingkan
dengan motor. Bisa lebih jelas memperhatikan sekitar. Wah, saya jadi
membayangkan bisa bersepeda sore-sore disini. Menyusuri pasar-pasar yang
letaknya saling berdekatan, pemukiman padat penduduk, dan tentu saja menikmati
pemandangan sungai musi.
Sungai musi benar-benar menjadi khasnya Palembang. Memanjang
sepanjang jalan. Dimana-mana bisa ditemukan alirannya. Dari stasiun kertapati
sampai ke pasar sekanak ini, sungai musi bisa terlihat sejauh mata memandang.
Pantas saja Palembang juga khas dengan pempek yang terbuat dari ikan sungai.
Terutama ikan gabus. Mungkin itu juga yang membedakan pempek di lampung yang
lebih sering menggunakan ikan laut.
Nah, laut justru jadi barang langka di Palembang yang tidak
memiliki pantai. Pantai sumatera selatan terdapat di sebelah timur menuju pulau
Bangka Belitung. Selebihnya hanya ada sungai. Lain dengan lampung yang dari
timur, selatan, hingga barat dikelilingi pantai. Saya juga tidak heran saat
serumpun dan tulus begitu excited bertanya ini itu tentang pantai-pantai di
lampung. Jadi bangga juga. hehehe
Oke next. Sampailah kembali di jembatan ampera. Sepertinya kami
memang tidak bisa jalan-jalan terlalu jauh karena waktu yang juga tidak
memungkinkan. Tak masalah. Suasana di sekitar jembatan ampera sore-sore begini
ternyata berbeda dibandingkan malam. Tidak ada lampu-lampu tentu. Lebihnya
adalah sungai musi yang terlihat lebih jelas. Anginnya juga jauh lebih kencang.
Terlihat beberapa orang yang sedang memancing baik di pinggir sungai, diatas
jembatan, atau diatas perahu-perahu kecil. Ada juga jasa naik perahu-perahu
mengelilingi sungai musi sekitar jembatan ampera. Sayang tidak bisa naik karena
serumpun yang berkali-kali bilang malu karena menggunakan sandal jepit. Hehe.
Saya menyerah mengajaknya lagi untuk naik perahu itu. Berhubung kamera tidak
bisa digunakan, Kali ini foto-foto via hape. Lumayanlah. Lumayan tidak
kelihatan T_T Foto-foto ini juga belum bisa dipindah. Jadi ya tidak bisa
diposting disini.
Tepat 10 menit sebelum magrib kami sudah pulang. Serumpun
terus-terusan membujuk saya untuk bisa menginap satu malam lagi. Hm, mau sih.
Tapi…suara hati mengatakan saya harus pulang besok pagi. Hehe apa kali. Mami
sudah beberapa kali menelepon bertanya kapan saya pulang. Saya sudah
menjawabnya besok pagi. Sebenarnya juga bisa pulang besok malam saja. Tapi
katanya di stasiun kertapati sangat rawan di malam hari. Banyak pencopet. Wah,
saya tidak mau ambil resiko. Meskipun tulus bisa mengantar sampai ke stasiun.
Tapi tetap saja saya merasa lebih aman berangkat pagi. Lagipula harga tiketnya
juga jauh lebih murah hanya 15 ribu untuk kelas ekonomi dibandingkan malam 80
ribu untuk kelas bisnis.
***
Pagi-pagi saya dan serumpun pergi membeli nasi gemuk. Oi,
namanya itu membuat saya tertawa. Merasa.
“Anum, mau nasi gemuk idak?” serumpun bertanya saat subuh
tadi
“Nasi apa?”
“Nasi gemuk. Apo kalau di lampung namo nasi gemuk tu? Nasi
santan ado sambal.”
“Ooo…nasi uduk….” Jawab saya tertawa. Haha. Ada-ada saja
Saat kami sampai rumah, ternyata tulus sudah datang. Memang
dia yang akan mengantar saya ke stasiun. Wah, sepertinya saya yang kesiangan.
Memang seharusnya pukul 7 pagi sudah harus sampai di stasiun kalau tidak mau
antri panjang membeli tiket. Hm, saya bahkan belum mandi. Saat itu jam 7 kurang
15 menit. Bahkan pempek oleh-oleh dari serumpun juga sempat ketinggalan T_T
Alhasil, kami memang terlambat. Baru sampai sekitar pukul 8.
Antriannya sampai ke tempat parkir. Mana saya juga belum membeli pesanan adik
sepupu saya yang ulang tahun besok. Adik sepupu yang masih kelas 5 SD. Meminta
oleh-oleh kotak pensil dari Palembang. Dia bahkan mewanti-wanti saya untuk
benar-benar membelinya di Palembang. Bukan di lampung. Hm, terkadang memang
ada-ada saja maunya anak kecil. Hehehe
Akhirnya saya putuskan untuk membeli tiket dengan calo.
Kebetulan ada seorang bapak yang juga mau membelinya. Dari tawaran mereka 5o
ribu untuk satu tiket. Ditawar 70 ribu untuk dua tiket. Transaksi deal.
Akhirnya saya dan si bapak sepakat untuk membeli tiket itu.
Tulus menawarkan diri untuk mencari kotak pensil di pasar
kertapati yang ternyata tak jauh dari stasiun. Tidak lama, hanya 10 menit
sebelum kami berangkat, dia sudah tiba. Alhamdulillah.
“Hati-hati di jalan. Sampai lampung sms tulus. Jangan lupo
makan. Titip salam sama keluarga di lampung.” Begitu pesannya sebelum saya
masuk ke stasiun. Saya berterima kasih padanya. Tentu saya tak menemukan
kesulitan apapun disini karena tulus. Makasih dek J
***
Ternyata kereta kelas ekonomi berbeda dengan kelas bisnis.
Disini tempat duduknya tidak bisa diubah-ubah posisinya. Nasib deh, duduknya
jadi berlawanan arah dengan jalannya kereta.
“Bisa pusing gay a pak, kalau duduknya terbalik gini.” Tanya
saya pada si bapak yang tadi membeli tiket dengan saya.
Beliau tertawa, “ya ga lah. Sama aja.”
Wah tapi beruntungnya. Ternyata tempat duduk kami seharusnya
muat oleh 3 penumpang. Tapi ini hanya 2. Alhamdulillah lapang. Tapi lagi,
sialnya. Tepat di bawah kaki saya. Ada kardus isi ayam jago. Hiks. Langsung
speechless deh. Saya dan ayam jadi saling liat-liatan. Saling tak terima
keadaan.
“Haduh, kenapa harus deket kamu sih yam.”
“Ga gitu juga kale, siapa juga yang mau disini. Heloooo.”
Hehehe. Untuk mengatasi kekesalan. Yah, saya jadi
membayangkan dialog itu. Haha.
Hm, si pemilik ayam tidak tampak batang hidungnya. Si bapak
yang beli tiket dengan saya tadi (haduh kepanjangan) yang ternyata namanya pak
agus. Terlihat sedang mengobrol di luar kereta dengan seorang petugas kereta
api. Tadi beliau izin mau merokok dan menitipkan tasnya ke saya. Tak lama datang
lagi seorang bapak. Yang duduk disebelah pemilik ayam jago. Di mengedarkan
pandangan ke sekitar. Melihat ayam jago, tumpukan bahan tikar dibawah tempat
duduk kami masing-masing, tempat barang diatas yang sudah penuh oleh
kardus-kardus, tas saya dan tas pak agus juga. Hm, sepertinya bapak ini ingin
menaruh tasnya, tapi memang sudah tidak muat.
“Ayam siapa itu mbak?” tanyanya pada saya.
“Ga tau pak.” jawab saya singkat
“Ini punya siapa?” tanyanya lagi menunjuk tumpukan bahan
tikar. Kali ini saya menjawab dengan gelengan kepala. Si bapak lantas
bercerita, ternyata dia sengaja membeli dua tiket agar bisa duduk nyaman. Tapi sayang, ternyata berbeda bangku. 13 b
dan 13 c. 13 b berada di sebelah 13 a. sedangkan 13 c berada disebelah 13 d dan
13 e. saya juga bingung setelah melihat di bangku 13 a dan 13 b sudah terisi
dua orang penumpang. Si bapak bertanya pada dua orang pemuda itu, kurang jelas
juga apa percakapan mereka. Mungkin si bapak memberitahu kalau dialah pemilik
tiket 13 b yang saat itu diduduki oleh salah satu dari mereka. Yang terlihat
dari raut wajah kedua pemuda itu seperti tidak mengindahkan si bapak bicara.
Lantas pura-pura tidur.
“Siapa yang beli tiket, siapa yang duduk. Dicuekin lagi.”
Begitu gerutunya kepada saya. Saya hanya menanggapi dengan senyum. Ada-ada saja
memang. Apa susahnya mendengarkan orang yang lebih tua berbicara. Apalagi ini,
ternyata si bapak pemilik asli tiket itu. Tinggal bilang maaf dan terima kasih,
pastilah beliau lebih legowo.
Kereta api akan berangkat. Petugas kereta api sudah terlihat
memeriksa tiket para penumpang. Wah, saya jadi teringat kalau tiket saya terbawa
oleh pak agus. Setelah celingak celinguk kesana kemari akhirnya tampak juga pak
agus datang dari arah belakang. Tepat saat petugas itu sampai di bangku kami.
“Saya beli dua tiket, tapi ternyata beda tempat.” Lapor si
bapak kepada petugas
“Ini yang satunya?” petugas itu melirik kea rah pemuda yang
membuang muka ke jendela.
“Bagus itu pak. Beli dua untuk satu orang daripada beli satu
untuk dua orang.” Sahutnya sembari kembali melirik kearah dua pemuda tadi. Kami
bertiga tertawa mendengarnya.
Saat itulah, si pemilik ayam datang. Ternyata dua orang.
Seorang kakek dan seorang bapak yang ternyata bapak dan anak. Olala, ternyata
lengkap sudah saya dikelilingi oleh 4 orang bapak-bapak yang asyik mengobrol
ala bapak-bapak.
Saya tak lagi pusing dengan si ayam. Karena koran yang tadi
dibeli oleh pak agus ditaruhnya diatas kardus ayam. Hehehe. Ya mudah-mudahan
tidak pingsan. Lagipula si bapak pemilik ayam juga tidak keberatan.
Mereka mengobrol asyik sekali. Tentang kayu khas sumatera
yang sedang dicari oleh si bapak dua tiket. Beliau ternyata bisnis ekspor kayu.
Saya jelas kurang paham dengan apa yang mereka bicarakan. Hanya mendengarkan
sembari sesekali menengok ke luar jendela. Saya tak ingin melewati suasana
sekitar yang tidak kelihatan saat malam.
Pak agus sama sekali tidak bisa diam. Beliau yang
mendominasi obrolan sepanjang perjalanan. Sekitar pukul 11 siang. Entahlah,
mungkin kelelahan karena mengobrol. Ketiga bapak-bapak di hadapan kami berdua
ternyata sudah tidur pulas dengan posisi masing-masing. Tinggallah saya dan pak
agus yang masih mengobrol. Kali ini pak agus bertanya ini itu seperti wartawan.
Fadila ke Palembang mau apa? Cowok yang tadi siapanya? Ayahnya kerja apa?
Ibunya?
“Fadila suku apa?”
“Lampung pak.”
“Eh tapi kok wajahnya kayak orang jawa?”
“Hehe. Bapak adalah orang ke 99 yangbilang begitu sama saya.”
Jawab saya asal
“hahaha. Tapi bener loh. Fadila ini mirip dengan keponakan
istri bapak. Ya dia orang jawa. Hahaha.”
Saya Cuma mesam-mesem mendengarnya. Memang benar sudah
kesekian kali saya mendapat komentar seperti ini. Tapi ya, whatever lah J
“Sudah punya pacar?” hm, kenapa pertanyaan seperti ini sering
sekali muncul ya?
Saya menggeleng saja. Pak agus masih tidak bisa diam. Tapi ya
lumayanlah daripada bengong sendiri melihat suasana kereta yang kacau balau di
siang begini.
Sudah terhitung sejak pagi tadi ada 5 pengamen yang
bernyanyi disini. Silih berganti. Ada beberapa yang bagus. Bahkan tadi barusan
ini. Lagunya easy listening. 5 orang pemuda tanggung. Membawa gitar, gendang,
bernyanyi lagu khas Palembang. Saya menyimak liriknya sayup-sayup. Ya saman. Ini
lagu paling keren di kereta. Saya Tanya mr. google liriknya. Wah ketemu. Cekidot
jelik belumban perau di sungai musi
janganlah lupo beli telok abang
cantik rupo penyabar dan baik hati
adek manis berambut panjang di kuncit kepang
lika liku banyu batang ari semilan
mengalir bermuaro kei sungai musi jugo
elok lah bunga cindo menawan
muat kakak siang tegenang malem tejago
pulao kemarao melah sungi musi ke sungsang
nagh ke pusri laju tesasar ke kalidoni
badan saroh pkiran resah hati teguncang
ngarepke adek kalu bae galak jadi bini
ayayayayaya ya saman
pecak ny mudah tapi saroh nian
ayayayaya ya saman
nyari bini yang bener-bener setuluk an
ayayayayaya ya saman
pecak ny mudah tapi saroh nian
ayayayaya ya saman
nyari bini yang bener-bener setuluk an
janganlah lupo beli telok abang
cantik rupo penyabar dan baik hati
adek manis berambut panjang di kuncit kepang
lika liku banyu batang ari semilan
mengalir bermuaro kei sungai musi jugo
elok lah bunga cindo menawan
muat kakak siang tegenang malem tejago
pulao kemarao melah sungi musi ke sungsang
nagh ke pusri laju tesasar ke kalidoni
badan saroh pkiran resah hati teguncang
ngarepke adek kalu bae galak jadi bini
ayayayayaya ya saman
pecak ny mudah tapi saroh nian
ayayayaya ya saman
nyari bini yang bener-bener setuluk an
ayayayayaya ya saman
pecak ny mudah tapi saroh nian
ayayayaya ya saman
nyari bini yang bener-bener setuluk an
Artinya.... cari sendiri lah ya. hehe
***
Disela-sela kami mengobrol dan bergantian memberi pengamen ‘penghargaan’
pak agus dan bapak dua tiket terus-terusan membeli segala macam makanan yang
lewat sejak tadi. Membeli cukup banyak lantas memaksa saya menghabiskannya. Wah,
senang sih senang. Tapi penuh juga nih muatannya. Hehehe
Oh iya. Hampir lupa. Si bapak pemilik ayamsudah turun
distasiun baturaja. Tinggalah hanya kami bertiga. akhirnya sibapak dua tiket
merasakanjuga duduk lapang. Hehe.tapi beliau malah mempersilahkan saya jika mau
selonjor kaki di bangku sebelahnya. Wah pucuk dicinta ulam tiba ini namanya.
Sangking banyaknya obrolan dengan narasumber pak agus, saya
sampai lupa mau menuangkannya semua disini. Politik Indonesia, carut marut
pemerintahan, sejarah kereta api,pns, ibu rumah tangga,Palembang dan lampung,orang
sumatera, orang jawa,sampai ke tips-tips mencari calon suami (Ini khusus
dibocorkannya pada saya). Haha. lucu sekali. Tapi rada sungkan juga. Bukannya apa-apa.
Saya justru malu dengan si bapak dua tiket itu yang ikut menyimak pak agus –dengan
serius dan yakin- memberi saya tips-tips itu.
Oh ya, soal naik kereta pagi-malam begini. Inalillahi, saya
lupa dan tiba-tiba ingat saat sudah pukul 1siang. Bagaimana shalat dzuhur dan ashar???????
Saya sampai kelepasan kaget
“Ya Allah!”
“Kenapa?” Tanya pak agus ikut-ikutan kaget. Padahal kami sedang
ditengah-tengah obrolan.
“Eh, ga pak. Ga kenapa-kenapa.”
Wah, saya kembali pusing. Beberapa menit kemudian saya izin
ke wc. Ambil wudhu sebisanya.duduk kembali. Lantas shalat isyarat jamak qashar
dzuhur-ashar. Astaghfirullah. Semoga diterima.
Selesai shalat,pak agus bertanya dengan pertanyaan yang sudah
saya tebak
“fadila ngapain tadi? Shalat ya?”
Saya mengangguk saja. Masih merutuk kebiasaan lupa yang
kadang-kadang kelewat batas
Pak agus malah memuji saya. Mengatakan jarang sekalianak
mudaseperti saya. Lihataja seisi keretaini.siapa yangmasih ingatshalat.hm,saya Cuma
senyummendengarnya. Sebenarnya mau balas bertanya, bapak ga shalat? Tapi urung.
Entah kenapa saat itu saya kok tidak berani.
Obrolan kembali mengalir.saya hanya sesekali menimpali atau
menjawab jika ditanya. Lagi-lagi,saya tidak ingin melewati pemandangan diluar
kereta. Pohon-pohon menjulang, padi-padi menghampar, rumah-rumah kampong yang
khas. Dan tentu saja pemandangan di dalam kereta ini sendiri.
Tepat pukul 6 sore. Saya sampai di stasiun tegineneng. Berjarak
sekitar 15 km dari rumah saya di natar. Lebih dekat jika dibandingkan turun di stasiun
tanjung karang. Kebetulan di dekat stasiun ada rumah sepupu juga. Atukami,
kakak sepupu saya sudah menjemput di stasiun. Dia memberitahu via sms tadi. Mami
juga sudah mewanti-wanti agar jangan kelewatan dari stasiun tegineneng. Hehehe.
Saat ingin turun, pak agus berbaik hati membawakan barang saya
turun dari kereta. Meski sudah berkali-kali saya tolak.
“Dimana kakaknya fadila?” tanyanya saat kereta api mulai
berhenti
“ini pak.” Jawab saya setelah melihat atukami melambaikan
tangan kearah saya
“Wah, mirip ya. Tapi yang ini wajahnya wajah orang lampung.”
Begitu komentar pak agus saat saya turun dan sebelum ia masuk kedalam kereta.haha.
lucu sekali melihat atukami kaget mendengar seorang bapak berkata seperti itu
“Siapa itu nda?” tanyanya kaget
“Pak agus, kenal di kereta.”
“O…hahaha.”
The last. Setelah lewat magrib… akhirnya sampai dirumah ^^
No comments:
Post a Comment