Friday 23 May 2014

Rahasia Aisya

“Mama, tahu tidak? Ibunya Aisya kabur dari rumah!” Sarah bersemangat memberitahu mama yang sedang asyik membaca buku di teras rumah.
“Sarah, sejak kapan kamu belajar bergosip?” Mama melirik Sarah tak suka.
Ih Mama. Ini benar, ma. Sarah dengar sendiri dari ibu-ibu tetangga RT sebelah.” Sarah masih bersemangat menjelaskan. Tapi Mama terlihat tidak antusias mendengar berita heboh ini. Huh! Padahal sepanjang jalan tadi, Sarah sudah tak sabar ingin menceritakan kabar ini pada mama.

“Mau benar. Mau salah. Ngomongin orang lain alias bergosip itu tetap tidak baik.” Mama kembali asyik membaca buku. Dengan malas, Sarah masuk kedalam rumah.
“Menguping pembicaraan orang lain itu juga tidak baik, Sarah.”
Ah, Mama tidak asyik!” Sarah menyahut kecewa.
***
“Ibunya Aisya kabur dari rumah?! Orang tuanya bertengkar hebat?!” Rahmi bertanya kaget saat mendengar kabar itu dari Intan. Susi disebelahnya antusias mendengarkan. Sedangkan Sarah ikut-ikutan mengangguk, membenarkan.
“Iya! Itulah alasannya mengapa kemarin dan hari ini Aisya tidak masuk sekolah.” Intan menjawab sok yakin. Ia terlihat semangat sekali.
Kabar itu dengan cepat menyebar ke seisi kelas. Kasian sekali Aisya. Akan tetapi selama ini Aisya anak yang sombong. Mentang-mentang anak orang kaya. Rumah Aisya memang paling bagus di kompleks pemukiman yang juga tempat tinggal Sarah dan Intan. Selama ini Aisya selalu diantar ayahnya dengan mobil, setiap pergi sekolah. Aisya juga pendiam.
“Mungkin saja orangtua Aisya akan bercerai karena bertengkar.” Intan kembali menyimpulkan sok yakin. Sarah dan teman-temannya terlihat semakin kaget.
Benarkah orangtua Aisya akan bercerai? Seperti artis di tivi-tivi? Artinya orangtua akan berpisah? Kasihan sekali Aisya.
***
“Ma, katanya orangtua Aisya bercerai. Apa iya ya, ma?”
Mamah mendelik kearah sarah yang belum juga masuk kamar berganti pakaian sekolah.
“Sarah, Mama kemarin bilang apa? Tidak baik membicarakan orang lain. Itu aib keluarga. Apalagi Aisya kan teman sekolah kamu. Satu kelas lagi.”
“Sarah kan cuma bertanya. Kenapa tidak baik?”
“Itu sama saja dengan menggosip. Menggosip itu tidak baik.”
“ Maksudnya bagaimana sih, ma?” Tanya sarah tidak mengerti
“Mama ambil contoh ya. Sarah kan walaupun sudah kelas 3 SD, masih juga takut tidur sendirian. Masih minta dikeloni mama kalau mau tidur. Masih juga makannya minta disuapkan. Belum lagi masih sering ngompol.”
Rona wajah Sarah memerah mendengarnya, “Ih mama. Kok malah ngomongin Sarah sih?”
“Nah, Sarah saja tidak suka kejelekannya Mama bahas kan? Padahal cuma Sarah sendiri yang mendengar. Coba kalau berita ini tersebar di sekolah. Sarah malu kan?” Tanya Mama
“Ya malu banget, ma.” Jawab Sarah cepat
“Nah, Aisya juga pasti malu kalau masalah keluarganya dibicarakan teman-temannya.”
Sarah mengangguk-angguk paham. Mama benar. Mulai besok Sarah tidak ingin membicarakan masalah keluarga Aisya. Kasihan Aisya. Aisya pasti malu sekali. Walaupun selama ini Aisya terlihat sombong. Tapi tetap saja Aisya teman Sarah kan?
***
“Sarah, kamu sudah dengar kalau Aisya masuk rumah sakit?” Intan membawa kabar pagi itu. Sarah tersentak. Masuk rumah sakit? Aisya sakit apa?
“Mungkin karena orangtuanya bertengkar. Saling lempar barang dan mengenai Aisya. Aisya terluka. Dan masuk rumah sakit deh.” Terang Intan lagi-lagi sok tahu.
Hus! Intan keseringan nonton sinetron.” Protes Sarah galak.
Sarah ingat obrolan dengan mama kemarin. Sarah sudah berniat tidak membicarakan Aisya lagi. Teman-teman yang lain juga seharusnya tidak boleh. Tapi bagaimana memberitahunya ya? Saat Sarah sedang berpikir keras. Bel masuk sudah berdering. Hari ini pelajaran agama. Ibu lina, wali kelas mereka yang mengajar.

 “Anak-anak, sebelum memulai pelajaran. Ibu ingin menyampaikan satu hal. Nanti siang sepulang sekolah kita akan menjenguk Aisya. Aisya masuk rumah sakit sejak dua hari yang lalu.” Seisi kelas hening mendengarkan.
“Ibu perhatikan, kalian terus saja membicarakan Aisya. Belum tahu berita sebenarnya. Sudah ribut ini itu.” Seisi kelas masih hening.
“Siapa yang mendengar kabar orangtua Aisya bertengkar?”
Tidak ada yang menjawab. Semua murid menunduk dalam-dalam.      

“Berita sebenarnya, malam itu orangtua Aisya panik karena Aisya tiba-tiba pingsan. Ibunya menangis dan menjerit keras. Ayahnya sibuk menelepon rumah sakit dengan suara keras karena sangat panik. Aisya selama ini sedang sakit. Makanya Aisya terlihat pendiam dan jarang bermain. Karena Aisya memang tidak boleh terlalu lelah.” Ibu Lina menjelaskan panjang lebar.

 Seisi kelas hening. Ternyata dugaan mereka selama ini salah. Sarah sangat menyesal. Intan juga. Teman-teman sekelas mereka juga. Mereka berjanji akan meminta maaf kepada Aisya. Mereka juga berjanji akan menjadi teman yang baik bagi Aisya.

Jujur dan Pak Mujur

 “Kalau kalian mau mujur seperti bapak, jadilah orang yang jujur,” begitu pesan pak Mujur.  Pesan yang karena terlalu sering diucapkan, Faris dan teman-teman menganggapnya seperti angin lalu saja.
Namun hari itu, saat pak Mujur kembali berpesan,” kalau kalian mau mujur seperti bapak, jadilah orang yang jujur.”
Faris tertarik bertanya,“maksudnya bagaimana pak?”

“Maksud bapak, orang jujur itu pasti beruntung. Kalian mau mendengar cerita tentang bapak yang mujur karena jujur?” tanya pak Mujur sambil tersenyum
“Mau pak!” sahut anak-anak kompak. Sepertinya ini akan menarik.
“Sewaktu bapak akan lahir, ibunya bapak hendak dibawa oleh tentara penjajah bersama dengan belasan ibu-ibu lainnya. Waktu itu masih zaman penjajahan belanda. Saat ibu-ibu ditanya satu persatu, apakah mereka bisa membaca. Mereka berpikir yang tidak bisa membaca yang akan dibawa paksa.Banyak warga yang berbohong agar bisa pulang ke rumah. Ibunya bapak menjawab dengan jujur kalau ia tidak bisa membaca.” Pak Mujur berhenti sejenak.
“Akhirnya justru yang tidak bisa membaca yang ditinggalkan dan dapat kembali pulang ke kampung halaman. Karena saat itu tentara penjajah membutuhkan warga yang bisa membaca. Tak lama setelah tentara penjajah pergi.  Bapak lahir. Karena itulah bapak diberi nama mujur.” Terang pak Mujur sambil tertawa.
Setelah bercerita, kembali pak Mujur berpesan,“kalau kalian mau mujur seperti bapak, jadilah orang yang jujur. Termasuk tidak mencontek saat mengerjakan tugas. Apalagi saat ujian.”
“Iyaaa paaak!” jawab Faris dan teman-temannya kompak.
Namun pesan pak Mujur hanya sekedar pesan. Lihat saja seharian ini, Faris dan teman-temannya sibuk membuat kode-kode khusus saat ujian akan berlangsung.
“Kalau satu jari yang menunjuk berarti jawabannya a. Kalau dua jari berarti b. begitu seterusnya,” serius sekali Rafif menjelaskan. Faris dan kelima teman yang lain mengangguk-angguk paham.
Saat mereka sedang serius seperti itu, Bayu datang menghampiri.
“Teman-teman, kalian tahu apa yang kutemukan tadi? hari ini kita beruntung sekali,” sorak Bayu senang.
Faris dan teman-temannya segera mengerubungi Bayu. Bayu mengeluarkan secarik kertas dari saku bajunya. Terlihat huruf-huruf a, b, c, dan d berbaris rapi. Seketika wajah-wajah mereka berbinar.
“Jawaban ujian?!” tanya mereka kompak.
Bayu mengangguk mantap. Seperti mendapat durian runtuh, mereka semangat sekali mengerjakan ujian matematika hari itu. Selama ujian berlangsung, Faris dan teman-temannya sesekali melirik dan tersenyum satu sama lain. Sebelum ujian dimulai, mereka sempat menyalin jawaban dari secarik kertas itu. Tak butuh waktu lama untuk memindahkan jawaban demi jawaban dari secarik kertas itu.
Karena sangat yakin dengan jawaban dari secarik kertas, Faris dan teman-temannya sama sekali tidak membaca soal dan mengecek kebenaran jawabannya. Mereka baru membacanya setelah ujian selesai dan lembar soal boleh dibawa pulang.
“Soal pertama, 34 x 17. Kok jawabannya a. Seharusnya b. Coba kalian cek lagi.” ujar Faris sambil menghitung perkalian itu dibukunya.
Rafif tertarik ikut menghitung. Seketika wajahnya berubah menjadi cemas.
“Iya, Ris. Seharusnya b bukan a.”
Yang lain ikut menghitung. Kenyataan baru mereka sadari. Jawaban dari secarik kertas itu bukanlah jawaban soal matematika tadi. Dari sepuluh soal yang tergolong mudah. Hanya satu yang jawabannya benar. Faris dan teman-temannya menjadi panik.
“Bagaimana ini? kamu mendapat kertas itu dari mana, Yu?” tanya Reno cemas. Mereka semua terlihat cemas.
“Aku menemukannya di dekat pintu kamar mandi,” jawab Bayu lemas.
Mereka tidak bisa berkata apa-apa lagi. Nasi telah menjadi bubur. Mereka lebih memilih menyontek daripada mengerjakan soal itu sendiri. Benar-benar tidak mujur. Faris seketika teringat pesan dari pak Mujur.
“Kalau kalian  ingin mujur seperti bapak, jadilah orang yang jujur.”

Yang terjadi hari ini sebaliknya. Karena saat ujian tidak jujur, hasilnya terancam hancur. Faris dan teman-temannya sama sekali tidak mujur.

Donat untuk Dona

“Ada lagi.” Dona bergumam pelan.
Diambilnya sebuah donat keju dari laci meja. Ini kali ketiga selalu ada donat keju di dalam laci mejanya. Siapa yang sengaja menaruhnya disini? Siapa yang tahu kalau akhir-akhir ini Dona memang suka donat keju?
Awalnya tepat sepekan yang lalu. Dona membeli donat yang pertama kali terlihat di kantin. Setelah merasakannya, Dona menjadi amat suka. Donat itu berbeda dengan donat yang lain. Rasanya lebih gurih dan empuk. Akan tetapi, Dona tidak bisa setiap hari membeli. Tidak setiap hari Dona diberi ibu uang saku. Kalau ibu ada kelebihan uang saja dari hasil panen sayur di kebun.

Dua hari kemudian, ibu memberi uang saku. Dona riang sekali. Seharian ia tersenyum. Meskipun seperti biasa, Dona tidak pernah mau mengobrol dengan siapapun di kelas. Ia anak yang sangat pendiam. Hari itu, Dona bisa tersenyum senang sepanjang hari.
Saat bel istriahat berbunyi, Dona bergegas mengambil tongkat penyangga kakinya. Dona butuh itu karena belum dapat berjalan normal. Sudah dua bulan kaki kirinya harus di gips. Karenanya, Dona tidak bisa berjalan dengan leluasa. Apalagi berlari. Dona menjadi amat sedih saat dilihatnya tempat donat yang sudah kosong. Donat keju habis terjual. Ingin sekali ia menangis. Sejak pagi tadi ia menginginkannya.
Dona berjalan tak bersemangat ke kelas. Tak sengaja ia merogoh laci meja mencari buku tulisnya. Saat itulah Dona menemukan sebuah donat. Donat keju. Persis dengan donat yang dijual di kantin. Waktu itu Dona tidak banyak pikir. Ia langsung  melahapnya.
Begitulah sampai hari ini. selalu ada donat di dalam laci meja Dona. Mau tidak mau Dona menjadi penasaran. Siapa yang membelinya? Siapa yang menaruhnya disini?
Dona sedang memikirkan itu, saat Naya masuk dan tersenyum padanya. Dona diam saja, tidak membalas senyum. Naya anak baru di kelas Dona. Mereka bahkan satu bangku. Tapi Dona sama sekali tidak menggubris Naya semenjak ia masuk sepekan ini.
Dona memang tidak ingin dekat dengan siapapun di kelas ini. walaupun bu Leni selalu berkata agar semua murid di kelas dapat berteman dengan baik. Dona benar-benar tidak ingin melakukannya. Dona sebenarnya tidak sombong. Hanya saja ia minder. Selain karena merasa orangtuanya bukan dari kalangan orang kaya seperti orangtua teman-temannya. Dona juga merasa fisiknya tidak seperti mereka.
“Kamu sudah mengerjakan pr matematika, Na?” tanya Naya padanya
Dona hanya menggeleng malas, ia masih memikirkan siapa yang memberinya donat keju setiap waktu istirahat. Sepertinya Dona harus mencari tahu.
Keesokan harinya saat istirahat. Dona pura-pura ke kantin. Sebenarnya ia ingin mengintip dari jendela kelas. Tak lama, terlihat seseorang masuk ke dalam kelas. Dona melihat dengan jelas siapa orang itu. Naya! Naya terlihat mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Lalu diletakkannya di dalam laci meja Dona.
Tak menunggu lama, Dona masuk ke dalam kelas. Naya agak kaget melihatnya.
“Eh, Dona,” ucap Naya
“Jadi kamu yang selama ini menaruh donat di laci mejaku?” tanya Dona
Naya mengangguk pelan. Ia mencoba untuk tersenyum.
Mengapa?” tanya Dona
“Aku tahu kalau kamu suka donat buatan ibuku. Sebenarnya aku ingin memberi langsung, tapi urung,” jawab Naya pelan
Donat buatan ibunya Naya? Dona baru mengetahui hal itu.
“Ini namanya donat keju sukun. Karena terbuat dari buah sukun,” terang Naya sambil tersenyum lebar
Dona masih diam. Tidak berkata apa-apa
“Ibuku penjual donat. Setiap pagi aku membawa jualan ibuku ke kantin. Lumayan untuk menambah uang saku. Setiap hari ibu memberiku bekal dua buah donat keju.” Jelas Naya kemudian.
Dona menyadari satu hal. Walaupun masih baru dan bukan berasal dari keluarga kaya, Naya bisa bergaul dengan baik bersama teman-teman lainnya. Tidak seperti dia yang suka menyendiri dan bersikap sombong.
“Terima kasih ya, Nay,” ucap Dona sambil mencoba tersenyum
“Iya, sama-sama. Kamu mau bersahabat denganku, bukan?” tanya Naya

Dona mengangguk. Terlukis senyum indah di wajahnya.

Gulali untuk Ali

Danar berjalan cepat menuju kantin sekolah. Wajahnya terlihat senang. Setelah penat belajar selama dua jam, bunyi bel istirahat seolah terdengar merdu di telinga Danar dan murid-murid lainnya.  Apalagi ada jajanan baru di kantin sejak tiga hari yang lalu. Gulali. Bukan sembarang gula yang tentu saja manis. Gulali juga sangat menarik. Di tangan mamang penjualnya, gulali bisa menjadi berbagai macam bentuk yang unik dan lucu.
“Mang, buatkan singa ya!” seru Danar tak sabar. Ia berada diantara belasan anak-anak lain yang ikut dibuatkan gulali.

“Buatkan saya bunga, mang!”
“Burung, mang!”
“boneka beruang, mang!”
Hiruk pikuk anak-anak terus terdengar. Tangan si mamang terus bergerak lincah. Tangan kirinya memegang sebatang lidi. Tangan kanannya membentuk gulali yang belum mengeras. Dan tara! Jadilah gulali dengan bentuk sesuai pesanan.
Danar masih setia menunggu. Matanya tak lepas dari gerakan lincah tangan si mamang. Ia baru menengok ke samping setelah merasa kakinya terinjak oleh seseorang,
“Aduh, lihat-lihat dong,” ucapnya kesal
“Eh, maaf.”
Danar pun menengok. Ternyata yang menginjaknya itu Ali. Teman sekelas Danar. Walaupun sekelas, Danar tidak begitu akrab dengan  Ali. Selain karena tempat duduk mereka berjauhan, Ali juga anak yang pendiam.
“Maaf ya, Danar,” ucap Ali lagi
“Tidak apa-apa. Kamu juga tidak sengaja,” sahut Danar sambil tersenyum
Ali balas tersenyum. Mereka  berdua kembali melihat gulali yang sedang dibentuk oleh si mamang.
Pesanan gulali bentuk singa sudah berada di tangan Danar. Hebat sekali mamang gulali ini, begitu fikir Danar. Apakah ia seorang seniman? Tentu tidak sembarang orang yang bisa membuat bentuk singa seperti ini.
Danar menikmati gulalinya sembari duduk di kursi panjang depan kelasnya. Ia melihat Ali berjalan menuju kelas. Bukankah tadi Ali menunggu gulali? Mengapa ia tidak memegang gulali?
“Ali, gulalinya mana?” tanya Danar. Lidahnya masih asyik menjilati gulali.
Ali menggeleng. Ia tersenyum lebar.
“Habis ya? Kamu tidak kebagian?” tanya Danar lagi
Ali kembali menggeleng
“Aku tidak beli kok. Tadi hanya lihat saja.”
Danar mengangguk-angguk. Tapi untuk apa Ali menunggu si mamang membuat gulali padahal ia tidak membelinya?  Ali masuk ke dalam kelas dan tak lama keluar lagi. Ia memegang sebuah kotak bekal.
“Ali, duduk disini yuk!” ajak Danar
Ali mengangguk. Ia duduk di samping Danar dan mengeluarkan kue dadar gulung dari kotak bekalnya. Ternyata Ali membawa kue dari rumah. Pantas saja ia tidak membeli gulali.
Ali menikmati dadar gulungnya sambil melirik-lirik kearah gulali yang sedang dinikmati Danar. Tentu saja Danar menyadarinya. Apakah sebenarnya Ali ingin makan gulali?
Sepulang dari sekolah, Danar masih memikirkan Ali. Ia justru bertanya pada mamanya,“Ma, Danar boleh berbagi kan?”
“Tentu saja, sayang,” jawab Mama
“Ada teman Danar yang ingin makan gulali, tapi tidak beli. Mungkin saja karena tidak bawa uang jajan. Ia hanya bawa bekal dari rumah.”
“Wah, itu lebih bagus, nak. Lebih sehat,” komentar Mama
“Bukan itu maksud Danar, Ma. Teman Danar itu juga mau mencoba manisnya gulali.”
“Iya, boleh sekali-sekali. Tapi ingat ya, tidak baik terlalu sering makan gulali. Apalagi kalau malas sikat gigi. Giginya bisa habis dimakan gulali. Bagaimana kalau besok Danar bawa bekal dari rumah seperti Ali?” tawar Mama.
Danar tertawa dan mengangguk setuju.
Esoknya saat jam istirahat di kantin sekolah. Danar kembali bertemu Ali yang sedang asyik melihat gerakan tangan si mamang membentuk gulali. Danar memesan dua gulali dengan bentuk burung bangau. Tak lama pesanannya jadi.
“Ali, ini gulali untukmu.” Danar menyodorkan gulali burung bangau itu kearah Ali. Ali menggeleng ragu
“Tidak apa-apa. Sekali-sekali aku ingin mentraktir. Ini gulali terakhir sepekan ke depan. Mamaku bilang tidak baik terlalu sering makan gulali. Katanya nanti gigiku habis dimakan gulali. Besok aku juga mau membawa bekal sepertimu.” jelas Danar panjang lebar.

Ali tertawa mendengarnya. Ia menerima gulali itu dengan senang hati. Berbagi itu manis. Manis seperti gulali.

Miko dan Negeri Sampah

Miko buru-buru meraih barang-barang yang berserakan. Sebelum Mama datang dan tahu, ia belum melakukan apapun di kamarnya.
Kotak tempat mainannya sudah tidak muat. Baiknya dibuang saja beberapa. Miko mengambil plastik kresek putih di sudut lemari. Ia mulai memilah mana yang akan dibuang.
Mobil tamiya sebenarnya masih bagus. Tapi sudah ketinggalan zaman.  Toh, Papa sudah berjanji akan membelikan mobil tank super keluaran terbaru. Helikopter kerlap-kerlip ini juga. Sudah rusak.

Mana lagi ya? Hm, Miko melirik baju teddy bear yang tergeletak di pojok tempat tidur. Itu hadiah dari tante Lila. Uh, sebenarnya Miko tidak suka baju itu. Warnanya itu loh. Pink. Miko memasukkan semua itu ke dalam plastik kresek. Ia lalu berlari menuju tempat sampah di luar pagar rumah.
“Mikooo?!”
Itu suara Mama. Miko berhenti tepat di depan pagar rumah. Bak pemain basket handal, ia mengoper plastik kresek ke dalam tong sampah. Yah! Meleset. Plastik kresek itu justru masuk ke dalam selokan.
Saat hendak mengambil kembali plastik kresek, Miko tersandung, lalu jatuh. Lututnya terasa perih. Ia duduk sambil meringis.
 “Keluar dari tubuhku!”
Miko nyaris tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Plastik kresek itu bisa bicara.
“Aku belum mau jadi sampah. Huhuhu.” Kali ini baju teddy bear yang bicara. Ia bahkan bisa menangis.
“Uh, aku bahkan sama sekali belum rusak!” keluh mobil Tamiya.
Helikopter kerlap-kerlip tak ikut bicara. Ia hanya tertunduk sedih.
Miko mengucek-ucek matanya. Belum habis rasa kagetnya. Tiba-tiba gulungan angin topan menghampiri mereka. Miko ingin berlari. Tapi percuma. Ia masuk ke dalam pusaran angin  topan bersama sampah-sampahnya yang bisa bicara.
“Tidak! Aku tidak ingin ke negeri sampah!” jerit plastik kresek.
“Aku masih bisa digunakan!” jerit baju teddy bear.
Miko berteriak. Kepalanya pusing. Debu menutupi penglihatannya. Miko masih berteriak saat pusaran angin topan berhenti. Ia terdampar diatas sofa kotor.
“Lagi-lagi ada sampah yang datang.”
Miko terlonjak dari duduknya. Sofa kotor itu juga bisa bicara
“Ini dimana?” tanya Miko bingung.
“Negeri sampah.” jawab plastik kresek. Ia melirik Miko tak suka.
“Kalau Mama Miko yang menemukanku, aku pasti disimpan.” Gumam plastik kresek kesal.
“Manusia itu jahat sekali, bahkan anak juga dibuang jadi sampah.” Dengus botol kaca bekas yang tiba-tiba mendekat.
“Aku tidak dibuang!” jerit Miko. Ia sangat ketakutan. Sampah-sampah terlihat sejauh mata memandang. Beberapa mendekat ke arah Miko. Beberapa tidak peduli.
 “Miko ikut terkena angin topan saat membuang kami.” Jelas helikopter kerlap-kerlap pelan.
“Itu pelajaran buatmu. Kau suka membuang-buang barang ke tempat sampah. Jadi hari ini kau juga jadi sampah.” Ujar mobil Tamiya kesal
Miko terduduk sedih. Matanya terasa perih. Ia ingin menangis.
“Huhuhu. Aku sangat bahagia saat kau memakaiku, Miko. Walaupun kau tidak menyukaiku. Aku tidak ingin menjadi sampah secepat ini. Aku lebih senang jika menjadi kain lap. Itu jauh lebih berguna. Huhuhu.” Baju teddy bear menangis sesegukan.
Sampah-sampah menatapnya tak suka.
“Aku, aku tidak tahu kalau kalian tidak suka dibuang.” ucap Miko terbata-bata.
“Anak egois!” ujar mobil Tamiya sinis
“Sudahlah, Tamiya.” ucap Helicopter kerlap-kerlip.
 “Kembalikan aku ke rumahku. Aku berjanji tidak akan sembarangan membuang kalian lagi.” Miko memohon. Ia berusaha untuk tidak menangis.
“Kami tidak tahu caranya keluar dari sini.” Jawab helikopter kerlap-kerlip.
“Kau tahu, butuh waktu berapa lama sampai kami benar-benar menjadi sampah?” tanya botol kaca.
Miko menggeleng.
“Mobil Tamiya dan helikoptermu itu butuh waktu 450 tahun. Bajumu 40 tahun. Plastik kresek 100 tahun. Dan aku, 4000 tahun!” jelas botol kaca esmosi.
Miko terlongo kaget. Ia sama sekali tidak mengetahui itu sebelumnya.
“Manusia seharusnya memikirkan itu sebelum membuang kami.” sahut sofa kotor.
“Yah, mereka akan sadar saat bumi benar-benar tertutup oleh sampah!” tambah botol kaca.
“Kau bahkan membuang barang-barang yang masih dapat digunakan!” ujar plastik kresek kesal.
“Beri aku kesempatan!” jerit Miko mengiba
Tiba-tiba, angin topan kembali datang.
“Ini saatnya kau kembali. Sampaikan pada manusia yang lain. Gunakan kami sampai benar-benar tidak bisa digunakan lagi.” ucap sofa kotor.
Mata Miko berkaca-kaca. Ia mengangguk mantap. Tak lama, angin topan membawa Miko dan sampah-sampah itu masuk ke dalam pusarannya. Miko berteriak. Tak lama, Miko tersungkur di dekat selokan dan tong sampah.

Miko mengambil plastik kresek beserta isinya dari dalam selokan. Terngiang olehnya ucapan sofa kotor. Gunakan barang sampai benar-benar tidak bisa digunakan lagi. Miko berjanji akan melakukannya. Juga menyampaikan itu pada keluarga, teman, dan semua orang.

Ondur yang Berjalan Mundur

Ondur si undur-undur adalah serangga yang sangat tertutup. Ia tidak memiliki satu pun teman. Selain karena wajahnya yang tampak seram, Ondur juga jarang terlihat. Ia lebih suka menyendiri di lubangnya. Itu sebabnya Ondur terkenal misterius. Tidak ada serangga lain yang berani mencoba mendekatinya, kecuali Wings si kupu-kupu.
“Aku ingin mengundang semua serangga di hari ulang tahunku, Upik. Termasuk Ondur,”ujar Wings
“Apa aku tidak salah dengar? Untuk apa kau mengundang Ondur misterius itu?” Tanya Upik si kepik kaget

“Misterius bukan berarti berbahaya kan?” Wings mengerlingkan sebelah kelopak matanya
“Iya, sih. Tapi..”
“Sudahlah, Upik. Apa kau tidak penasaran dan ingin melihat dari dekat bagaimana Ondur berjalan mundur?”
Tak ada lagi keberatan dari Upik. Wings segera terbang menuju lubang tempat tinggal Ondur. Upik hanya mengintip dari jauh.
“Hai, Ondur. Kau sedang apa?” Tanya Wings.
Tidak ada jawaban. Ondur terlihat sedang menggali lubangnya lebih dalam.
“Ondur? Kau mendengarku?”
Ondur menoleh. Wajahnya tampak kurang bersahabat. Wings mencoba tersenyum dan kembali bertanya,
“Besok kau ada acara tidak? Aku kemari ingin mengundangmu di pesta ulang tahunku. Aku sangat berharap kau dapat hadir.”
Karena kembali tidak ada jawaban, Wings pamit pulang. Diikuti Upik yang terus khawatir kalau besok Ondur benar-benar hadir.
Esoknya, kekhawatiran Upik benar-benar terjadi. Ondur hadir tepat saat semua tamu undangan menyanyikan lagu potong kue. Mengetahui kehadiran Ondur, semua berhenti bernyanyi. Suasana menjadi sangat hening dan kaku.
“Oh, hai Ondur. Selamat datang. Aku senang kau memenuhi undanganku,” sambut Wings dengan wajah berbinar.
Hei, lihatlah Ondur mencoba untuk tersenyum dan berhasil. Ia juga mencoba untuk menyalami Wings dan berkata selamat ulang tahun. Lagi-lagi berhasil.
Suasana yang kaku perlahan kembali santai. Lagu potong kue pun sudah kembali dilantunkan. Ondur mendapat satu suapan kue dari Wings. Dengan ramah, Ondur mengucapkan terima kasih. Sepertinya Ondur yang misterius tidaklah berbahaya.
Seluruh serangga menjadi sangat kaget dan tertawa-tawa saat Ondur ikut menari dengan tarian paling lucu yang pernah ada. Bagaimana tidak lucu, Ondur menari dengan gaya jalan mundur khasnya.

Sejak itu, tidak ada lagi julukan misterius untuk Ondur. Kini Ondur lebih dikenal sebagai serangga paling lucu. Ondur si undur-undur yang berjalan mundur.

Pupuy Cantik sekali

Pupuy adalah seekor ulat coklat dengan bintik-bintik hitam di sekujur tubuhnya. Meskipun Pupuy terlihat tidak menarik saat ini, ia tetap percaya diri. Pupuy tahu suatu hari ia akan berubah menjadi kupu-kupu yang sangat cantik. Semua penghuni kebun ini yang berkata seperti itu.
"Hei, Pupuy. Makan saja kerjaanmu." tegur Obi si burung Pipit. Pagi itu ia bertengger di ranting pohon. Ada Pupuy yang sedang asyik memakan daun.
"Biar saja. Apa urusanmu Obi." jawab Pupuy tak perduli
"Kasihan kan Apo. Daunnya bisa habis kau makan."
"Aku sudah ijin kok. iya kan Apo?"

"Iya. Biar saja Obi. Pupuy juga sebentar lagi akan menjadi kepompong. Puasa berhari-hari sebelum menjadi kupu-kupu cantik." puji Apo si pohon alpukat. Pupuy menjadi bangga dipuji seperti itu.
"Tuh, dengar apa kata Apo. Tunggu saja sampai aku berubah menjadi kupu-kupu yang cantik." ucap Pupuy
"Kau tidak perlu marah, Pupuy. Aku kan tidak bermaksud mengejekmu."
"Ya sudah. Pergi sana. Aku lagi sibuk."
Pupuy kembali menikmati daun-daun milik Apo yang lezat. Obi terbang menjauh. Apo tertidur lelap di tengah desiran angin lembut.
Hari beranjak sore. Pupuy masih asyik menikmati daun-daun milik Apo. Terlihat rombongan lebah yang baru pulang menuju sarang.
"Cepat juga kalian terbang. Tapi sayap kalian kecil sekali ya. Harus mengepak berkali-kali agar tidak terjatuh. Hihihi." komentar Pupuy saat rombongan lebah melewatinya.
Rombongan lebah tidak menjawab. Mereka terlalu lelah seharian bekerja
"Kalau sayapku nanti akan lebih lebar dari tubuhku yang ramping. Aku bisa terbang bebas kesana-kemari tanpa perlu tergesa-gesa seperti kalian." ucap Pupuy lagi.
"Mengapa kamu mengatai kami seperti itu?" tanya salah satu lebah yang tidak tahan dengan komentar Pupuy. Ia terbang mendekat ke arah Pupuy.
Pupuy tak menjawab. Ia mencoba berkacak pinggang. Namun tangan-tangannya terlalu pendek untuk melakukan itu. Pupuy akhirnya bersender di ranting pohon. Tersenyum penuh percaya diri.
“Aku calon kupu-kupu yang sangat cantik. Akan jauh lebih cantik dibandingkan kalian. Jadi kalian jangan iri ya. Hihihihi,” ucap Pupuy lagi
“Kau sombong sekali.”
“Biar saja.”
Pupuy melenggang pergi. Tak dipedulikannya tatapan kesal dari rombongan lebah. Ia terus berjalan pelan menuruni tubuh Apo. Ia merasa sudah saatnya tubuhnya berubah. Tubuh ulatnya harus menjadi kepompong.
“Akhirnya saat yang kutunggu-tunggu datang juga!” sorak Pupuy
“Saat apa yang kau tunggu, Pupuy?” tanya Etal si tanaman talas.
“Saat aku berubah menjadi kepompong. Itu artinya aku akan segera menjadi kupu-kupu.” Jawab Pupuy dengan bangga
“Wah, kau pasti akan menjadi cantik sekali, Pupuy.” puji Etal. Kupu-kupu yang selama ini dikenalnya, semua berparas cantik. Kupu-kupu selalu mengundang decak kagum para penghuni kebun.
“Pasti dong!” jawab Pupuy makin bangga
Ia segera berjalan cepat. Tubuh gendut membuatnya susah bergerak. Namun Pupuy tidak patah semangat. Akhirnya ia tiba di ranting milik Ago si pohon mangga.
“Ago, ijinkan aku menjadi kepompong dan bergelantungan di rantingmu ya?”
“Silahkan Pupuy, dengan senang hati.” jawab Ago ramah.
Tak lama, Pupuy membungkus dirinya menjadi kepompong. Berhari-hari Pupuy berpuasa untuk kemudian dapat berubah menjadi kupu-kupu.
Hari itu pun tiba. Pupuy menunjukkan tanda-tanda akan berubah menjadi kupu-kupu. Perlahan-lahan Pupuy keluar dari kepompongnya dan tampaklah sosok kupu-kupu itu.
Tubuhnya berwarna kecoklatan. Dua antena kecil bertengger di atas kepalanya. Matanya hitam bulat. Dan sayapnya. Ini yang paling penting. Sayapnya berwarna… Oh tidak, mengapa sayap Pupuy berwarna coklat? Sama seperti warna tubuhnya. Tidak ada warna-warni indah. Hanya bintik-bintik hitam yang terkesan kusam. Sayap itu pun tidak begitu lebar. Tubuh coklatnya pun tidak bisa dibilang ramping.
Pupuy kaget bukan main. Mengapa sosoknya seperti ini? Sama sekali tidak cantik. Pupuy berkaca di atas permukaan air. Ia menangis tersedu-sedu menyadari betapa buruknya ia saat menjadi kupu-kupu.
Semua penghuni kebun mendengar tangisan Pupuy.
“Hai, kau pasti Pupuy yang telah berubah menjadi kupu-kupu cantik bukan?” tanya Apo si pohon alpukat. Pupuy tak menjawab. Tangisannya justru bertambah keras.
“Pupuy, mengapa kau menangis? Harusnya kau bahagia. Hari ini kau telah berubah menjadi kupu-kupu cantik,” hibur Ago si tanaman talas
“Kau mengejekku? Yang seperti ini kau bilang cantik?!” ucap Pupuy di tengah isak tangisnya.
“Kau memang cantik, Pupuy. Iya kan teman-teman?” tanya Ago pada semua penghuni kebun
“Iya, kau memang cantik, Pupuy,” jawab Apo, Ulil si ular hijau, Obi si burung pipit, rombongan lebah, sepasang jangkrik, dan Lala si belalang bersamaan.
“Kau cantik dengan sayap yang bisa membawamu terbang bebas kesana kemari. Kau cantik dengan senyum manismu dan sikap ramahmu. Kau sangat cantik dengan semua itu.” Ambu si pohon rambutan menambahi.

Semua penghuni kebun terus menghibur dan menyemangati Pupuy. Pupuy akhirnya sadar. Ia akan menjadi cantik dengan menjadi kupu-kupu yang baik hati. Tidak lagi sombong seperti kemarin-kemarin. Lihatlah, Pupuy si kupu-kupu amat cantik dengan senyuman pertamanya hari ini.

Semut dan Kutu daun

“Air itu sangat lezat. Warnanya putih seperti susu. Rasanya manis seperti madu.”
Tak sengaja, Semut mendengar dua ekor burung gereja bercakap-cakap. Air lezat? Seperti susu? Seperti madu? Wah, Semut jadi penasaran. Air apa itu? Semut memasang telinganya lekat-lekat.
“Dimana kau temukan air itu?” tanya teman burung gereja
“Di sarang kutu daun,” jawab si Burung gereja

Sarang kutu daun? Itu kan dekat sekali. Sarang kutu daun ada di atas pohon mahoni. Semut ingin sekali mencoba air itu. Sepertinya memang lezat sekali. Ia pulang ke sarang dan memberitahu teman-temannya tentang percakapan dua ekor burung gereja tadi.
Cerita Semut membuat heboh rakyat semut. Semua penasaran dengan rasa manis dari air milik kutu daun.
 “Kami juga penasaran dengan air milik kutu daun itu, Semut. Tapi kita tidak mungkin meminta bukan? Apalagi sampai mengambil paksa. Mencari remah-remah makanan sudah cukup bagi kita,” ucap Ratu semut
Ratu semut benar. Rakyat semut bukanlah hewan pengganggu. Semut menghela nafas, mungkin air milik kutu daun hanya menjadi impian kosong baginya. Semut berusaha melupakan rasa penasarannya tentang air milik kutu daun. Ia kembali menyibukkan diri dengan bekerja bersama teman-temannya.
Hari itu semut dan teman-temannya mencari remah-remah makanan di sekitar pohon mahoni. Cukup banyak hasil yang mereka dapatkan. Ketika mereka sedang siap-siap pulang ke sarang. Terdengarlah jeritan ketakutan dari atas pohon mahoni.
“Pergi! Jangan ganggu kami!”
“Hahahaha. Kami sudah meminta baik-baik. Kau tidak boleh pelit, Kutu daun!”
Terlihat oleh Semut, dua ekor burung gereja yang kemarin bercakap-cakap. Apakah mereka sedang mengambil air milik kutu daun secara paksa?
“Pergi kalian! Kami tidak akan memberi kalian satu tetes pun!”
Semut menoleh ke arah teman-temannya. Mereka sama-sama tahu apa yang akan mereka lakukan. Semut dan teman-temannya berlari menaiki pohon mahoni. Mereka menuju sarang kutu daun.
Sesampainya disana. Terlihat sarang kutu daun yang hampir robek. Lima ekor kutu daun tampak ketakutan. Dua ekor burung gereja masih berusaha mengambil air dari sarang kutu daun. Semut dan teman-temannya menaiki tubuh burung gereja. Tanpa ampun mereka menggigit bagian tubuh yang bisa digigit.
“Kurang ajar! Aduh! Sakit!”
“Aw! Sakit!”
Dua ekor burung gereja itu terbang tak tentu arah. Semut dan teman-temannya berhasil turun kembali ke ranting dan daun mahoni.
“Terima kasih, semut-semut. Kalian sudah menolong kami,” ucap salah satu kutu daun.
Semut dan teman-temannya mengangguk dan tersenyum.
“Hati-hatilah menjaga air lezat kalian itu, ujar Semut
“Bagaimana kau tahu kalau air kami ini lezat?” tanya kutu daun
“Aku hanya mendengar dari hewan lain.”
“Kalian boleh ikut menikmati air kami setiap hari, tapi ada syaratnya,” tawar kutu daun
“Apa syaratnya?” semua semut kompak bertanya
“Kalian bersedia membantu kami untuk menjaga sarang kami, bagaimana?” tanya kutu daun.

“Siap!” Semut dan teman-temannya menjawab dengan lantang. Mereka senang sekali. Akhirnya bisa menikmati air milik kutu daun itu setiap hari. Wah! Ternyata rasanya memang lezat sekali! Tunggu sampai Ratu semut ikut menikmati air ini.

Tuesday 20 May 2014

Flashback 15 tahun yang lalu

Hari ini. Hari terakhir menjadi pengawas US di SD Tunas Harapan tahun 2013/2014. Melihat satu persatu wajah-wajah serius khas anak-anak. Mengingatkanku pada satu momen itu. Tahun 1999. 15 tahun yang lalu.

Seorang anak perempuan.Dengan jepit rambut berwarna merah di kiri kanan poninya. Rambutnya lurus pendek sebahu. Jepit rambut memang tumben sekali ia pakai. Khusus untuk waktu 1 minggu. Agar poninya tidak mengganggu saat ia mengerjakan soal ujian.

Ah ya. Nomor urut 17. Di bangku pojok kiri paling belakang. Mata mengerjap-ngerjap. Berharap lancar mengerjakan soal demi soal.


Sesekali kening berkerut. Di akhir waktu, seorang teman yang duduk tepat didepannya berbisik pelan,
"Num, Hortikultura itu sayuran dan buah-buahan."
Itu persis satu-satunya soal yang tidak bisa ia jawab. Ada rasa ingin mengisi. Tidak jadi.

Selalu ada sayang. Selalu ada siapapun, apapun, bagaimanapun cara mereka untuk membuatmu belajar tidak jujur. Selalu ada sayang. Bahkan tiga hari yang lalu, tiga orang pengawas sekolah dari UPT tingkat kecamatan menganjurkan kami (pengawas ujian) untuk menganggap kalian sebagai "anak sendiri" dengan memberitahu jawaban. Demi Allah sayang. Belajarmu tentang kejujuran jauh lebih mahal dari sekedar nilai. Lebih mahal dari sekedar kualitas UPT yang dikhawatirkan. Lebih mahal dari sekedar. Ah, bahkan jika kalian hanya mengenal kami tiga hari saja. Kalian harus belajar satu hal...
"Nak, bu guru yakin kalian pasti bisa jujur."

Bahkan, yang lebih membuatku haru. Bu Ica memberi satu lagi pelajaran berharga. Yang kubaca dengan pasti di wajah-wajah kalian. Kalian mengerti. Kalian sungguh-sungguh mengerti...
"Tetaplah menjaga sholat 5 waktu. Bahkan walaupun teman, guru, atau orangtua tidak mengingatkanmu. Ingatkan diri sendiri. Tetap ingat Allah. Tetap ingat sholat."

Entahlah. Saat kalian satu persatu menjawab pertanyaan di hari ketiga US...
"Sebutkan cita-cita kalian satu persatu?"
"Dokter anak."
"Polisi."
"Pilot."
"Guru."
"Pengusaha."
"Sekolah Pelayaran."
Dst

Ada asa yang kubaca dari mata-mata kalian. Berjuanglah nak. Berjuanglah menajdi dokter anak yang jujur. Polisi yang jujur. Pilot yang jujur. Guru yang jujur. Pengusaha yang jujur. Nahkoda yang jujur. Jadi siapapun yang jujur.

Berjuanglah.

*Ada haru yang menyeruak saat kalian menyalamiku satu-persatu.