Wednesday 31 August 2011

Tak punya tapi memberi


Senja itu, aku mengobrol dengan seorang teman. Obrolan kami terus meluas, sampai satu penggalan obrolan itu berganti tema dari tema awal. Kurang lebih seperti ini,
Teman : kenapa kamu suka menulis num?
Aku     : karena aku ingin seperti Abi (panggilan untuk ayah kandungku,red).
Teman : (sedikit membelalakkan mata, siap melahirkan pertanyaan baru) Beliau
  seorang penulis?
Aku     : Bukan. Abi seorang pegawai negeri sipil.
Teman : (kali ini mengernyitkan kening, tak mengerti) Beliau suka menulis?
Aku     : Tidak. Beliau hanya suka membaca.
Teman : Lalu kenapa alasannya karena kamu ingin seperti Abimu?
Aku     : (aku tersenyum melihatnya penasaran seperti itu) karena beliau  suka
  memberi. Memberi apapun yang beliau miliki. Aku ingin seperti beliau.
  Dan buatku, memberi dengan menulis adalah yang kumampu untuk saat
  ini. Harapanku, dengan menulis, akan ada orang yang menerima
  manfaatnya. Semoga.

isi ya :)

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh...

syukron, jazakumullah khairan katsiran teman2 sudah mampir ke pondok ini :))

untuk mengikat erat tali silaturahim, juga mengukur ada tidaknya manfaat pondok ini. isi buku tamu dibawah ini ya. plus sangat diharapkan teman2 membawa oleh2 berupa kesan, pesan, juga kritiknya.....

semoga bermanfaat!

semangat berbagi!!!

semangat menulis!!!!!!!

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh...

Sunday 28 August 2011

Puisiku: Dalam rasa entah

Banyak gugur terhempas paksa
pertanda suratan tak bisa terhindar
dalam bisu
riuh
sepi
ramai
pun dalam sakit
sehat
waras
gila
hanya ada pilihan
Khusnul atau Su'ul....

Allahu Rabbi....matikan kami dalam sebaik-baik keadaan T_T

*dalam rasa entah. khawatir tak lagi bersua dengan ia... sang Ramadhan...*,*

cerpenku: Kayu Capa Kayu Kemuning


“Tibas pesai bagian, di tiuh Negararatu
Api munih harapan, sanak mak ngedok guna
Sanak mak ngedok guna, sakik mak ngedok banding
Ibarat kayu capa, banding kayu kemuning”

Nisa tertegun menatap tanah lapang bertabur ilalang, sejauh seratus meter dari becak yang ditumpanginya. Akhirnya pulang juga ia. Rindu yang tertimbun seolah memaksa keluar. Membuncah. Menggelegak. Bukan hanya rindu pada Nyanyik dan Yayik. Tapi pada seluruh isi atmosfer kampung tercinta. Tiuh Negararatu, sebuah kampung di ujung Kabupaten Lampung Selatan. Sepuluh tahun bukan waktu yang sebentar, Nisa diboyong kedua orang tuanya ke pulau Sulawesi saat akan menginjak bangku SMA dan segera setelahnya ia melanjutkan kuliah di negeri Jiran, Malaysia.

Lamun niku lapah, nyak jama sapa, Nis?” begitu tanya Yani, sahabatnya, sepuluh tahun yang lalu.
Ya khadu lah. Tidak ada apapun yang bisa kulakukan. Aku ini siapa. Tidak pantas berkata seperti tadi. Hati-hati di jalan.” Yani berlari setelah berderai-derai airmata. Tanpa menunggu kata-kata Nisa.

Puisiku: Puisi Prosaik

sebuah puisi prosaik perdana

Ini Tanahku (Tanahmu), Lantas Kau Hanya Menumpang
: Fadila Hanum

Sebersit rasa tak rela. Atas nyata yang diharapkan tak pernah ada. Lama menatap kapal-kapal yang merapat. Lelah pada dorongan air laut. Kembali pulang. Nyaris kehabisan nafas yang dipanjang-panjangkan. Maaf. Tapi aku masih ingin terlihat ada. Berbalik menengok kebelakang. Cengkeraman Krakatau masih menghujam rupanya. Aku kira telah berubah. Mengiringi zaman yang kian tak masuk akal. Merebut tanahku menjadi tanahmu. Meski tetap menjadi tanahku.

Friday 12 August 2011

cerpenku: Duh Fandi


Hari yang melelahkan. Aku merebahkan tubuh segera setelah sampai dikamar. Seharian menjadi ketua pelaksana kegiatan bakti sosial BEM di kampus cukup meloloskan sendi-sendiku. Memejamkan mata lima belas menit dulu sebelum mandi, begitu yang kuinginkan. Belum satu menit mata terpejam, tiba-tiba suara panggilan menyebalkan itu membahana seantero rumah. Suara Fandi, adik bungsuku. Fiuh…
“Mbak El…?!” Aku diam, malas menjawab.
 “Mbak El cantik….!!!” Usaha yang bagus.
“Mbak El cuantik buanget!!!” Usaha yang sangat bagus. Panggilan terakhir terlontar tepat saat pemilik suara sampai di depan pintu kamarku. Melongok ke dalam. Menangkap sasarannya sedang tepar di tempat tidur.
Aih, mbak El ini dipanggil-panggil nggak nyahut. Nggak merasa cantik ya? Memang sih Fandi tadi fitnah. Maaf ya mbak. Lain kali nggak diulangi deh. Fandi janji…”
“Stop! Apaan sih. Nggak lihat apa mbak lagi tidur?!!” Potongku sewot. Nih anak memang kebangetan. Pasti sengaja membuatku naik darah. Tawa fandi pecah. Merasa sukses gangguannya berhasil.

cerpenku: Dua raksasa


Jakarta is a big trouble. Terkadang aku tidak percaya di negara carut marut inilah aku dilahirkan. Well, ini bulan pertama aku kembali ke tanah air, sejak enam tahun lalu terbang ke Los Angeles. Jelas saja belum terbiasa dengan sistem waktu karet di Indonesia. Dua jam lebih dua puluh menit. Selama itu aku terjebak di arus jalanan ibukota? Gila!

Disinilah aku, siap mengemban takdir yang sudah kuketahui sejak kelas empat sekolah dasar. Kakekku, imigran asli dari Jepang, tuan Fujita adalah pemilik perusahaan raksasa Queenfeed International group beserta kedua belas anak perusahaannya. Beliau hanya memiliki satu putri, yaitu ibuku. Dan ibuku hanya memiliki satu putri, yaitu aku. Keyla Presahard. Right! Aku harus menggantikan posisi kakekku, tuan Fujita yang telah wafat satu minggu yang lalu, menyusul ayah dan ibuku. Disinilah aku, sendiri berada di puncak jaringan raksasa QI group, membawahi sepuluh ribu karyawan.

Antologi Puisi “Ketika Aku Berjalan”



ISBN: 978-602-9079-92-0
Terbit: Mei 2011
Tebal: 250 halaman
Harga: Rp. 49.600,00
Deskripsi:
Antologi Puisi “Ketika Aku Berjalan” hanya ingin membuktikan bahwa kami “kunang-kunang FLP Wilayah Lampung” masih akan terus berproses, tumbuh dan berkarya lewat kata sebagai pemanis perasaan yang peka. Tabik !


order yuk mari... http://www.leutikaprio.com/produk/11028/kumpulan_puisi/1105119/ketika_aku_berjalan/1104991/kunangkunang_flp_lampung

cerpenku: Rumah kanibal


Namaku hitam elegan. Teman-teman sesama penghuni kelurahan Kemiling kota Bandar Lampung ini yang menjulukiku begitu. Aku tentu bangga. Dengan paduan warna hitam, abu-abu, dan merah aku memang terlihat begitu elegan. Sudah satu tahun usiaku. Sejak akan dilahirkan, manusia yang akan menempatiku menginginkan aku sesempurna mungkin. Dengan biaya yang tidak sedikit, aku diciptakan. Hasilnya, tidak ada yang menyangkal aku begitu rupawan. Desain yang modern, luas, dan mantap. Teman-temanku banyak yang iri. Mereka bilang betapa beruntungnya diriku. Bahkan manusia yang melewatiku tak sedikit yang berdecak kagum. Aku berdiri kokoh tanpa cela. Berkali-kali aku mengucap syukur. Menjadi tempat bernaung dan berkumpulnya satu keluarga bahagia adalah tujuan untuk apa aku ada.

cerpenku: Kujahit sayapmu kanda


Tahun ke dua belas sejak pernikahan kita, Kanda. Tepat terulangnya malam yang sama, saat kalender menunjukkan tanggal dua puluh sembilan di bulan november. Kala itu tahun seribu sembilan ratus sembilan puluh delapan. Ba’da maghrib, ditemani lantunan gerimis yang basah. Aku kaget luar biasa, tak menyangka sosok yang tiba-tiba menyeruak dari langit malam itu ternyata dirimu. Entah mengapa aku mulai gugup, jantungku berdegup cepat tak karuan. Canggung kau bersalaman dengan Abahku.  Patah-patah menyampaikan maksud kedatanganmu. Ingin mengajakku terbang bersama, katamu saat itu sambil melirikku yang menunduk dingin namun nyatanya sedang meredam gugup. Seketika itu, aku dapat melihat sayapmu yang indah, terkembang begitu sempurna. Sayap yang kokoh dan jelas mampu menerjang kerasnya angin kehidupan. Gerimis menjadi saksi kala itu, Kanda. Saat kuanggukan kepala, pertanda aku mulai mencintaimu.

cerpenku: coblos senyum


Siang yang panas. Semakin menyengat saja setelah lewat jam dua belas ini. Terlihat dari kejauhan fatamorgana air di jalan yang pelan-pelan dilalui pak Sumadi. Pria kurus hitam itu berkali-kali menyapu wajahnya dengan handuk kumal yang tersampir di bahunya, dengan tetap mendorong becak, sumber nafkahnya sehari-hari. Becak yang tak dinaiki karena lumayan babak belur kelihatannya. Roda yang tidak berbentuk lingkaran utuh lagi, sudah peot sana-sini, ban kempes di bagian depan sebelah kiri, juga engsel bagian bawah yang patah. Sial sekali hari ini, begitu rutuknya dalam hati.

Wajah letih itu menegang, menahan kekesalan, sebab tak diketahuinya mesti ditumpahkan pada siapa rasa kesal itu. Pada seorang Ibu dengan belanjaan penuh, penumpangnya tadi? Ah, justru itulah korbannya. Untung saja Ibu itu tidak seberapa marah, hanya teriak sekilas lalu meringis memegang lengannya yang memerah akibat becak pak Sumadi yang oleng dan jatuh begitu saja. Tapi apesnya Ibu itu tidak mau bayar.
“Anggap saja ganti rugi pak!” begitu katanya ketus tanpa menunggu tanggapan pak Sumadi. Padahal dia tadi mau keberatan, tapi tak juga dipanggilnya Ibu itu. Takut kalau balik marah membentaknya. Ditatapnya saja dari kejauhan si Ibu berjalan terseok-seok kearah rumah karena memang rumahnya tak jauh dari tempat kejadian becaknya oleng dan jatuh. Beberapa detik kemudian Ibu itu hilang setelah berbelok kearah gang sebelah kiri. Hilang sudah lima ribu melayang, keluhnya dalam hati, tapi yang keluar dari mulutnya hanya helaan nafas berat. Belum rejeki, hibur sudut hatinya yang lain.

Yang hilang

 1. tiada kebencian dihatinya
cerpen perdana ini saya buat saat duduk di bangku SMP. dimuat di majalah anka-anak Andaka. sayangnya arsip majalahnya hilang. dan saya tidak punya naskahnya T,T

2. Ikhtong
cerpen ini saya buat saat masuk sebagai anggota FLP. lebih besar kemungkinan bisa ditemukan *.*

3. Namaku Ramadhan
ini juga dibuat sebagai syarat masuk sebagai anggota FLP.

4. Matahari milik Suci
cerpen ini hilang sehari setelah saya menyelesaikannya. terformat bersama teman2 puisi dalam satu folder saat kompi saya di instal ulang.

*berharap suatu hari ketemu. kalaupun tidak, sebenarnya saya masih ingat ceritanya juga alurnya. doakan bisa kembali ditulis lagi ya?*