Friday 12 August 2011

cerpenku: Dua raksasa


Jakarta is a big trouble. Terkadang aku tidak percaya di negara carut marut inilah aku dilahirkan. Well, ini bulan pertama aku kembali ke tanah air, sejak enam tahun lalu terbang ke Los Angeles. Jelas saja belum terbiasa dengan sistem waktu karet di Indonesia. Dua jam lebih dua puluh menit. Selama itu aku terjebak di arus jalanan ibukota? Gila!

Disinilah aku, siap mengemban takdir yang sudah kuketahui sejak kelas empat sekolah dasar. Kakekku, imigran asli dari Jepang, tuan Fujita adalah pemilik perusahaan raksasa Queenfeed International group beserta kedua belas anak perusahaannya. Beliau hanya memiliki satu putri, yaitu ibuku. Dan ibuku hanya memiliki satu putri, yaitu aku. Keyla Presahard. Right! Aku harus menggantikan posisi kakekku, tuan Fujita yang telah wafat satu minggu yang lalu, menyusul ayah dan ibuku. Disinilah aku, sendiri berada di puncak jaringan raksasa QI group, membawahi sepuluh ribu karyawan.

Aku sudah terbiasa sendiri. Ugh! Lebih tepatnya memaksa untuk terbiasa. Sejak dini pendidikanku sudah diatur kakek. Setamat SMP program akselerasi, aku melanjutkan sekolah menengah atas ke LA, pun mengambil program sarjana Hubungan International di Los Angeles University. Tiga tahun dua bulan setelahnya, tepat di usiaku yang ke sembilan belas tahun aku lulus dengan predikat cum laude. Meski umurku belum menginjak kepala dua, kedewasaanku bisa diuji. Tak ada waktu untuk membuang waktu percuma ala anak muda zaman sekarang. Shoping? Salon? Spa? Aku cukup menghubungi Mrs. Wien. Asisten pribadiku itu bisa dibilang mesin apa saja. Bisa mengerjakan segala sesuatu yang kubutuhkan. Sekali bilang, semua sudah dihadapan. Sempurna!
“Ada lagi, sekretaris Kim?” Lamunanku buyar tepat setelah sekretaris Kim, orang kepercayaan kakek itu selesai memberitahu keseluruhan agenda hari ini. Meeting dengan direktur PT. bigtecno group, presentasi laporan bagian HRD, juga penandatanganan kontrak dengan perusahaan asing. Hasuka group.
“Satu lagi nona. Satu hal yang akan saya sampaikan nanti saat tiba di kantor.”
Rahasia kah? Sampai harus dikatakan di kantor. Dahiku sedikit mengerut,
“Sekarang saja sampaikan. Hanya ada Pak Adi disini.” Sekretaris kim menoleh ke kanan, seolah memastikan pak Adi yang sedang fokus menyetir di sebelahnya dapat dipercaya.
“Pesan dari tuan Fujita, kakek anda.”
“Ya?”
“Beliau ingin anda segera menikah.” Aku tak bereaksi. Wajahku datar. Meski dalam hati sedikit kaget. Tentu saja, sebab kakek tidak pernah menyinggung soal pernikahanku sebelum beliau wafat. Lagipula kakek juga tahu pasti aku tidak punya calon suami. Dan lagi, Helo? Sekali lagi! Helo??? Aku masih berumur sembilan belas tahun!
 “Hm, dengan siapa?” logikaku berjalan. Ini pasti strategi kakek demi kemajuan perusahaan. Menikahkanku dengan pewaris tunggal perusahaan raksasa juga kah?
“Bagas. Anaknya tuan Handoko. Pemilik perusahaan Hamphuss group.” Exactly! Tepat dugaanku.
“Lakukan saja. Kapan?”
“Setidaknya anda perlu bertemu dengannya terlebih dahulu, nona.”
“Untuk apa?”
“Memastikan suka atau tidak.”
“Apa itu penting?” Ah. pertanyaan apa itu. Tentu saja penting. Seharusnya. Nyatanya? Tidak ada ruang bagiku untuk memikirkan hal-hal –yang sebenarnya penting- seperti itu. Sudah kukatakan dari awal. Hidupku adalah takdir untuk berdiri di puncak tertinggi QI group. Bukankah hidup hanya drama. Aku sedang berlakon menjadi raksasa pemilik segala. Skenario apapun yang kakek buat, aku tak hendak lari. Bahkan aku tak yakin, apakah di hatiku masih ada perasaan? Bulshit! Pertanyaan apalagi itu? yeah right! jujur saja, aku merasa tidak lagi menjadi manusia. Robot mungkin, sigh!
“Besok malam, Bagas dan keluarganya hendak datang ke rumah anda, nona.”
“Oke. Hubungi Mrs. Wien untuk menyiapkan segalanya.”
Mau tidak mau, aku membayangkan seperti apa calon suamiku yang bernama Bagas itu. Dingin? Sepi? Juga merasa sendiri? Kalau iya, ide kakek amat briliant! Menyatukan dua simbol perusahaan raksasa. Lucu sekali.
***
Aku mematut-matut diri di depan cermin. Berkali-kali mencocokan pakaian yang akan kukenakan pada pertemuan penting seumur hidupku. Penting? Ah, tidak biasanya aku peduli seperti ini. Bayangkan! empat jam urusan memilih warna pakaian tidak kelar-kelar! Uh yeah! Mungkin aku sudah gila!
“Tuan, Nyonya sudah menunggu dibawah.” Bi Warsih mengetuk pintu kamarku. Aku bergegas keluar setelah setengah hati memilih kemeja abu-abu berlengan panjang yang kusingsingkan hingga tiga perempat dipadukan dengan celana dasar hitam.

Namaku Bagas. Umur dua puluh empat tahun. Generasi ketiga dari pemilik perusahaan jaringan market waralaba se-Indonesia, Hamphuss group. Siapa yang tak kenal nama besar moyangku? Widiatmoko. Jadilah nama lengkapku, Bagas widiatmoko. Tapi tunggu dulu. Ditengah-tengah kesempurnaan duniaku, jangan tidak percaya bahwa aku suka sekali kabur. Terakhir aku kabur dengan kereta kelas ekonomis, namun untuk kesekian kali tertangkap
-kawanan prajurit- papi. Tak apa. Sebab aku tidak pernah benar-benar kabur. Hanya sesekali meyakinkan diri aku masih diingat oleh papi dan mami. Sekedar membuat mereka khawatir.

Well, itu terjadi sebelum aku melanjutkan studi ke negeri jiran, Malaysia. Bisa dikatakan pola fikirku berubah sejak aku berstatus mahasiswa di sana. Pijakan kakiku pada bumi sudah kumantapkan sebelum beban berat siap menimpaku dari langit. Sejak aku berkenalan dengan Ahmad, mahasiswa asal Pahang yang satu jurusan denganku itu sedikit banyak membantuku menemukan makna hidup. Ahmad sangat alim dalam masalah agama. Ilmu dan wawasannya sangat luas. Darinya aku menemukan betapa mengenal Allah dan lebih dekat denganNya adalah nikmat tak terkira. Darinya aku pahami bahwa hidupku yang serba bergelimangan materi akan bisa menjadi boomerang jika tanpa alas tumpu yang kuat. Tanpa remote bernama agama yang mengontrolnya.

Kembali ke soal akan pergi kemana aku malam ini. Aku akan datang melamar. Uh! Surprise bukan? Key. Teman kecilku. Uh bukan! Maksudku anak dari teman ayahku. Gadis kecil yang tiga kali pernah bertemu denganku. Pertama saat ayahnya meninggal. Yang kuingat, gadis kecil berkuncir kuda itu berlinang airmata dalam diam, digendong ibunya melihat prosesi pemakaman. Kedua, lima tahun berikutnya. Gadis yang masih berkuncir kuda itu terisak-isak dipangkuan kakeknya, melihat prosesi pemakaman sang ibu. Untuk ketiga kalinya aku bertemu, pun di prosesi pemakaman sang kakek, tuan Fujita. Anehnya, ekspresi itu kini berubah. Ia tidak terisak sama sekali. Pun tidak juga mengeluarkan airmata. Dingin. Rapuh.

Tuan Fujita sudah menganggap papi sebagai anaknya. Ia sangat dekat dengan keluargaku. Setahun terakhir, aku dan tuan Fujita semakin akrab. Mengobrol santai, memancing bersama. Darinya aku tahu banyak mengenai Key. Dan tawaran untuk menikahi cucunya itu tidak kutolak sama sekali. Entahlah, mungkin aku sudah merasakan cinta sejak melihat gadis berkuncir kuda itu berlinang airmata. Haha! Lucu bukan? Tapi sungguh, aku serius. Pun amat kupahami ketika tuan Fujita secara resmi menyampaikan permintaannya kepadaku, agar Key bahagia, begitu ucapnya haru. Aku sempat memberitahu Ahmad dan meminta sarannya. Ahmad khawatir jika aku menikah dengan wanita yang tidak sefikrah,  aku bakal ikut arus. Aku katakan padanya gadis ini bukannya tidak sefikrah, dia wanita muslim meski kering dari agamanya sendiri. Ia hanya belum tahu, belum mengenal, dan belum cinta. Aku tipikal dominan, dan yakin bisa mengenalkan cinta Allah padanya. That’s right! aku yakin itu.

Gerbang besar keluarga Fujita sudah terlihat di hadapanku. Gerbang itu terbuka otomatis ketika mobil yang kubawa tepat menginjak alas depan gerbang. Taman seluas lima ratus meter bertabur hiasan lampu terang benderang. Sesampainya didalam, aku, papi dan mami sudah disambut sekretaris Kim dan, uh! tentu saja Keyla. Ya Allah, hatiku dag dig dug.
***
“Inikah lelaki pilihan kakek?” Tak lepas mataku menatap lelaki itu dalam-dalam. Yang kuperhatikan hanya tersenyum takzim dan menunduk kebawah. Entah ada apa dibawah sana! Hmm, tapi boljug. Tidak kupungkiri, he is so look perfect! Like, one in a million! Or, make it two million!  Tapi tunggu dulu! lelaki ini tentu bukan tipe lelaki yang mengekor perintah. Perintah menikah demi pernikahan dua perusahaan raksasa. Jelas terlihat ia punya karakter. Ah entahlah, aku tak perlu pusing. Setidaknya, aku akan menikah dengan manusia. Bukan dengan robot. Itu melegakan.

Pihak keluarga Widiatmoko beramah tamah menerangkan maksud kedatangan mereka padaku. Selebihnya mereka menyerahkan pada kami –aku dan calon suamiku, oh my God! Kenapa hatiku gemetar begini?- untuk mengobrol, mengenal masing-masing pribadi. Lelaki bernama Bagas ini amat sopan, dia bahkan tidak menggeser tempat duduknya. Dan dia masih menunduk. Malu mungkin? Sangat menarik!
“Apakah kau mencintaiku?” gila! Pertanyaan apa itu? mataku membesar. Kaget.
Um, maksudku apakah kau menyukaiku di pertemuan pertama kita ini?”
“Kau sendiri” tanyaku balik. To be honest, aku gugup
“Aku? Ya aku menyukaimu.”
“Ok. Aku juga.”
“Apakah kau bersedia dengan perjodohan ini? Di usia yang masih muda?”
“Kau sendiri?”
“Aku bersedia.”
“Ok. Aku juga.” Damn! Suer! Aku every gugup! Ada apa denganku?!
***
Dua tahun tiga bulan kemudian
I see the sun with my whole soul….
Pagi yang merona. Seperti hatiku mungkin. Hey. Perkenalkan lagi. Aku Key. Masih ingat bukan? Aku kira kau tidak akan mengenaliku karena perubahanku. Dulu, hatiku mati. Tapi kini? Tumpah ruah oleh cinta. Hari ini aku akan memberi kejutan untuk my lovely Bagas. Uhm, sebelumnya aku akan memasak untuk pertama kalinya. Salad of potato crumble alias gado-gado. Menu istimewa untuk suami tercinta. Romantis bukan? Ssstttt! Dia sudah bangun.
“Sedang apa cinta?” Bagas merangkulku dari belakang, aku pura-pura kaget. Senang.
“Memasak. Menu istimewa untukmu.” Jawabku malu-malu.
Wow! Is so surprised! Bidadariku sangat perhatian.” Ia kini mengecup ubun-ubunku.
One more! Surprise sesungguhnya.” Sahutku sambil memberinya kotak berwarna pink.
Bagas terbelalak saat membukanya. Kaget. Bisa kupastikan jika dia bisa terbang, he will fly!
“Kau hamil????!!!!”
Aku mengangguk pasti. Bagas menyambarku masuk kedalam pelukannya yang kian menguat. Kurasakan isakan itu tak tertahan. Ya Robbi… bahagia ini. Segala puji bagi Engkau yang sudah memberiku uluran tangan. Segala puji bagi Engkau yang  mengizinkanku untuk mengenalMu, juga memilihkan Bagas untukku.
And Kakek… you’re my hero! Love you! More and more…
***
(Juara III lomba cerpen pernikahan dini oleh mbak Dewi Hastuti)

2 comments:

  1. hoho..ini dia!

    great, Num! rasa Asiam drama..hehe, ketauan kalo yg nulis suka liat pilem Korea dan sekitarnya.

    ReplyDelete
  2. hehehehe, o mb dew blm baca ya yg ini ;D

    nah, yg korea punya belum pernah buat....yuk mb buat yuk? apa duet qt ubah aja settingny jd setting korea????

    ReplyDelete