Friday 12 August 2011

cerpenku: Kujahit sayapmu kanda


Tahun ke dua belas sejak pernikahan kita, Kanda. Tepat terulangnya malam yang sama, saat kalender menunjukkan tanggal dua puluh sembilan di bulan november. Kala itu tahun seribu sembilan ratus sembilan puluh delapan. Ba’da maghrib, ditemani lantunan gerimis yang basah. Aku kaget luar biasa, tak menyangka sosok yang tiba-tiba menyeruak dari langit malam itu ternyata dirimu. Entah mengapa aku mulai gugup, jantungku berdegup cepat tak karuan. Canggung kau bersalaman dengan Abahku.  Patah-patah menyampaikan maksud kedatanganmu. Ingin mengajakku terbang bersama, katamu saat itu sambil melirikku yang menunduk dingin namun nyatanya sedang meredam gugup. Seketika itu, aku dapat melihat sayapmu yang indah, terkembang begitu sempurna. Sayap yang kokoh dan jelas mampu menerjang kerasnya angin kehidupan. Gerimis menjadi saksi kala itu, Kanda. Saat kuanggukan kepala, pertanda aku mulai mencintaimu.


Aku memang sudah mengenalimu sebelum malam itu, Kanda. Kau, lelaki sederhana yang bekerja di perkebunan karet dekat sekolah tempatku mengajar. Kau, lelaki sederhana yang membuatku ngeh akan adanya dirimu setelah suatu hari sepedamu oleng saat melewati sepedaku lalu tercebur begitu saja ke dalam empang. Aku kaget menyaksikan itu. Kau tertawa lebih keras dibandingkan orang-orang yang kompak menertawakanmu. Lalu kau menangkap tawa kecilku. Cukup lama tidak kau lepaskan, sampai aku sendiri yang menghapusnya dan berlalu begitu saja. Kau, lelaki sederhana yang setelah kejadian itu, entah kenapa sering sekali aku melihatmu. Setiap kali berpapasan, kau selalu tersenyum malu. Beberapa kali kau berusaha mendekatiku, khas cara remaja, lucu sekali.

Akan tetapi, pintu hatiku terlalu rapat untuk bisa terbuka untukmu, meskipun dengan susah payah kau mencoba menarik perhatianku. Pun bukan hanya dirimu. Para kaummu juga bernasib sama. Aku tidak perduli dengan apa yang kalian lakukan. Bukan karena aku angkuh dan meremehkan kalian. Bukan. Tapi karena pintu hatiku hanya akan terbuka dan bisa dimasuki oleh satu cinta saja. Bagiku cinta adalah anugerah Allah yang harus benar-benar dijaga. Jadi aku tak ingin coba-coba.

Maaf, membuatmu kaget. Aku tak menduga kau terlonjak begitu saja dan matamu terbelalak penuh demi mendengar jawabanku kala itu. Saat senja mengantarkan niatmu, untuk kesekian kali kau melontarkan seribu kata gombal, dan yang kutangkap hanya satu kata saja. Cinta. Satu kata yang menurut hatiku sangat indah, tapi oleh suaramu terdengar lalu, tak ada makna apa-apa. Namun senja kali ini lebih merona dari biasanya. Tak seperti yang sudah-sudah, berkali-kali aku selalu berlari bersama waktu setelah melempar ucapanmu ke tong sampah. Tapi kali ini aku hanya terdiam, bernyanyi sunyi bersama udara dan daun-daun. Lama kau mematung kikuk di sebelahku, menunggu. Haruskah aku menjawabnya? Mengapa hanya ada dua pilihan? Ya atau tidak. Aku tak akan pernah menjawab ya, tapi juga enggan menjawab tidak. Sepersekian detik setelahnya, hatiku membisikkan jawaban, tapi bukan diantara kedua pilihan itu.
“ Aku tidak akan pernah mau menjadi pacarmu. Tapi jika kau datang melamarku, jawabannya akan lain.” Begitu saja aku menjawab. Jangankan dirimu, telingaku sendiri juga kaget mendengar jawaban itu. Tapi setelahnya, sayapku terkembang indah. Terbang meninggalkanmu yang masih mematung bingung.

Sejak hari itu itu aku terus saja memandangi senja yang merona di sudut langit. Menunggu saat-saat sebelum ia menuntaskan waktu. Senja kesepuluh yang kutunggu. Sejak senja menjadi saksi atas jawabanku. Aku tak tahu untuk apa aku selalu menunggu senja, tak ada yang menyuruhku menunggu. Bahkan sosokmu menghilang, raib entah kemana. Sebab itulah aku begitu kaget, Kanda. Saat mulai lelah menunggu senja dan gelap mulai menyerang, kau tiba-tiba datang. Mengajakku terbang bersama. Abahku ragu, namun tak begitu denganku. Melihat mataku, senyum Abah terlahir dan anggukan itu cukup membuatku mengerti bahwa Abah setuju. Mulailah, hari-hari setelahnya adalah hari-hari sayapmu dan sayapku terbang bersama-sama.
***
Tahun ke dua belas sejak pernikahan kita, Kanda. Tepat terulangnya malam yang sama, saat kalender menunjukkan tanggal dua puluh sembilan di bulan November. Detik ini di tahun dua ribu sepuluh. Tidak terasa kita sudah cukup lama terbang dalam ruang yang sama, mengepakkan sayap seirama, merdu sekali. Tahun keempat setelah sayap-sayap kita menyatu, kita diberi amanah oleh Gusti Allah. Sesosok malaikat yang kini sedang lelap disebelahku. Bening hati, begitu kau memberinya nama. Buah cinta sayap-sayap kita. Delapan tahun sudah usianya.

Aku dan Bening sedang asyik bercengkerama bersama mimpi, saat kau pulang malam ini. seketika aku terjaga, namun untunglah Bening tidak. Tergesa-gesa aku membukakan pintu untukmu. Dan yang kulihat, sayapmu patah lagi, Kanda. Setelah hampir satu tahun selalu kutemukan sayapmu patah. Awalnya hanya patahan-patahan kecil, namun empat bulan ini, patahan-patahan itu melebar. Kali ini terkoyak di sebelah kiri bawah. Membuat bagian itu bergelantungan nyaris lepas. Kondisinya sangat memprihatinkan. Sama memprihatinkannya dengan wajahmu yang kuyu. Kau lelah Kanda? Terbang kemana saja? Mengapa tidak mengajakku ikut serta? Adakah kau hirup udara berbeda hari ini? Ada sejuta tanya yang ingin selalu kulontarkan berbulan-bulan, Kanda. Namun, aku terus saja memilih bungkam dan mulai kembali menjahit bagian sayapmu yang patah. Berkali-kali aku tertusuk jarum, sebab penglihatanku terhalau oleh air yang menggenang disudutnya. Setiap kali kuhapus, air itu terus saja muncul. Aku harus menyelesaikan jahitanku. Pelan-pelan agar tidurmu tak terganggu.
***
Pagi ini sayapmu sudah pulih, Kanda. Setelah semalaman kujahit dengan benang cinta. Sebelum kau pergi, aku ingin kau menjawab tanya-tanya yang mengambang penuh dalam pikiranku, sejak kau selalu pulang dengan sayapmu yang patah. Aku memandangmu ragu, sebab sedari tadi raut wajahmu tak berubah. Senyummu mahal sekarang, apalagi tawa lucumu yang dulu menggelegar. Apakah kau sedang sedih? Diriku kah penyebabnya? Mohon bicaralah, Kanda. Aku menjerit sekuat-kuatnya, namun tertahan oleh dinding-dinding hati yang kedap suara. Kuharap kau mendengarnya lewat telepati cinta. Mungkinkah?

Belum penuh kutabung kata untuk mampu kualirkan lewat suara, kau tiba-tiba berdiri. Menyudahi sarapan pagi, lantas bergegas pergi tanpa melihatku lagi. Cukup lama aku tersadar dari diam dan memutuskan untuk mengejarmu ke teras rumah. Kau sudah didalam mobil mulai menghidupkan mesin.
“Kanda?” suaraku tercekat, namun cukup mampu kau dengar. Kau menoleh enggan, mengisyaratkan tanya, ada apa?
Ada sesak yang mengalir melihat tatapanmu, Kanda. siapakah dirimu kini? Bisakah  kembalikan Kandaku yang dulu? Itulah tanya yang dititipkan hatiku, namun yang yang disampaikan oleh pita suaraku hanya sepotong pesan mengambang
“Hati-hati di jalan.”
Susah payah kuberdamai dengan pilu. Berusaha terlihat biasa. memasang senyumku yang dulu selalu kau suka. Balaslah Kanda, suara hatiku berdenting. Waktu melambat, lorong-lorongnya bergerak mundur kebelakang, menuju masa dua belas tahun yang lalu. Sunyi menarikku cepat sebelum aku sampai, membawaku kembali ke masa ini, tepat saat muntahan asap knalpot mobilmu mau tak mau masuk ke dalam sistem pernafasanku. Aku kembali tersenyum getir. Setelah menonton episode itu, sunyi tak tega menyiramku dengan tawa. Ia hanya memelukku penuh iba.
***
Gerimis seharian ini menemaniku berpikir keras. Seolah menjadi nyanyian akan lara hati yang kian melenakan. Aku tidak boleh terus diam, harus ada tanya untukmu. Sebab pernah juga kau tak bicara jika tak kutanya. Saat di tahun-tahun awal kebersamaan kita. Episode-episode berjudul kekhawatiran yang membuatmu berubah tiba-tiba. Tak bertenaga, kuyu, tapi sering kalap memarahiku. Ada sekat yang begitu saja terpasang, dan baru kutahu ia tumbuh karena prasangkamu yang nyatanya salah besar. Kau mengira sayapmu tak mampu membuatku bahagia. Aku ingat, saat itu kau tak pulang berhari-hari. Aku mencarimu ke pabrik tempatmu bekerja, ternyata tidak ada. Salah satu rekanmu menunjukkan satu tempat yang segera kutemukan sosokmu disana. Duduk diatas amben bersama rekan-rekanmu membentuk satu lingkaran. Segera aku tahu, kau sedang bermain kartu. Aku mematung, tak mampu berkata-kata.
“Untuk apa kemari? Pulang saja sana!” Kau memecah kelu dari bibirku. Segera saja kutumpahkan segala. Aku tak perduli menyadari banyak orang yang menyaksikanku bersimbah airmata. Aku sangat membenci judi, kanda. Namun dengan mata kepalaku, ku saksikan kau sendiri melakukannya. Jelas saja aku panas. Kau hanya terdiam menerima ocehanku yang sebenarnya tertelan oleh tangisanku. Namun tiba-tiba, aku tersengat oleh jawabanmu.
“Karena aku tidak mampu membahagiakanmu!” kata-kata itu menggelegar nyaris membuat jantungku lepas. Seketika sunyi merajam waktu. Aku tercekat, memandangimu tak percaya.

Dengan segera, kau katakan semuanya. Prasangka yang membuatku terpana. Kau miskin, lantas tak mampu membuatku bahagia. Kau hanya seorang buruh pabrik, sehari-hari cuma mampu memberiku makan tahu tempe. Kau tinggal di mess pabrik yang sangat sederhana. Airmataku kian tumpah. Aku pedih saat memergokimu sedang berjudi, tapi lebih pedih mendengar kata-katamu. Siapa yang bilang aku tidak bahagia, Kanda? kepakan sayapmu adalah bahagiaku. Nafasmu menjadi nafasku. Rejeki sudah tertulis di lauhl mahfudz, Kanda. Kita tinggal menjemputnya saja. Dan aku sama sekali tidak menderita.

Aku terus meyakinkanmu, namun kau tetap pada pemikiranmu.
“Walaupun kau tidak merasa menderita, nyatanya aku tidak mampu memberimu bahagia.” begitu saja kau menyimpulkan. Kutatap mata yang resah itu, aku ingin kembali meyakinkanmu, tapi pelukan itu membuatku kelu. Pun saat janji itu kau uraikan untukku.
“Aku akan membahagiakanmu, kali ini percaya padaku.”
Dan janjimu benar-benar terbukti, kanda. Setelah kau memutuskan keluar dari pabrik. Kau membuka bengkel di perempatan jalan dengan modal pesangonmu. Kian lama bengkelmu meluas. Kau melebarkan usaha dimana-mana. Aku tentu menikmati masa-masa itu. Masa-masa saat senyummu selalu terkembang begitu menawan. Pun sayapmu kian terkembang sempurna. Sampai waktu membawaku menghadapi kenyataan. Suatu hari kutemukan sayapmu patah, hingga semalam selalu kutemukan patahan-patahan lainnya.
***
Waktu berhenti, ia mati. Aku pun begitu. Aku benar-benar mati detik ini. Setelah sekian lama ikut hanyut bersama  arus pilu yang mengalir deras. Tiba-tiba tersangkut di satu tempat. Tepat saat senja menyibaknya, utuh kusaksikan bersama sunyi.  Aku menangkap sayapmu yang begitu kukenal. Sekuat tenaga kuseret langkah kearahmu yang sedang tak sendiri. Kau ternganga tak percaya melihatku. Aku menatap sesosok bayi dipangkuanmu yang beberapa detik tadi kau tatap dengan penuh cinta. Hanya satu meter kurang lebih jarak kita, Kanda. Dan aku benar-benar menyadari ini nyata. Bayangan seorang wanita disebelahmu tak mampu aku gambarkan dalam siluet retinaku. Aku menunggu penjelasanmu Kanda! mengapa kau tidak bicara! Apakah kau sedang menyusun kata-kata? Sampai kapan Kanda? Sampai aku terbunuh waktu? Hatiku menopang raga agar tidak limbung. Aku menunggu Kanda, bicaralah.

Aku mencoba membaca matamu yang masih penuh menatapku seolah aku datang dari negeri entah. Sosokmu membayang oleh air yang deras memenuhi mataku. Kini terfokus pada matamu yang tak berkedip, pelan-pelan menyusun kata, ingin bicara. Aku masih menunggu, meski waktu memaksaku lari dari dunia. Sebab kutahu mata itu tidak akan berdusta. Mata yang kucinta. Mata yang bertahun-tahun mengalirkan cinta. Kanda, bicaralah. Jangan perdulikan waktu. Hatiku masih utuh untukmu. Meski kini sedang tersengal-sengal. Bernafas satu-satu.

Sepersekian detik berlalu, bayangan wanita yang tepat berada disebelahmu mulai tergambar jelas dalam retinaku. Cantik sekali ia, tapi aku tidak melihat sayapnya. Dengan cepat ia menarik tanganmu. Tatapannya tajam merobek jantungku.
“Ayo mas!” begitu ia berkata sambil tak melepas tatapannya kearahku. Sekejap kau maya dalam penglihatanku, nyatanya telah meninggalkanku yang menghitung waktu. Matamu menghilang dari mataku. Dari jauh masih dapat kulihat, wanita itu memaksamu terbang dengan ia menunggangi pundakmu. Dengan kasar berpegangan pada sayapmu kiri dan kanan. Sudah kau jawab pertanyaanku, Kanda. Atas tanya, mengapa sayapmu selalu patah? Kusaksikan utuh dalam film layar lebar ciptaanmu. Jawaban yang menikam hatiku, namun masih bernafas karena satu kata. Cinta. Satu kata yang pernah kau dendangkan dan disaksikan senja. Sampai detik ini aku masih ingat melodinya. Jika nanti sayapmu lagi-lagi ada yang patah, pulanglah Kanda. Akan segera kujahit dengan benang cinta.
***
                                   
Natar, 1 Desember 2010

No comments:

Post a Comment