Friday 12 August 2011

cerpenku: Rumah kanibal


Namaku hitam elegan. Teman-teman sesama penghuni kelurahan Kemiling kota Bandar Lampung ini yang menjulukiku begitu. Aku tentu bangga. Dengan paduan warna hitam, abu-abu, dan merah aku memang terlihat begitu elegan. Sudah satu tahun usiaku. Sejak akan dilahirkan, manusia yang akan menempatiku menginginkan aku sesempurna mungkin. Dengan biaya yang tidak sedikit, aku diciptakan. Hasilnya, tidak ada yang menyangkal aku begitu rupawan. Desain yang modern, luas, dan mantap. Teman-temanku banyak yang iri. Mereka bilang betapa beruntungnya diriku. Bahkan manusia yang melewatiku tak sedikit yang berdecak kagum. Aku berdiri kokoh tanpa cela. Berkali-kali aku mengucap syukur. Menjadi tempat bernaung dan berkumpulnya satu keluarga bahagia adalah tujuan untuk apa aku ada.


Hari pertama aku menjalankan tugas adalah hari yang tidak pernah terlupa. Akhirnya aku bisa melihat dari dekat keluarga yang akan menempatiku nantinya. Aku begitu bahagia saat merasakan pertama kali mereka masuk kedalam tubuhku dan berulang kali mengucapkan kata-kata pujian. Aku siap mengabdi, menjadikan diriku tempat bernaung keluarga bahagia ini. Sepasang suami istri dengan tiga orang anak yang kesemuanya perempuan. Setelahnya aku tahu, tuanku adalah anggota dewan perwakilan dari salah satu partai politik besar di negeri ini. Istrinya menjadi ibu rumah tangga yang memiliki banyak kegiatan di luar namun aku tidak tahu pasti kegiatan apa saja. Lalu anak yang pertama sedang kuliah di salah satu universitas swasta ternama di Jakarta, yang kedua dan ketiga masih SMA kelas 3 dan kelas 1.

Aku bersahabat dengan cream santun dan hijau lembut. Mereka ada di samping kiri dan kananku. Kami bertiga sangat dekat. Saling bercerita tentang tuan kami masing-masing. Mendengar cerita mereka tentang tuan-tuannya, aku sebenarnya merasa iri. Apalagi cerita dari hijau lembut. Betapa inginnya aku merasakan tubuhku bergetar saat ia bilang salah satu anak perempuan tuannya rutin membaca ayat-ayat suci Al-Qur’an. Terkadang aku mencuri dengar merdu suaranya. Sangat menyejukkan meskipun hanya sayup-sayup. Walau bagaimanapun aku adalah makhluk Allah. Bagian-bagian tubuhku berasal dari makhluk-makhluk yang selalu bertasbih padaNya. Kayu- kayu kokoh yang menjadi tulang belulangku sudah berpuluh-puluh tahun tumbuh dan terus bertasbih memujiNya. Atap, bata, pasir, batu, semen, besi, juga cat asalnya dari alam, mereka semua kemudian bersatu menjadi aku. Tentu aku tidak melupakan asalku dan juga melanjutkan tasbih yang kuhimpun jadi satu. Manusia tidak tahu tasbih kami. Segala puji bagi Allah yang memberiku kesempatan mengabdi pada manusia. Tapi kemudian, aku merasa sangat merana satu tahun ini. Tepatnya setelah beberapa hari mereka ada didalamku. Setelah aku mengetahui kebiasaan yang bisa dikatakan sangat buruk dari satu keluarga ini.

“Elegan, mengapa akhir-akhir ini kau terlihat begitu sedih?” tanya cream santun
“Iya, apakah tubuhmu ada yang rusak?” tambah hijau lembut memastikan
Aku menggeleng lemah. Tidak tahu harus bercerita atau tidak. Aku malu menceritakan semua. Selama ini yang kuceritakan hanya kesibukan keluarga ini diluar yang saling mereka ceritakan satu sama lain, keluarga yang sangat akrab. Yang sebenarnya membuat kesedihanku bertambah dari hari kehari tidak lain adalah cerita-cerita mereka. Bukan sekedar cerita mengenai kegiatan mereka sehari-hari. Tapi lebih dari itu, mereka sangat suka membicarakan orang lain, apalagi keburukan-keburukannya. Kelihatannya biasa-biasa saja. Tapi nyatanya, yang kusaksikan mereka berkumpul menghadap meja besar yang penuh daging-daging busuk. Bangkai manusia. Aku ingin muntah melihatnya, tapi mereka justru terlihat tidak sabar berebutan ingin menyantapnya. Air liur mereka menetes-netes kebawah. Setiap waktu, mau tidak mau, aku harus menyaksikan mereka memakan bangkai manusia itu dengan rakusnya. Bayangkan! mereka yang kusebut manusia-manusia kanibal itu memakan bangkai di dalam tubuhku. Ya Allah…betapa merananya diriku.

Tidak hanya satu kali. Semakin hari semakin sering mereka menikmati bangkai-bangkai itu. Jumlahnya juga bertambah banyak. Seperti kecanduan, tidak bisa dihentikan. Sekali saja makanan-makanan itu sampai ke dalam tubuhku, mereka segera melahapnya sampai habis. Lalu setelahnya, kurasakan tubuhku penuh aroma busuk, sisa-sisa bangkai yang habis mereka santap. Tapi mau bagaimana? Aku tidak berdaya. Boro-boro aku berharap mendengar ayat-ayat suci Al-Qur’an terlantun merdu ditubuhku dan berharap malaikat-malaikat rutin mengunjungiku, seperti yang dialami hijau lembut. Nyatanya yang ada adalah perkataan-perkataan busuk tentang aib manusia. Belum lagi hobi mereka menonton infotainment di televisi, sampai pekak telingaku mendengar berita selebriti yang  justru suka menjadi mangsa mereka untuk dilahap dengan rakusnya. Aku harus rela akrab dengan bau bangkai. Harus sampai kapan nasibku seperti ini, Tuhan?
“Elegan?” seru hijau lembut membuyarkan lamunanku.
“Ya?” aku bertanya kaget
“Kamu mau cerita? Apa ada masalah dengan tuanmu?”. Aku menatap satu-satu wajah cream santun dan hijau lembut. Cerita? Aku membayangkan apa yang akan terjadi jika mereka mengetahui kenyataan yang sebenarnya tentang tuanku. Bisa-bisa namaku akan diganti paksa menjadi rumah kanibal . Oh tidak! Membayangkannya saja aku sudah ngeri. Tidak, aku tidak akan menceritakannya pada siapapun.
“Ya sudah kalau tidak mau cerita, supaya kamu tidak sedih lagi, lebih baik mendengar cerita tentang tuanku tadi malam elegan.” Cream santun masih memandangku yang terlihat bingung.
“Cerita apa?” tanyaku datar
“Anak ketiga tuanku baru saja mendapat beasiswa program magister di Universitas yang sama saat ia menamatkan program sarjananya. Itu yang dia katakan pada tuanku penuh suka cita tadi malam. Hebat bukan?”
Wow. Aku dan hijau lembut berdecak kagum mendengarnya. Penghuni cream santun memang luar biasa. Yang kutahu dari ceritanya, anak-anak tuan cream santun ada delapan orang. Keluarga besar. Dua orang sudah bekerja dan berkeluarga. Yang pertama laki-laki, punya usaha konveksi yang lumayan besar. Selain itu, ia dan istrinya baru saja membuka Taman Pendidikan Al-Qur’an di tempat tinggal mereka. Yang kedua perempuan, menjadi guru SDIT di kelurahan sebelah. Sisanya masih menuntut ilmu, tiga kuliah dan tiga masih pelajar. Kata cream santun, tuannya itu sangat mementingkan pendidikan anak-anaknya. Sampai kondisi cream santun sendiri sebenarnya cukup memprihatinkan. Sudah tua. Terlihat sangat sederhana. Tapi cream santun selalu terlihat bahagia. Ia dengan bangganya selalu bilang, “Keluarga tuanku adalah keluarga ahli ilmu.” Begitu selalu. Cerita cream santun sebenarnya membuat kesedihanku bertambah. Akan tetapi, aku turut bahagia melihat sahabatku ini bahagia.

Sejujurnya aku ingin sekali bertanya kepada teman-temanku, terutama pada cream santun dan hijau lembut. Apakah tuan mereka juga seperti tuanku? Maksudku, apakah tuan mereka juga sebenarnya suka membicarakan aib orang lain. Dengan begitu mungkin bebanku sedikit berkurang karena aku bukan satu-satunya rumah yang merana. Tapi kalau aku bertanya seperti itu, ternyata jawabannya tidak, mereka pasti curiga dan memaksaku menceritakan kenyataan yang sebenarnya. Ah, memang lebih baik kupendam sendiri saja luka ini.
***
Malam ini aku mendengar kabar yang sangat mengejutkan. Seolah bermimpi, baru saja aku mendengar di dalam tubuhku akan diadakan acara. Bukan sekedar acara biasa, tapi pengajian rutin. Pengajian ibu-ibu yang diadakan bergiliran dari rumah ke rumah anggotanya, dan hari jumat ini adalah giliranku. Betapa bersyukurnya diriku membayangkan seperti apa acara yang akan diadakan hari jumat sore nanti. Bacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an yang melantun indah atau siraman rohani yang menyentuh kalbu. Ah, betapa bahagianya. Aku sangat tidak sabar menanti hari itu tiba.
***
Sepanjang pagi aku sumringah. Cream santun dan hijau lembut turut senang melihatku kembali tersenyum. Aku tentu sudah menceritakan sebabnya kepada mereka berdua. Pengajian ibu-ibu yang akan diadakan sore ini. Aku sudah siap menjadi tempat dilantunkannya ayat-ayat suci Al-Qur’an dan hati yang tersiram nasihat ustadz. Detik demi detik seolah berjalan begitu lambat. Hingga sore tiba aku menjadi begitu tak sabar. Cream santun dan hijau lembut menatapku geli. Aku tidak perduli, sebab aku sangat bahagia. Satu persatu ibu-ibu pengajian berdatangan, sampai tubuhku penuh oleh mereka. Suara-suara mereka berdengung-dengung didalamku. Menit kian menit berlalu, aku menantikan kalamullah yang tak kunjung dilantunkan. Pun tidak juga nasihat-nasihat ustadz. Betapa hancur kebahagianku setelah aku mengetahui acara inti pengajian ini ternyata arisan. Arisan pengajian ibu-ibu, begitu mereka menamakannya. Selebihnya acara itu justru dipenuhi kata demi kata yang terdengar memekakkan dari satu mulut ke mulut yang lain. Di setiap sudut tubuhku terlihat penuh dengan daging busuk. Bangkai-bangkai manusia! Aku terbelalak, tak percaya dengan apa yang kusaksikan. Darimana datangnya bangkai-bangkai itu? Oh tidak!
Sudut yang satu,
“Sudah dengar kabar anak bu Bambang yang katanya mendapat beasiswa S2 itu? Hebat juga ya”
“Alaa.. biasa aja kali bu. Gitu aja kok sudah heboh. Baru saja di dalam negeri, Lampung pula. Keluar negeri, itu baru hebat. Nanti Vita, anak saya, rencananya kuliah keluar negeri selepas SMA. Tanpa beasiswa pun, ayahnya sudah menyiapkan tabungan untuk dia kuliah di negara manapun yang dia mau.”
Sudut yang satunya lagi,
 “Ibu-ibu tahu ndak? Bayu, anaknya bu Endang. Kabarnya menghamili anak gadis orang. Pacarnya yang sering kita lihat diboncengnya itu loh bu.”
“Ih, amit-amit. Anak seperti itu yang salah ya orangtuanya. Tidak bisa mendidik anak.”
Sudut yang lain,
“iya, saya juga lihat di infotainment tadi pagi. Namanya juga artis bu, bisanya cari sensasi.”
“Tapi benar-benar tidak tahu malu ya bu. masa punya anak di luar nikah bangganya minta ampun.”
Aku ingin pingsan mendengar percakapan yang berturut-turut itu. Untuk kesekian kali, aku hanya mampu mendengar dan menyaksikan mereka bersama-sama melahap bagkai didalamku. Ibu-ibu pengajian itu sama-sama rakus memakan bangkai. Tubuhku penuh dengan kanibal. Aku sudah tidak tahan lagi. Dalam merana, aku berdoa lirih. Semoga Allah mendengar doaku dan mengabulkannya. Aku berharap aku dihancurleburkan saja. Aku lebih rela rata dengan tanah, menyisakan puing-puing dari tubuhku. Diangkut ke penimbunan atau satu-satu bagian tubuhku diambil orang-orang. Dijadikan apapun yang mereka mau. Aku lebih rela. Daripada aku harus terus-terusan menjadi tempat para kanibal memangsa makanannya. Daripada kemudian aku benar-benar berganti nama. Nama yang menyeramkan. Rumah kanibal. Lalu dengan terpaksa memperkenalkan diri, namaku hitam kanibal.

(dimuat dalam antologi Rumah air bersama group taman sastra) 



No comments:

Post a Comment