Wednesday 31 August 2011

Tak punya tapi memberi


Senja itu, aku mengobrol dengan seorang teman. Obrolan kami terus meluas, sampai satu penggalan obrolan itu berganti tema dari tema awal. Kurang lebih seperti ini,
Teman : kenapa kamu suka menulis num?
Aku     : karena aku ingin seperti Abi (panggilan untuk ayah kandungku,red).
Teman : (sedikit membelalakkan mata, siap melahirkan pertanyaan baru) Beliau
  seorang penulis?
Aku     : Bukan. Abi seorang pegawai negeri sipil.
Teman : (kali ini mengernyitkan kening, tak mengerti) Beliau suka menulis?
Aku     : Tidak. Beliau hanya suka membaca.
Teman : Lalu kenapa alasannya karena kamu ingin seperti Abimu?
Aku     : (aku tersenyum melihatnya penasaran seperti itu) karena beliau  suka
  memberi. Memberi apapun yang beliau miliki. Aku ingin seperti beliau.
  Dan buatku, memberi dengan menulis adalah yang kumampu untuk saat
  ini. Harapanku, dengan menulis, akan ada orang yang menerima
  manfaatnya. Semoga.


Aku tidak bermaksud melucu. Seratus persen serius. Tapi temanku itu justru tertawa. Sangat menarik menghubungkan sesuatu yang sebenarnya tidak ada hubungannya, begitu katanya. Aku dengan percaya diri menjawab. Tentu ada dong, hubungan ayah dan anak. Jawaban yang hanya membuat tawa itu semakin panjang umurnya.


Akhirnya, mengalirlah sedikit cerita tentang seorang lelaki sederhana yang kupanggil Abi itu. Seseorang yang membuatku lebih perhatian pada ‘memberi’ daripada ‘menerima’. Yang membuatku ingin terus menulis.

Lelaki berusia lima puluh tiga tahun itu amat biasa. Di mata orang kebanyakan, beliau biasa-biasa saja. Pegawai negeri sipil di badan pengawas Kota Bandar Lampung yang sekarang berganti nama menjadi Inspektorat Kota Bandar Lampung. Staf dengan golongan IV/A namun punya banyak pinjaman di bank dan koperasi. Dalam hal pendapatan dan pengeluaran, keluarga kami yang beranggotakan tujuh orang, seorang ayah dan ibu serta kelima anak-anaknya, masih tergolong besar pasak daripada tiang. Besar pengeluaran daripada pendapatan. Tuntutan hidup yang seringkali memaksa orang-orang gelap mata. Memanfaatkan posisi sebagai abdi negara untuk menangguk harta rakyat sebanyak-banyaknya, tidak membuat Abi ikut arus kedalamnya. Padahal tidak jarang banyak yang menawarkan suap saat beliau memeriksa suatu kasus. Beliau tetap teguh dalam pendiriannya. Berjalan lurus meski tak bergelimang harta. Terus mengajarkan kami hidup sederhana, mencari nafkah dari jalan yang halal.

Sejak dulu, Abi tidak pernah henti bekerja keras. Istirahat hanya saat tidur di malam hari. Sepulang dari shalat subuh di masjid dekat rumah, beliau akan menyalakan televisi untuk mendengarkan ceramah di televisi lokal. Setelahnya pergi ke kebun depan rumah, atau ke kolam belakang rumah, mengerjakan apa saja. Lantas pergi kerja pagi sampai siang hari, terkadang sampai magrib kalau ada tugas keluar. Sepulangnya langsung ke kebun atau ke kolam, lagi-lagi mengerjakan apa saja. Tidak heran kalau fisiknya terlihat kurus tapi kuat, kulitnya hitam, di wajahnya nampak guratan-guratan letih simbol perjuangan yang tak henti.

Bagiku. Abi sangat luar biasa. Sorotan matanya, senyuman langkanya, kata-kata bijak yang juga langka, setiap peluh yang menetes dari tubuhnya, adalah sumber energi semangat yang tidak pernah lekang. Abi adalah seorang ayah yang tiap jejak langkahnya selalu menginspirasiku. Seorang ayah yang memberikan kasih, sayang, juga cintanya sebanyak udara yang ingin kuhirup. Tanpa kata dia mencintai, tanpa kata dia menyayangi. Beliau selalu mengajarkan dengan contoh, jarang dengan kata-kata. Termasuk mengajarkan betapa memberi adalah kekuatan luar biasa, kebahagiaan tak terkira. Abi sama sekali tidak pernah mengatakan itu, tapi itulah yang kubaca dari apa yang beliau lakukan selama hidupnya.

Semangatnya untuk terus memberi sering sekali membuat kami, keluarganya, heran dan sulit mengerti. Seperti waktu itu, di tahun 2004, saat aku naik ke kelas tiga SMA. Kakak perempuanku satu-satunya telah lulus SMA dan akan melanjutkan kuliah. Selain itu, adik perempuan yang tepat dibawahku akan masuk SMA, adik laki-lakiku akan masuk SMP. Disamping masalah pinjaman yang cukup menumpuk, usaha sampingan budidaya ikan gurame dan ikan patin yang tidak membuahkan hasil. Keadaan ekonomi yang memburuk itu memaksa Abi untuk menjual rumah kami satu-satunya. Rumah yang dibangun dengan penuh perjuangan semasa hidupnya. Lantas akhirnya kami mengontrak sebuah perumahan di dekat rumah lama.  Aku sangat ingat saat itu, beberapa  sanak saudara yang selama ini jarang terlihat, kenalan-kenalan lama yang tidak pernah berkunjung ke rumahku, tiba-tiba datang. Tumben sekali.

Akhirnya aku tahu, mereka datang untuk meminjam uang. Uang dari hasil menjual rumah kami satu-satunya. Tidak sedikit yang mereka pinjam. Satu juta rupiah, lima juta rupiah, bahkan sepuluh juta rupiah. Dengan potongan membayar hutang sana-sini, keperluan daftar ulang kuliah kakakku, biaya bimbingan belajarku, biaya daftar ulang sekolah adik-adikku, biaya kontrakan rumah, dan lain-lain. Sisanya hanya cukup membeli sebidang tanah seluas dan sebidang kolam. Pertanyaannya, bodohkah Abiku? Saat tidak memiliki bahkan sangat-sangat membutuhkan uang, beliau dengan ringan tangannya memberi uang tanpa tambahan ‘bunga’ setelah nanti mereka berjanji mengembalikannya di kemudian hari tanpa jelas hari itu kapan. Aku sama sekali tidak mengerti jalan pikirannya kala itu, bahkan protes meski dalam hati. Kemudian aku tahu, itulah cerminan moto hidupnya,
“Tak punya tapi memberi.”
Moto yang membuat keningku berkernyit saat pertama kali mendengarnya. Bagaimana memberi jika kita sendiri tidak memiliki? Aku belum  mengerti. Tidak bisa mengerti.

Salah satunya kebiasaan memberi Abi adalah kesukaannya menanam. Menanam pohon di pinggir-pinggir jalan, di kebun, bahkan di tanah milik orang lain. Dimanapun ada tanah kosong, Abi akan meminta izin pemiliknya untuk ditanami pohon yang beliau beli sendiri bibitnya di balai pembibitan. Pohon teduh di sepanjang jalan desaku adalah hasil buah karya Abi. Berjejer rapi. Beliau memberi dengan tangannya. Memberi hewan-hewan tempat hidup. Memberi orang-orang yang berjalan payung peneduh. Selain pohon, beliau juga suka menanam tanaman musiman, jagung, singkong, mantang, kacang tanah, pepaya, timun. Mulai dari mengolah tanah, menanam satu persatu, memberinya pupuk, menyiram jika musim kemarau. Kerja penuh seorang petani di sela-sela kesibukannya bekerja. Saat panen, mulailah kami sekeluarga sibuk. Sibuk memanen dan menjualnya ke tetangga-tetangga juga sanak saudara. Dengan harga nol rupiah alias gratis. Abiku memang bukan seorang wirausahawan dunia, tapi beliau wirausahawan akhirat. Aku yakin, keuntungannya saat berniaga dengan Allah adalah keuntungan tak terkira kelipatannya. Aku sangat yakin itu. apalagi saat pertama kali aku membaca hadits ini,
“Tak ada seorang muslim yang menanam pohon atau menanam tanaman, lalu burung memakannya atau manusia atau hewan, kecuali ia akan mendapatkan sedekah karenanya.” (HR Bukhari dan Muslim)

Jadilah dengan penuh kesadaran, aku terus mendapat pelajaran darinya. Terus berusaha lebih dekat dengan memberi. Selalu terkagum-kagum tentang kisah para pemberi. Kebahagiaan mereka saat memberi, kebahagiaan mereka merasakan bahagia si penerima.

Sampai detik ini, aku terus belajar tentang memberi, belajar untuk memberi. Dari apapun, dari siapapun. Tapi lebih banyak dari Abiku. Cerita tentang beliau bukan untuk membangga-banggakannya. Sungguh bukan untuk mengisyaratkan, liat nih bokap gue. Sama sekali bukan. Aku hanya ingin berbagi pengalaman tentang kekuatan memberi, atau bahasa tenarnya the power of giving. Betapa kekuatan memberi juga mampu memberi inspirasi. Setidaknya pengalamanku, aku selalu berusaha mencontoh Abi diam-diam. Aku selalu mengingat-ingat apa yang akan dilakukan Abi jika bertemu dengan kejadian seperti yang aku alami saat orang lain butuh pertolongan. Semampu yang kubisa, akan kuberi. Harapan dan doaku kedepan adalah saat estafet memberi Abi jatuh kepadaku, saat itu kuharap tidak lagi tidak punya. Sehingga moto itu ditanganku berubah. Punya dan memberi Punya banyak dan terus memberi. Semangat memberi!^_^

No comments:

Post a Comment