Friday 12 August 2011

cerpenku: Duh Fandi


Hari yang melelahkan. Aku merebahkan tubuh segera setelah sampai dikamar. Seharian menjadi ketua pelaksana kegiatan bakti sosial BEM di kampus cukup meloloskan sendi-sendiku. Memejamkan mata lima belas menit dulu sebelum mandi, begitu yang kuinginkan. Belum satu menit mata terpejam, tiba-tiba suara panggilan menyebalkan itu membahana seantero rumah. Suara Fandi, adik bungsuku. Fiuh…
“Mbak El…?!” Aku diam, malas menjawab.
 “Mbak El cantik….!!!” Usaha yang bagus.
“Mbak El cuantik buanget!!!” Usaha yang sangat bagus. Panggilan terakhir terlontar tepat saat pemilik suara sampai di depan pintu kamarku. Melongok ke dalam. Menangkap sasarannya sedang tepar di tempat tidur.
Aih, mbak El ini dipanggil-panggil nggak nyahut. Nggak merasa cantik ya? Memang sih Fandi tadi fitnah. Maaf ya mbak. Lain kali nggak diulangi deh. Fandi janji…”
“Stop! Apaan sih. Nggak lihat apa mbak lagi tidur?!!” Potongku sewot. Nih anak memang kebangetan. Pasti sengaja membuatku naik darah. Tawa fandi pecah. Merasa sukses gangguannya berhasil.

Sist. Plis help Fandi dong. Pe er english language ini is so hard you know. Oh really-really menguras tenaga and pikiran. Do you help me?” Fandi kumat ber cas cis cus ala cinta laura. Kebiasannya mencampur aduk bahasa inggris dan indonesia dengan tenses salah fatal. Bagian dari proses pembelajaran, begitu pembelaannya saat aku protes pertama kali. Pembelaan yang kemudian dipuji Ummi. Hidungnya kembang-kempis menyebalkan, alisnya naik turun lebih menyebalkan. Sejak itu Fandi dengan sok fasihnya sering sekali ngomong bahasa inggris.
“Haduh, sudah deh langsung saja ke inti. Mana PR nya!?” Aku menyerah. Bangkit dari tempat tidur lantas mengambil buku dari tangan Fandi.
***
Muhammad Fandi. Anak kelima dari lima bersaudara alias anak bungsu dikeluargaku. Seorang anak berumur empat belas tahun dan duduk di bangku SMP kelas tiga, yang memiliki kepercayaan diri luar biasa. Sialnya, kakak-kakaknya terutama aku, sering menjadi tumbal kepedeannya itu. Tak terhitung seberapa sering aku kesal, tapi ujung-ujungnya menyerah untuk tertawa. Tidak pernah serius marah. Aku akui, adik bungsuku ini sungguh-sungguh seru. Membuat hidup penuh warna. Tidak ada Fandi, ibarat makan sayur asem tanpa ikan asin, ibarat minum teh tanpa soda. Hehe.

Ikut serta dalam jalur pendidikan formal, Fandi sebentar lagi lulus dari SMP. Dan jelas saja, ia pun harus berperang terlebih dahulu untuk dapat lulus. Perang menghadapi ujian nasional. Tidak seperti ujian akhir nasional yang bergiliran pernah dialami oleh kakak-kakaknya. Ujian nasional Fandi adalah ujian yang membuat seisi rumah ketar-ketir. Umi khawatir, Abi harap-harap cemas, keempat kakak-kakaknya ikut tegang. Hanya satu orang yang bersikap biasa-biasa saja, seolah tak perduli. Orang itu adalah Fandi. Ya, orang yang sama sekali tidak terpengaruh dengan lawan perang bernama ujian nasional adalah orang yang akan menghadapi ujian itu sendiri. Fandi jarang belajar di rumah. Jangankan belajar, menyentuh buku saja kadang-kadang. Itu kalau sudah dibujuk-bujuk Umi atau diomeli kami, kakak-kakaknya. Fandi malah tenang-tenang saja. Dengan santai dia bilang,
“Fandi kan sudah belajar di sekolah mi, bimbel juga. Jadi pasti bisa lah ngerjain UN.” Aku yang saat itu sedang ada disana menimpali,
“Ya tapi mbok ya diulang-ulangi lagi di rumah.” Aku berkata santai sambil meliriknya sekilas tanpa melepas konsentrasi pada buku yang sedang kubaca. Fandi mendelik kearahku,
“Mbak El ini payah. Kerja kok dua kali. Sekali kita sudah mengerti, jangan dilupa lagi.”
“Tapi semakin sering diulang semakin mahir. Semakin sering latihan semakin lancar kemampuan kita.” Jelasku diplomatis
“Lancar? Kayak air got saja harus lancar, kalau nggak lancar ya akhirnya mampet.” Fandi nyengir, menyebalkan. Gitu tuh anak kalau dibilangin. Pikirannya kemana-mana.
***
Tidak terasa Ujian Nasional (UN) tinggal menghitung hari. Aku yang terus memantau perkembangan belajar Fandi sangat kesal malam itu, saat melihatnya tenang-tenang menonton televisi, tertawa-tawa menyaksikan program komedi show.
“Fandi! Belajar!!!”
“Nanti.” Jawabnya singkat, tanpa melepaskan matanya dari menatap televisi. Aku yang sudah sangat kesal langsung menarik tangannya paksa.
“Sana belajar! Jangan nonton terus. Ntar mbak adukan ke Umi lho!” Ancamku
Apaan sih mbak, detik-detik menjelang ujian itu adalah waktunya mendinginkan otak. Biar fresh pas ujian.”
“Kamu mah dari dulu didinginkan terus otaknya. Lama-lama beku jadinya. Ayo belajar!”
Dengan malas Fandi berjalan menuju kamarnya. Aku menguntit dari belakang. Ia memaksakan diri duduk di kursi belajarnya. Lima detik kemudian, usahaku cukup berhasil. Fandi sudah sibuk dengan bukunya. Setidaknya bisa bertahan setengah jam kedepan. Fiuh. Susahnya.
***
Akhirnya UN datang juga. Kehadirannya mau tidak mau membuat kami sekeluarga jadi semakin tegang, walaupun lagi-lagi Fandi terlihat sangat santai. Tidur nyenyak, makan teratur, nonton televisi jalan terus, main bola tidak pernah absen setiap sore sepulang dari bimbel. Bahkan sampai hari ini, hari dimana Fandi mau tidak mau harus menghadapinya. Fandi pergi sekolah seperti hari-hari biasa. Yang berbeda hanya kami, anggota keluarganya yang lain, satu-satu mewanti-wanti Fandi. Baca doa dulu sebelum mengerjakan soal, siapkan alat tulis selengkap mungkin, jangan lupa bawa nomor peserta ujian, jangan menyontek, bundarkan jawaban serapi-rapinya, hapus jawaban yang salah sebersih-bersihnya. Yang jadi sasaran cuma nyengar-nyengir sambil sesekali mengangguk-angguk ringan.

Hari kedua dalam periode pelaksanaan UN. Sore itu aku sedang merapikan bunga-bunga euphorbia di halaman rumah. Tiba-tiba Dina, tetangga dekat rumah yang juga teman sekolah Fandi muncul dihadapanku.
“Mbak, Fandi kemana?” Tanyanya langsung sembari ikut membungkuk membantuku membersihkan rumput-rumput yang memenuhi pot bunga.
Nggak tahu. Main bola kayaknya.” Jawabku asal. Tapi sepertinya benar, karena sepuluh menit yang lalu Fandi bisa kabur dari pengawasannya. Dasar tuh anak, sudah tahu besok masih ada ujian. Malah kabur.
Kok dari kemarin-kemarin, Dina sms nggak pernah sampai ya mbak? Teman-teman lain yang juga sms Fandi juga pending. Apa nomornya rusak? Apa hapenya hilang?”
“Nggak kayaknya. Memang sms apa? Penting?” Tanyaku kemudian.
“Penting banget mbak…” Jawab Dina mengambang
“Terus, kenapa nggak tanya tadi pas di sekolah?”
“Ya nggak boleh mbak. Ini kan sangat rahasia. Ntar kalau ketahuan sekolah kami yang jadi tumbal.” Dina menjawab sambil tertawa kecil. Mencurigakan. Aku jadi penasaran.
“Maksudnya? Memang rahasia apaan?”
“Itu loh mbak. Kunci jawaban UN. Sms pilihan ganda langsung dari guru-guru kami. Dikirim malam sebelum ujian. Kan sayang kalau Fandi nggak dapat.”
“Apa?!!!!! Kunci jawaban?????!!!!” Suaraku naik seribu oktaf. Dina menoleh cepat. Kaget dengan kehisterisanku. Ia mengangguk takut-takut. Saat itu mungkin aku terlihat seperti mengenakan kostum hallowen. Menyeramkan. Siap menelannya hidup-hidup.
***
O em ji…. Kunci jawaban? Inikah jawaban atas masalah Fandi selama ini. Sebabnya Fandi tidak pusing-pusing belajar dirumah. Karena ia akan mendapat kunci jawaban. Benar-benar ya, para guru yang budiman di zaman sekarang. Apa yang mereka fikirkan dengan memberi siswa kunci jawaban?! Sekolahnya aman karena semua lulus?! Tapi yang tergadai jauh lebih besar dari itu. Kejujuran siswa! Inilah sebabnya banyak koruptor kelas kakap di negeri ini. Karena justru para guru yang mengajari mereka di kelas teri untuk tidak jujur. Aku sangat marah! Tidak bisa terima. Ingin sekali kutumpahkan kekesalanku. Tentu saja pada Fandi. Ah, percuma nasihat-nasihatku selama ini. Tidak masuk telinga kiri ataupun telinga kanan. Langung dipentalkannya keluar. Belajar! Jujur! Jangan menyontek! Ah, benar-benar percuma!

Saat kepalaku sedang panas-panasnya, aku mendengar suara salam Fandi. Aku langsung menghampirinya, siap menginterogasi.
“Ayo ngaku!”
Ngaku apaan??!”
Ngaku nggak kalau kamu salah?!!”
“Kebiasaan nih mbak El. Memvonis tanpa penjelasan. Kasih pendahuluan dulu, tinjauan pustaka, baru kemudian isi dan pembahasan.” Di saat-saat seperti ini, Fandi masih saja bercanda.
“Kamu dapat kunci jawaban kan?” Tuduhku langsung tanpa ba bi bu
“Kunci jawaban apa?”
“Ujian nasional! Tadi Dina bilang dia sms kamu, kirim kunci jawaban. Langsung dari gurunya!” Aku tidak menurunkan nada bicaraku. Sangat marah.
“Terus sampai nggak smsnya?” Fandi memandangku sebal
Nggak. Katanya pending!”
“Tuh, berarti Fandi nggak baca. Nggak tahu isi smsnya.”
“Maksudnya?!”
Hape Fandi nggak aktif, mbak. Jadi sama sekali nggak baca sms.”
“Kenapa? Rusak?” Nada bicaraku turun drastis. Melunak.
Nggak. Sengaja dinonaktifkan.”
“Sengaja?”
“Iya. Fandi sudah dengar isu sms kunci jawaban itu sebelum UN. Malah salah satu guru bilang langsung ke Fandi. Waktu Fandi bantu membawakan buku ke ruangan beliau. Makanya h min satu UN, Fandi sengaja nonaktifkan hape. Supaya nggak tergoda. Mbak El kan yang bilang, sampai berbusa-busa. Jujur. Jujur. Jadi orang jujur susah. Percuma lulus ujian nasional tapi tidak lulus ujian kejujuran. Apa jadinya negeri ini nantinya, kalau generasi pewarisnya membudayakan ketidakjujuran di sekolah. Mbak El juga bilang…”
Duh…kata-kata Fandi bagai satu drum air dari Kutub Utara terbang ke Gurun Sahara. Tidak hanya menyejukkan tapi membuatku menggigil. Tak kutunggu Fandi sampai selesai bicara, dengan cepat kupeluk dia secara paksa. Yang menjadi korbanku megap-megap meminta pertolongan. Aku tidak perduli. Aku sangat terharu. Walau seperti apa jahilnya Fandi, ternyata dia masih mendengarkan tiap kata-kataku. Bahkan mampu diulangnya sama persis. Aku tidak mampu menahan airmataku. Tidak perduli, meskipun pasti diolok-olok Fandi.
“Mulai deh telenovelanya. Sok mellow banget sih mbak. Pake nangis segala. Ini apaan lagi. Lepasin geh!” Fandi berteriak-teriak meronta. Aku tidak menggubris olokannya. Kali ini kepedean Fandi sangat membuatku bahagia. Duh, Fandi…
***
 (dimuat dalam antologi Serba-serbi Ujian Nasional bersama Tri lego dkk)

No comments:

Post a Comment