Tuesday 29 July 2014

Tentang cinta -----> Frozen & Brave

Ada jarak yang memisahkan kita
Mungkin tampaknya tersebab olehmu
Tapi tidak, ini karenaku
Memaksamu
Membuatmu tak memiliki pilihan
Menjauh dan merahasiakan
Apa yang lebih pedih dari merindu namun berpura-pura acuh, sayang?



Siapa bilang cinta hanya untuk mereka yang sedang dalam suasana merah jambu? Setelah Disney selalu menyajikan cinta sepasang putri-pangeran bertahun-tahun. Mulai dari cinta cinderella, putri salju, rapunzel, aladin, dst. Akhir-akhir ini Disney menghadirkan cinta berbeda. Lebih indah. Lebih mengharukan. Ah, airmata ini menitik kala menikmati dua film, Frozen dan Brave.

Kalau Frozen berkisah tentang cinta kakak beradik. Brave berkisah tentang cinta ibu dan anak gadisnya. Ok. Satu persatu ya.

Frozen. Ah, cinta kakak adik adalah cinta dalam diam. Siapa yang tidak pernah bertengkar dengan kakak atau adik? Tapi siapa yang tidak merindu dengan kakak atau adik saat berjauhan? Pada siapa lidah kelu jika mengucapkan selamat ulang tahun secara langsung? Pada siapa yang enggan menanyakan kabar apakah kau baik-baik saja disaat berjauhan? Cinta pada saudara. Pada kakak. Pada adik. Adalah cinta dalam diam. Tidak perlu ucapan. Tidak perlu manisan kata. Cinta itu tumbuh seiring keluarnya kita pada rahim yang sama.

Airmata saya berjatuhan saat Anna, sang adik mengajak kakaknya, Elsa bermain. Elsa di dalam kamar berpura-pura dingin. Padahal ia sendiri dingin oleh rindu bermain. Beruntung, saya memiliki masa kecil yang indah bersama keempat saudara kandung saya. Apa rasanya kesepian sedangkan kakakmu berdiam diri di kamar tanpa kamu tahu alasannya apa? Lebih lagi, apa rasanya kesepian menanggung perasaan bersalah, rahasia, dan rindu yang menggebu pada adik tersayang?

Itulah kisah Frozen. Kisah yang berakhir amat manis. Ketika percayanya sang adik pada cinta sang kakak. Ketika sang kakak hanya mengkhawatirkan keadaan sang adik. Happy ending. Sebab cinta kita, kakak. Yang menghilangkan jarak bertahun-tahun lamanya.


Brave. Merida adalah sosok putri yang paling saya idolakan. Dia tidak anggun atau feminim. Ia begitu bebas, bebas, dan bebas. Memanah, berkuda, layaknya seorang kesatria. Merida dituntut bersikap layaknya sang putri oleh ibunda. Dalam kisah ini, tidak ada sosok antagonis berarti. Merida memiliki hak menjadi apa ia kelak. Namun ibunda tak bisa disalahkan ingin menjadikan Merida sosok putri seutuhnya.

Ending film Brave lagi-lagi membuat airmata saya berjatuhan. Ah, sungguh. Cinta seorang ibu, adalah cinta sejati yang sebenarnya. Merida menyadari kekeliruannya menilai ibunda saat ia tak sengaja membuat ibunya berubah menjadi seekor beruang. Cinta seorang ibu, membuat Merida tak putus asa melakukan segala cara agar ibunya kembali berubah menjadi manusia. Akhir yang amat manis, saat Merida jalan-jalan menaiki kuda bersama Ibunda. Ibu yang kini memahami pilihan sang anak. Anak yang memahami cinta sang ibu.

Monday 16 June 2014

Kebaikan Onil


“Hoek! Bau apa ini?!” teriak Rae si rusa kaget. Bau busuk tiba-tiba tercium hidungnya
“Hoek! Iya nih! Bau sekali!” Zee si Zebra ikut-ikutan berteriak. Zebra-zebra lainnya juga mencium bau yang sama.
“Kamu buang angin ya?”
“Enak saja! Kamu tuh yang buang angin!”
Mereka saling menyalahkan.

Tiba-tiba ada yang muncul dari permukaan sungai. Itu Onil si Kuda nil yang sejak tadi asyik berendam.
“Maaf ya teman-teman, aku yang buang angin.” ujar Onildengan santai. Ia bahkan kembali buang angin. Onilmembuka mulutnya lebar-lebar. Saking lebarnya, satu ekor rusa tentu bisa masuk ke dalam mulutnya itu. Dan, olala tercium kembali bau busuk itu.
“Kamu ini jorok sekali kuda nil!” ujar Zeekesal
“Iya, masa buang angin dari mulut!” Raemenambahi
Onil hanya menyengir lebar. Memang kenyataannya begitu. Semua kuda nil memang buang angin dari mulut.
“Tempat kamu makan kok sama dengan tempat buang angin? Huek! Mengerikan!” ejek Rae sambil tertawa
“Ahahahaha! Ahahahahaha!” Zee dan semua zebra ikut tertawa
Onil menjadi malu sekali. Rasanya ingin sekali ia menangis.
“Lihat dong, Onil berkaca-kaca. Sebentar lagi menangis tuh. Hahahaha. Badan besar tapi menangis seperti bayi. Hahahaha.”
Mereka sudah keterlaluan. Onil ingin sekali mengejar dan memberi mereka pelajaran dengan satu serudukan. Tapi Onil tahu, kalau itu ia lakukan. Mereka akan mati. Onilbukan hewan jahat. Ia memilih diam dan pergi. Onil menuju sungai yang lebih dalam untuk berendam.
Berendam sangat mengasyikan. Onildapat melupakan kejadian tidak menyenangkan tadi. Walaupun memang benar ia buang angin lewat mulut. Tapi mereka juga tidak bisa mengejeknya seperti itu. Ah sudahlah, lupakan saja.
Onil sedang asyik berendam, saat ia mendengar jeritan minta tolong,
“Tolong!”
Bukankah itu suara Rae?
“Tolong kami!”
Bukankah itu suara Zee tan teman-temannya? Ada apa dengan mereka?
Onill tak menunggu lama. Ia bergegas keluar dari sungai dan berlari ke arah suara jeritan. Tampak olehnya seekor Harimau mengejar Raedan rombongan Zee yang berlari kocar-kacir.
Onil dapat berlari cepat meskipun tubuhnya amat besar. Sekuat tenaga ia mengumpulkan nafas. Dan,
Hoaaaa....!
Onil buang angin lewat mulutnya. Tepat di depan wajah Harimau. Seketika Harimau itu kaget dan pingsan.
Rae dan rombongan Zee jatuh tersungkur kelelahan. Mereka masih kaget dengan kejadian yang baru saja terjadi. Hampir saja salah satu dari mereka menjadi santapan Harimau. Ternyata Onil buang angin dari mulut itu ada gunanya juga.
“Terima kasih Onil,” ucap Rae terbata-bata. Ia masih lemas ketakutan.
“Maafkan kami ya. Kami sudah mengejekmu tadi. Tapi kamu justru menolong kami,” ujar Zeesambil menangis.
“Maaf ya Onil!” mereka semua meminta maaf dengan tulus.

Onil mengangguk dan tersenyum lebar. Membalas keburukan dengan kebaikan itu menyenangkan sekali ya?

(Lampung Post, 15 Juni 2014)

Sunday 15 June 2014

Family Entertraining ----> Muhammad Teladanku

Teladan terbaik. Manusia terbaik. Pemimpin terbaik. Dialah Muhammad SAW. Sirah beliau harus selalu kita baca, pelajari, tanamkan dalam diri untuk meneladani. Sajian lengkap teatrikal, musik, lagu, dan sirah Muhammad SAW yang disampaikan dengan penuh penghayatan. Sajian dari hati. Menyentuh sekali.

Insyaallah, akan kumulai menjadi keluarga pencinta rasul. Yang dalam setiap langkah terus meneladani dan menularkan keteladanan pada generasi penerus islam.


Nice qoute: Jadilah seperti JEMBATAN. Jembatan antara masa lalu yaitu sirah rasulullah dengan masa depan yaitu masa generasi sekarang. sebuah jembatan tidak tahu apa yang terjadi di masa lalu atau pun masa depan. Tapi ia tahu, siapa saja yang berjalan diatasnya.

Bismillahirrahmaanirrahiim ;)

Wednesday 11 June 2014

Al Farabi

Tidak terasa, anak-anakku. Satu tahun sudah berlalu. Rasanya baru kemarin bertatap muka dengan kalian untuk pertama kali. Satu dua malu-malu bersembunyi di belakang umi. Satu dua duduk rapi di hari pertama sekolah. Waktu itu, bu Hanum tertawa geli. Di sekolah kita, tidak ada istilah bangku milik siapa. Setiap hari berganti-ganti.

Ah, rasanya baru kemarin nak. Bu Hanum dan bu Nining mencoba menghapal nama kalian satu persatu. Memahami diri kalian. Mendekat dari hati. Meminta kalian satu persatu membaca buku cerita. 13 dari kalian belum lancar membaca dan menulis. Dan kini, bahagia itu nak. Mendengar kalian membaca dengan lancar. Melihat kalian menulis dengan baik sekali. Itu kebahagian yang tak terkira ;)







Ada kenangan yang tak mungkin dapat Bu guru lupa. Dari anak-anak kelas 1 Al Farabi yang membanggakan. Menghitung hari, nak. Kalian akan menginjak kelas 2. Terus melangkah. Menyongsong masa depan. Semoga cita-cita kalian yang sering diucap sembari melompat dan mengucap takbir. Benar-benar diijabah Allah SWT. Aamiin.

Mengenang kembali, yel-yel kelas 1 Al Farabi:

"Cita-cita setinggi angkasa
Slalu semangat juga ceria
Rajin belajar tak lupa berdoa
Itu kami anak sholeh dan sholehah

Kami ada di kelas paling oke
AL FARABI
Kami ada di kelas paling pede
AL FARABI

Menuntut ilmu pantang menyerah
Agar dapat menggapai cita-cita
Di akhirat mendapatkan surga"

AL FARABI!
SMILE
S  - Smart
M - Mandiri
I   - Islami
L  - Luar biasa
E  - Energik

AL FARABI!
ALLAHU AKBAR!!

Serial Simbiosis :)



Tuesday 10 June 2014

Hari Baru Rosta

Rosta kurcaci terlihat lesu sepulang dari kebun anggur. Langkahnya gontai. Tak ada senyum di wajahnya. Tak ada lagu-lagu riang yang biasa ia nyanyikan sepanjang jalan.
“Rosta? Kau baik-baik saja?” tanya Odi kurcaci, tetangganya.
Rosta tak menjawab. Odi mengikuti Rosta berbelok ke rumah jamurnya.
“Ada apa denganmu, Rosta? Kau sakit??!” tanya Odi lagi.
Rosta menoleh. Ia baru menyadari keberadaan Odi.
“Sakit? Aku tidak sakit.” jawab Rosta pelan.  Ia duduk di teras rumah. Odi ikut duduk di sebelahnya.

 “Semangatku hilang, Odi. Tidak tahu apa sebabnya.” ujar Rosta lesu. Ia menghela nafas panjang. Akhir-akhir ini Rosta merasa semangatnya menghilang entah kemana.
“Mungkin kau hanya bosan, Rosta.” tebak Odi.
“Bosan?”
“Ya. Bosan dengan rutinitas yang sama setiap hari.” ujar Odi yakin. Rosta menatapnya tak mengerti
“Kau selalu melakukan hal sama bukan? Bangun tidur. Mandi. Pergi ke kebun. Pulang. Istirahat. Esoknya seperti itu lagi.”
Rosta mengangguk.
“Coba lihat penampilanmu. Dari topi, baju, celana, bahkan sepatu selalu berwarna merah. Lihat juga, ujung topimu selalu menggelayut ke arah kanan. ” ujar Odi sembari tertawa.
Rosta tersenyum tipis. Hm, mungkin Odi benar. Semangatnya hilang karena ia bosan.
 “Cobalah sesuatu yang berbeda, Rosta. Semoga semangatmu bisa kembali.” saran Odi.
Keesokan harinya. Rosta memutuskan untuk mencoba saran Odi. Saat bangun tidur, Rosta tak lekas mandi. Ia membuka jendela kamar. menghirup nafas dalam-dalam. Udara segar terasa masuk ke rongga hidungnya. Senyum Rosta mengembang saat melihat ke luar jendela. Ia baru tahu, bunga lily yang ditanamnya sebulan yang lalu, kini sudah bermekaran indah.
Setelah mandi, Rosta memutuskan untuk memakai pakaian baru berwarna biru. Sebenarnya bukan baru. Pakaian itu hadiah Odi saat ia berulang tahun tiga bulan lalu. Tak lupa, ujung topinya dibiarkan Rosta menggelayut ke kiri.
“Kau tampil berbeda hari ini, Rosta. Tampak lebih segar dengan warna biru.” sapa Odi sumringah.
“Sesuai saranmu, Odi.” jawab Rosta tersenyum malu mengingat hadiah dari Odi yang baru dipakainya.
“Baiklah Rosta. Selamat memulai hari baru,” sahut Odi sembari berlalu.
Rosta memilih jalan berbeda menuju kebun anggur. Tidak ke arah kiri melewati rumah-rumah jamur yang berjejer rapi seperti biasanya. Tapi ke arah kanan melewati kebun kopi yang sejuk dan asri. Rosta kembali menghirup nafas dalam-dalam. Ah! segarnya. Senyum Rosta kembali mengembang.
Tak lama, Rosta melewati sungai kecil. Dilihatnya dua kurcaci cilik berlari-lari tak sabar menuju jembatan. Itu si kembar Lola dan Lota. Keduanya tampak berdiri di sisi kanan jembatan.
“Aku bisa mendapat nilai terbaik!” teriak Lola sambil melempar sesuatu ke dalam sungai.
“Aku bisa mendapat nilai paling baik dari yang terbaik!” teriak Lota tak mau kalah. Mereka lantas tertawa bersama-sama.
 “Apa yang sedang kalian lempar, kurcaci-kurcaci cantik?” tanya Rosta penasaran.
“Oh, ini koin harapan, Paman Rosta. Hanya main-main. Tapi bisa membuat kami lebih semangat menghadapi ujian sekolah hari ini.”jelas Lota antusias.
Koin harapan? Lola menyodorkan sekeping koin berwarna perak itu pada Rosta. Sepertinya menarik untuk dicoba.
“Semangatku bisa kembali!” teriak Rosta sambil melempar koin itu. Lola dan Lota tertawa. Rosta pun ikut tertawa. Sudah lama ia tidak tertawa lepas seperti itu. Tiba-tiba Rosta merasa bahagia dan bersemangat.
Rosta melanjutkan perjalanan. Langkah kakinya lebih cepat dan mantap. Senyumnya mengembang lebih lama.
Rosta hampir sampai di kebunnya, saat melihat pelangi muncul tiba-tiba. di sela-sela pohon pinus. Pelangi itu berbentuk seperti tangga. Tampak sesosok peri berlari lantas terbang kearahnya.
 “Hei, kau Rosta kurcaci, bukan?” tanya peri itu tiba-tiba.
“Oh, hei! Peri Tosca?!” ucap Rosta terkejut. Sudah lama sekali ia tidak bertemu dengan peri baik hati yang pernah ditolongnya itu.
“Akhirnya aku menemukanmu, Rosta. Esok lusa, aku akan dilantik menjadi salah satu peri pelangi. Aku ingin mengundangmu ke negeri pelangi. Kuharap kau bisa datang. Kau ingin sekali melihat sungai warna yang terkenal itu bukan?  Kau harus datang, Rosta! Akan ada jembatan pelangi disini untuk membawamu kesana.” ujar peri Tosca panjang lebar.
“Tentu saja aku akan hadir, Peri!” jawab Rosta bahagia bukan main.
Semangat Rosta kini benar-benar kembali. Senyumnya melebar. Ia berlari-lari kecil sambil bernyanyi riang. Sampailah Rosta di kebun anggur. Di kebun sebelah, Bibi Selestia sedang memetik jamur. Rosta menegurnya dengan riang.
“Selamat pagi, Bibi Selestia.”
“Oh, selamat pagi Rosta. Aku nyaris tidak mengenalimu dengan warna biru. Kau terlihat lebih tampan.” ucap Bibi Selestia sambil tertawa. Rosta ikut tertawa mendengarnya.
Sekarang Rosta tahu, apa yang harus dilakukan jika semangatnya menghilang lagi. Cobalah hal baru dan berbeda.

***
(Dimuat di Majalah Bobo edisi 22 Mei 2014)

Tuesday 3 June 2014

Mimpi-mimpi yang Menyata



A.S.A

Ada asa yang kian membumbung kala suara terdengar menggebu.

Aku suka semangatmu cinta

juga lembutmu yang kurangkai menjadi senyum

terima kasih sudah membersamai waktu

kan selalu kutunggu :)

Friday 23 May 2014

Rahasia Aisya

“Mama, tahu tidak? Ibunya Aisya kabur dari rumah!” Sarah bersemangat memberitahu mama yang sedang asyik membaca buku di teras rumah.
“Sarah, sejak kapan kamu belajar bergosip?” Mama melirik Sarah tak suka.
Ih Mama. Ini benar, ma. Sarah dengar sendiri dari ibu-ibu tetangga RT sebelah.” Sarah masih bersemangat menjelaskan. Tapi Mama terlihat tidak antusias mendengar berita heboh ini. Huh! Padahal sepanjang jalan tadi, Sarah sudah tak sabar ingin menceritakan kabar ini pada mama.

“Mau benar. Mau salah. Ngomongin orang lain alias bergosip itu tetap tidak baik.” Mama kembali asyik membaca buku. Dengan malas, Sarah masuk kedalam rumah.
“Menguping pembicaraan orang lain itu juga tidak baik, Sarah.”
Ah, Mama tidak asyik!” Sarah menyahut kecewa.
***
“Ibunya Aisya kabur dari rumah?! Orang tuanya bertengkar hebat?!” Rahmi bertanya kaget saat mendengar kabar itu dari Intan. Susi disebelahnya antusias mendengarkan. Sedangkan Sarah ikut-ikutan mengangguk, membenarkan.
“Iya! Itulah alasannya mengapa kemarin dan hari ini Aisya tidak masuk sekolah.” Intan menjawab sok yakin. Ia terlihat semangat sekali.
Kabar itu dengan cepat menyebar ke seisi kelas. Kasian sekali Aisya. Akan tetapi selama ini Aisya anak yang sombong. Mentang-mentang anak orang kaya. Rumah Aisya memang paling bagus di kompleks pemukiman yang juga tempat tinggal Sarah dan Intan. Selama ini Aisya selalu diantar ayahnya dengan mobil, setiap pergi sekolah. Aisya juga pendiam.
“Mungkin saja orangtua Aisya akan bercerai karena bertengkar.” Intan kembali menyimpulkan sok yakin. Sarah dan teman-temannya terlihat semakin kaget.
Benarkah orangtua Aisya akan bercerai? Seperti artis di tivi-tivi? Artinya orangtua akan berpisah? Kasihan sekali Aisya.
***
“Ma, katanya orangtua Aisya bercerai. Apa iya ya, ma?”
Mamah mendelik kearah sarah yang belum juga masuk kamar berganti pakaian sekolah.
“Sarah, Mama kemarin bilang apa? Tidak baik membicarakan orang lain. Itu aib keluarga. Apalagi Aisya kan teman sekolah kamu. Satu kelas lagi.”
“Sarah kan cuma bertanya. Kenapa tidak baik?”
“Itu sama saja dengan menggosip. Menggosip itu tidak baik.”
“ Maksudnya bagaimana sih, ma?” Tanya sarah tidak mengerti
“Mama ambil contoh ya. Sarah kan walaupun sudah kelas 3 SD, masih juga takut tidur sendirian. Masih minta dikeloni mama kalau mau tidur. Masih juga makannya minta disuapkan. Belum lagi masih sering ngompol.”
Rona wajah Sarah memerah mendengarnya, “Ih mama. Kok malah ngomongin Sarah sih?”
“Nah, Sarah saja tidak suka kejelekannya Mama bahas kan? Padahal cuma Sarah sendiri yang mendengar. Coba kalau berita ini tersebar di sekolah. Sarah malu kan?” Tanya Mama
“Ya malu banget, ma.” Jawab Sarah cepat
“Nah, Aisya juga pasti malu kalau masalah keluarganya dibicarakan teman-temannya.”
Sarah mengangguk-angguk paham. Mama benar. Mulai besok Sarah tidak ingin membicarakan masalah keluarga Aisya. Kasihan Aisya. Aisya pasti malu sekali. Walaupun selama ini Aisya terlihat sombong. Tapi tetap saja Aisya teman Sarah kan?
***
“Sarah, kamu sudah dengar kalau Aisya masuk rumah sakit?” Intan membawa kabar pagi itu. Sarah tersentak. Masuk rumah sakit? Aisya sakit apa?
“Mungkin karena orangtuanya bertengkar. Saling lempar barang dan mengenai Aisya. Aisya terluka. Dan masuk rumah sakit deh.” Terang Intan lagi-lagi sok tahu.
Hus! Intan keseringan nonton sinetron.” Protes Sarah galak.
Sarah ingat obrolan dengan mama kemarin. Sarah sudah berniat tidak membicarakan Aisya lagi. Teman-teman yang lain juga seharusnya tidak boleh. Tapi bagaimana memberitahunya ya? Saat Sarah sedang berpikir keras. Bel masuk sudah berdering. Hari ini pelajaran agama. Ibu lina, wali kelas mereka yang mengajar.

 “Anak-anak, sebelum memulai pelajaran. Ibu ingin menyampaikan satu hal. Nanti siang sepulang sekolah kita akan menjenguk Aisya. Aisya masuk rumah sakit sejak dua hari yang lalu.” Seisi kelas hening mendengarkan.
“Ibu perhatikan, kalian terus saja membicarakan Aisya. Belum tahu berita sebenarnya. Sudah ribut ini itu.” Seisi kelas masih hening.
“Siapa yang mendengar kabar orangtua Aisya bertengkar?”
Tidak ada yang menjawab. Semua murid menunduk dalam-dalam.      

“Berita sebenarnya, malam itu orangtua Aisya panik karena Aisya tiba-tiba pingsan. Ibunya menangis dan menjerit keras. Ayahnya sibuk menelepon rumah sakit dengan suara keras karena sangat panik. Aisya selama ini sedang sakit. Makanya Aisya terlihat pendiam dan jarang bermain. Karena Aisya memang tidak boleh terlalu lelah.” Ibu Lina menjelaskan panjang lebar.

 Seisi kelas hening. Ternyata dugaan mereka selama ini salah. Sarah sangat menyesal. Intan juga. Teman-teman sekelas mereka juga. Mereka berjanji akan meminta maaf kepada Aisya. Mereka juga berjanji akan menjadi teman yang baik bagi Aisya.

Jujur dan Pak Mujur

 “Kalau kalian mau mujur seperti bapak, jadilah orang yang jujur,” begitu pesan pak Mujur.  Pesan yang karena terlalu sering diucapkan, Faris dan teman-teman menganggapnya seperti angin lalu saja.
Namun hari itu, saat pak Mujur kembali berpesan,” kalau kalian mau mujur seperti bapak, jadilah orang yang jujur.”
Faris tertarik bertanya,“maksudnya bagaimana pak?”

“Maksud bapak, orang jujur itu pasti beruntung. Kalian mau mendengar cerita tentang bapak yang mujur karena jujur?” tanya pak Mujur sambil tersenyum
“Mau pak!” sahut anak-anak kompak. Sepertinya ini akan menarik.
“Sewaktu bapak akan lahir, ibunya bapak hendak dibawa oleh tentara penjajah bersama dengan belasan ibu-ibu lainnya. Waktu itu masih zaman penjajahan belanda. Saat ibu-ibu ditanya satu persatu, apakah mereka bisa membaca. Mereka berpikir yang tidak bisa membaca yang akan dibawa paksa.Banyak warga yang berbohong agar bisa pulang ke rumah. Ibunya bapak menjawab dengan jujur kalau ia tidak bisa membaca.” Pak Mujur berhenti sejenak.
“Akhirnya justru yang tidak bisa membaca yang ditinggalkan dan dapat kembali pulang ke kampung halaman. Karena saat itu tentara penjajah membutuhkan warga yang bisa membaca. Tak lama setelah tentara penjajah pergi.  Bapak lahir. Karena itulah bapak diberi nama mujur.” Terang pak Mujur sambil tertawa.
Setelah bercerita, kembali pak Mujur berpesan,“kalau kalian mau mujur seperti bapak, jadilah orang yang jujur. Termasuk tidak mencontek saat mengerjakan tugas. Apalagi saat ujian.”
“Iyaaa paaak!” jawab Faris dan teman-temannya kompak.
Namun pesan pak Mujur hanya sekedar pesan. Lihat saja seharian ini, Faris dan teman-temannya sibuk membuat kode-kode khusus saat ujian akan berlangsung.
“Kalau satu jari yang menunjuk berarti jawabannya a. Kalau dua jari berarti b. begitu seterusnya,” serius sekali Rafif menjelaskan. Faris dan kelima teman yang lain mengangguk-angguk paham.
Saat mereka sedang serius seperti itu, Bayu datang menghampiri.
“Teman-teman, kalian tahu apa yang kutemukan tadi? hari ini kita beruntung sekali,” sorak Bayu senang.
Faris dan teman-temannya segera mengerubungi Bayu. Bayu mengeluarkan secarik kertas dari saku bajunya. Terlihat huruf-huruf a, b, c, dan d berbaris rapi. Seketika wajah-wajah mereka berbinar.
“Jawaban ujian?!” tanya mereka kompak.
Bayu mengangguk mantap. Seperti mendapat durian runtuh, mereka semangat sekali mengerjakan ujian matematika hari itu. Selama ujian berlangsung, Faris dan teman-temannya sesekali melirik dan tersenyum satu sama lain. Sebelum ujian dimulai, mereka sempat menyalin jawaban dari secarik kertas itu. Tak butuh waktu lama untuk memindahkan jawaban demi jawaban dari secarik kertas itu.
Karena sangat yakin dengan jawaban dari secarik kertas, Faris dan teman-temannya sama sekali tidak membaca soal dan mengecek kebenaran jawabannya. Mereka baru membacanya setelah ujian selesai dan lembar soal boleh dibawa pulang.
“Soal pertama, 34 x 17. Kok jawabannya a. Seharusnya b. Coba kalian cek lagi.” ujar Faris sambil menghitung perkalian itu dibukunya.
Rafif tertarik ikut menghitung. Seketika wajahnya berubah menjadi cemas.
“Iya, Ris. Seharusnya b bukan a.”
Yang lain ikut menghitung. Kenyataan baru mereka sadari. Jawaban dari secarik kertas itu bukanlah jawaban soal matematika tadi. Dari sepuluh soal yang tergolong mudah. Hanya satu yang jawabannya benar. Faris dan teman-temannya menjadi panik.
“Bagaimana ini? kamu mendapat kertas itu dari mana, Yu?” tanya Reno cemas. Mereka semua terlihat cemas.
“Aku menemukannya di dekat pintu kamar mandi,” jawab Bayu lemas.
Mereka tidak bisa berkata apa-apa lagi. Nasi telah menjadi bubur. Mereka lebih memilih menyontek daripada mengerjakan soal itu sendiri. Benar-benar tidak mujur. Faris seketika teringat pesan dari pak Mujur.
“Kalau kalian  ingin mujur seperti bapak, jadilah orang yang jujur.”

Yang terjadi hari ini sebaliknya. Karena saat ujian tidak jujur, hasilnya terancam hancur. Faris dan teman-temannya sama sekali tidak mujur.

Donat untuk Dona

“Ada lagi.” Dona bergumam pelan.
Diambilnya sebuah donat keju dari laci meja. Ini kali ketiga selalu ada donat keju di dalam laci mejanya. Siapa yang sengaja menaruhnya disini? Siapa yang tahu kalau akhir-akhir ini Dona memang suka donat keju?
Awalnya tepat sepekan yang lalu. Dona membeli donat yang pertama kali terlihat di kantin. Setelah merasakannya, Dona menjadi amat suka. Donat itu berbeda dengan donat yang lain. Rasanya lebih gurih dan empuk. Akan tetapi, Dona tidak bisa setiap hari membeli. Tidak setiap hari Dona diberi ibu uang saku. Kalau ibu ada kelebihan uang saja dari hasil panen sayur di kebun.

Dua hari kemudian, ibu memberi uang saku. Dona riang sekali. Seharian ia tersenyum. Meskipun seperti biasa, Dona tidak pernah mau mengobrol dengan siapapun di kelas. Ia anak yang sangat pendiam. Hari itu, Dona bisa tersenyum senang sepanjang hari.
Saat bel istriahat berbunyi, Dona bergegas mengambil tongkat penyangga kakinya. Dona butuh itu karena belum dapat berjalan normal. Sudah dua bulan kaki kirinya harus di gips. Karenanya, Dona tidak bisa berjalan dengan leluasa. Apalagi berlari. Dona menjadi amat sedih saat dilihatnya tempat donat yang sudah kosong. Donat keju habis terjual. Ingin sekali ia menangis. Sejak pagi tadi ia menginginkannya.
Dona berjalan tak bersemangat ke kelas. Tak sengaja ia merogoh laci meja mencari buku tulisnya. Saat itulah Dona menemukan sebuah donat. Donat keju. Persis dengan donat yang dijual di kantin. Waktu itu Dona tidak banyak pikir. Ia langsung  melahapnya.
Begitulah sampai hari ini. selalu ada donat di dalam laci meja Dona. Mau tidak mau Dona menjadi penasaran. Siapa yang membelinya? Siapa yang menaruhnya disini?
Dona sedang memikirkan itu, saat Naya masuk dan tersenyum padanya. Dona diam saja, tidak membalas senyum. Naya anak baru di kelas Dona. Mereka bahkan satu bangku. Tapi Dona sama sekali tidak menggubris Naya semenjak ia masuk sepekan ini.
Dona memang tidak ingin dekat dengan siapapun di kelas ini. walaupun bu Leni selalu berkata agar semua murid di kelas dapat berteman dengan baik. Dona benar-benar tidak ingin melakukannya. Dona sebenarnya tidak sombong. Hanya saja ia minder. Selain karena merasa orangtuanya bukan dari kalangan orang kaya seperti orangtua teman-temannya. Dona juga merasa fisiknya tidak seperti mereka.
“Kamu sudah mengerjakan pr matematika, Na?” tanya Naya padanya
Dona hanya menggeleng malas, ia masih memikirkan siapa yang memberinya donat keju setiap waktu istirahat. Sepertinya Dona harus mencari tahu.
Keesokan harinya saat istirahat. Dona pura-pura ke kantin. Sebenarnya ia ingin mengintip dari jendela kelas. Tak lama, terlihat seseorang masuk ke dalam kelas. Dona melihat dengan jelas siapa orang itu. Naya! Naya terlihat mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Lalu diletakkannya di dalam laci meja Dona.
Tak menunggu lama, Dona masuk ke dalam kelas. Naya agak kaget melihatnya.
“Eh, Dona,” ucap Naya
“Jadi kamu yang selama ini menaruh donat di laci mejaku?” tanya Dona
Naya mengangguk pelan. Ia mencoba untuk tersenyum.
Mengapa?” tanya Dona
“Aku tahu kalau kamu suka donat buatan ibuku. Sebenarnya aku ingin memberi langsung, tapi urung,” jawab Naya pelan
Donat buatan ibunya Naya? Dona baru mengetahui hal itu.
“Ini namanya donat keju sukun. Karena terbuat dari buah sukun,” terang Naya sambil tersenyum lebar
Dona masih diam. Tidak berkata apa-apa
“Ibuku penjual donat. Setiap pagi aku membawa jualan ibuku ke kantin. Lumayan untuk menambah uang saku. Setiap hari ibu memberiku bekal dua buah donat keju.” Jelas Naya kemudian.
Dona menyadari satu hal. Walaupun masih baru dan bukan berasal dari keluarga kaya, Naya bisa bergaul dengan baik bersama teman-teman lainnya. Tidak seperti dia yang suka menyendiri dan bersikap sombong.
“Terima kasih ya, Nay,” ucap Dona sambil mencoba tersenyum
“Iya, sama-sama. Kamu mau bersahabat denganku, bukan?” tanya Naya

Dona mengangguk. Terlukis senyum indah di wajahnya.

Gulali untuk Ali

Danar berjalan cepat menuju kantin sekolah. Wajahnya terlihat senang. Setelah penat belajar selama dua jam, bunyi bel istirahat seolah terdengar merdu di telinga Danar dan murid-murid lainnya.  Apalagi ada jajanan baru di kantin sejak tiga hari yang lalu. Gulali. Bukan sembarang gula yang tentu saja manis. Gulali juga sangat menarik. Di tangan mamang penjualnya, gulali bisa menjadi berbagai macam bentuk yang unik dan lucu.
“Mang, buatkan singa ya!” seru Danar tak sabar. Ia berada diantara belasan anak-anak lain yang ikut dibuatkan gulali.

“Buatkan saya bunga, mang!”
“Burung, mang!”
“boneka beruang, mang!”
Hiruk pikuk anak-anak terus terdengar. Tangan si mamang terus bergerak lincah. Tangan kirinya memegang sebatang lidi. Tangan kanannya membentuk gulali yang belum mengeras. Dan tara! Jadilah gulali dengan bentuk sesuai pesanan.
Danar masih setia menunggu. Matanya tak lepas dari gerakan lincah tangan si mamang. Ia baru menengok ke samping setelah merasa kakinya terinjak oleh seseorang,
“Aduh, lihat-lihat dong,” ucapnya kesal
“Eh, maaf.”
Danar pun menengok. Ternyata yang menginjaknya itu Ali. Teman sekelas Danar. Walaupun sekelas, Danar tidak begitu akrab dengan  Ali. Selain karena tempat duduk mereka berjauhan, Ali juga anak yang pendiam.
“Maaf ya, Danar,” ucap Ali lagi
“Tidak apa-apa. Kamu juga tidak sengaja,” sahut Danar sambil tersenyum
Ali balas tersenyum. Mereka  berdua kembali melihat gulali yang sedang dibentuk oleh si mamang.
Pesanan gulali bentuk singa sudah berada di tangan Danar. Hebat sekali mamang gulali ini, begitu fikir Danar. Apakah ia seorang seniman? Tentu tidak sembarang orang yang bisa membuat bentuk singa seperti ini.
Danar menikmati gulalinya sembari duduk di kursi panjang depan kelasnya. Ia melihat Ali berjalan menuju kelas. Bukankah tadi Ali menunggu gulali? Mengapa ia tidak memegang gulali?
“Ali, gulalinya mana?” tanya Danar. Lidahnya masih asyik menjilati gulali.
Ali menggeleng. Ia tersenyum lebar.
“Habis ya? Kamu tidak kebagian?” tanya Danar lagi
Ali kembali menggeleng
“Aku tidak beli kok. Tadi hanya lihat saja.”
Danar mengangguk-angguk. Tapi untuk apa Ali menunggu si mamang membuat gulali padahal ia tidak membelinya?  Ali masuk ke dalam kelas dan tak lama keluar lagi. Ia memegang sebuah kotak bekal.
“Ali, duduk disini yuk!” ajak Danar
Ali mengangguk. Ia duduk di samping Danar dan mengeluarkan kue dadar gulung dari kotak bekalnya. Ternyata Ali membawa kue dari rumah. Pantas saja ia tidak membeli gulali.
Ali menikmati dadar gulungnya sambil melirik-lirik kearah gulali yang sedang dinikmati Danar. Tentu saja Danar menyadarinya. Apakah sebenarnya Ali ingin makan gulali?
Sepulang dari sekolah, Danar masih memikirkan Ali. Ia justru bertanya pada mamanya,“Ma, Danar boleh berbagi kan?”
“Tentu saja, sayang,” jawab Mama
“Ada teman Danar yang ingin makan gulali, tapi tidak beli. Mungkin saja karena tidak bawa uang jajan. Ia hanya bawa bekal dari rumah.”
“Wah, itu lebih bagus, nak. Lebih sehat,” komentar Mama
“Bukan itu maksud Danar, Ma. Teman Danar itu juga mau mencoba manisnya gulali.”
“Iya, boleh sekali-sekali. Tapi ingat ya, tidak baik terlalu sering makan gulali. Apalagi kalau malas sikat gigi. Giginya bisa habis dimakan gulali. Bagaimana kalau besok Danar bawa bekal dari rumah seperti Ali?” tawar Mama.
Danar tertawa dan mengangguk setuju.
Esoknya saat jam istirahat di kantin sekolah. Danar kembali bertemu Ali yang sedang asyik melihat gerakan tangan si mamang membentuk gulali. Danar memesan dua gulali dengan bentuk burung bangau. Tak lama pesanannya jadi.
“Ali, ini gulali untukmu.” Danar menyodorkan gulali burung bangau itu kearah Ali. Ali menggeleng ragu
“Tidak apa-apa. Sekali-sekali aku ingin mentraktir. Ini gulali terakhir sepekan ke depan. Mamaku bilang tidak baik terlalu sering makan gulali. Katanya nanti gigiku habis dimakan gulali. Besok aku juga mau membawa bekal sepertimu.” jelas Danar panjang lebar.

Ali tertawa mendengarnya. Ia menerima gulali itu dengan senang hati. Berbagi itu manis. Manis seperti gulali.

Miko dan Negeri Sampah

Miko buru-buru meraih barang-barang yang berserakan. Sebelum Mama datang dan tahu, ia belum melakukan apapun di kamarnya.
Kotak tempat mainannya sudah tidak muat. Baiknya dibuang saja beberapa. Miko mengambil plastik kresek putih di sudut lemari. Ia mulai memilah mana yang akan dibuang.
Mobil tamiya sebenarnya masih bagus. Tapi sudah ketinggalan zaman.  Toh, Papa sudah berjanji akan membelikan mobil tank super keluaran terbaru. Helikopter kerlap-kerlip ini juga. Sudah rusak.

Mana lagi ya? Hm, Miko melirik baju teddy bear yang tergeletak di pojok tempat tidur. Itu hadiah dari tante Lila. Uh, sebenarnya Miko tidak suka baju itu. Warnanya itu loh. Pink. Miko memasukkan semua itu ke dalam plastik kresek. Ia lalu berlari menuju tempat sampah di luar pagar rumah.
“Mikooo?!”
Itu suara Mama. Miko berhenti tepat di depan pagar rumah. Bak pemain basket handal, ia mengoper plastik kresek ke dalam tong sampah. Yah! Meleset. Plastik kresek itu justru masuk ke dalam selokan.
Saat hendak mengambil kembali plastik kresek, Miko tersandung, lalu jatuh. Lututnya terasa perih. Ia duduk sambil meringis.
 “Keluar dari tubuhku!”
Miko nyaris tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Plastik kresek itu bisa bicara.
“Aku belum mau jadi sampah. Huhuhu.” Kali ini baju teddy bear yang bicara. Ia bahkan bisa menangis.
“Uh, aku bahkan sama sekali belum rusak!” keluh mobil Tamiya.
Helikopter kerlap-kerlip tak ikut bicara. Ia hanya tertunduk sedih.
Miko mengucek-ucek matanya. Belum habis rasa kagetnya. Tiba-tiba gulungan angin topan menghampiri mereka. Miko ingin berlari. Tapi percuma. Ia masuk ke dalam pusaran angin  topan bersama sampah-sampahnya yang bisa bicara.
“Tidak! Aku tidak ingin ke negeri sampah!” jerit plastik kresek.
“Aku masih bisa digunakan!” jerit baju teddy bear.
Miko berteriak. Kepalanya pusing. Debu menutupi penglihatannya. Miko masih berteriak saat pusaran angin topan berhenti. Ia terdampar diatas sofa kotor.
“Lagi-lagi ada sampah yang datang.”
Miko terlonjak dari duduknya. Sofa kotor itu juga bisa bicara
“Ini dimana?” tanya Miko bingung.
“Negeri sampah.” jawab plastik kresek. Ia melirik Miko tak suka.
“Kalau Mama Miko yang menemukanku, aku pasti disimpan.” Gumam plastik kresek kesal.
“Manusia itu jahat sekali, bahkan anak juga dibuang jadi sampah.” Dengus botol kaca bekas yang tiba-tiba mendekat.
“Aku tidak dibuang!” jerit Miko. Ia sangat ketakutan. Sampah-sampah terlihat sejauh mata memandang. Beberapa mendekat ke arah Miko. Beberapa tidak peduli.
 “Miko ikut terkena angin topan saat membuang kami.” Jelas helikopter kerlap-kerlap pelan.
“Itu pelajaran buatmu. Kau suka membuang-buang barang ke tempat sampah. Jadi hari ini kau juga jadi sampah.” Ujar mobil Tamiya kesal
Miko terduduk sedih. Matanya terasa perih. Ia ingin menangis.
“Huhuhu. Aku sangat bahagia saat kau memakaiku, Miko. Walaupun kau tidak menyukaiku. Aku tidak ingin menjadi sampah secepat ini. Aku lebih senang jika menjadi kain lap. Itu jauh lebih berguna. Huhuhu.” Baju teddy bear menangis sesegukan.
Sampah-sampah menatapnya tak suka.
“Aku, aku tidak tahu kalau kalian tidak suka dibuang.” ucap Miko terbata-bata.
“Anak egois!” ujar mobil Tamiya sinis
“Sudahlah, Tamiya.” ucap Helicopter kerlap-kerlip.
 “Kembalikan aku ke rumahku. Aku berjanji tidak akan sembarangan membuang kalian lagi.” Miko memohon. Ia berusaha untuk tidak menangis.
“Kami tidak tahu caranya keluar dari sini.” Jawab helikopter kerlap-kerlip.
“Kau tahu, butuh waktu berapa lama sampai kami benar-benar menjadi sampah?” tanya botol kaca.
Miko menggeleng.
“Mobil Tamiya dan helikoptermu itu butuh waktu 450 tahun. Bajumu 40 tahun. Plastik kresek 100 tahun. Dan aku, 4000 tahun!” jelas botol kaca esmosi.
Miko terlongo kaget. Ia sama sekali tidak mengetahui itu sebelumnya.
“Manusia seharusnya memikirkan itu sebelum membuang kami.” sahut sofa kotor.
“Yah, mereka akan sadar saat bumi benar-benar tertutup oleh sampah!” tambah botol kaca.
“Kau bahkan membuang barang-barang yang masih dapat digunakan!” ujar plastik kresek kesal.
“Beri aku kesempatan!” jerit Miko mengiba
Tiba-tiba, angin topan kembali datang.
“Ini saatnya kau kembali. Sampaikan pada manusia yang lain. Gunakan kami sampai benar-benar tidak bisa digunakan lagi.” ucap sofa kotor.
Mata Miko berkaca-kaca. Ia mengangguk mantap. Tak lama, angin topan membawa Miko dan sampah-sampah itu masuk ke dalam pusarannya. Miko berteriak. Tak lama, Miko tersungkur di dekat selokan dan tong sampah.

Miko mengambil plastik kresek beserta isinya dari dalam selokan. Terngiang olehnya ucapan sofa kotor. Gunakan barang sampai benar-benar tidak bisa digunakan lagi. Miko berjanji akan melakukannya. Juga menyampaikan itu pada keluarga, teman, dan semua orang.