Monday 30 December 2013

Ekor Cicio



“Ekormu putus lagi, Cicio?” tanya Ibu cicak kaget
Cicio hanya mengangguk pelan. Ia masuk ke dalam lubang di sela atap yang menjadi rumahnya. Hari yang melelahkan. Cicio beranjak tertidur. Sejenak ia melihat ekornya yang hari ini lagi-lagi terputus. 

Huh, tidak ada cicak yang mau ekornya terputus. Termasuk Cicio. Apalagi kalau dilihat oleh Caki, cicak yang suka mengejeknya itu. Cicio pasti lagi-lagi ditertawakan. Tapi mau bagaimana lagi. Biarkan saja Caki mau berkata apa.
“Ada apa, Cicio?” Ibu cicak bertanya pelan
Mata Cicio terbuka.
“Tidak ada apa-apa, bu.” jawab Cicio
“Tapi ini sudah yang ketiga kalinya ekormu selalu putus. Apakah ada hewan lain yang mengganggumu, nak?” tanya ibu lagi
Cicio hanya menggeleng. Ia tidak mau menceritakan kejadian tadi kepada siapapun, termasuk ibu.
“Tidak apa-apa kalau kau tidak mau bilang. Istirahatlah dulu.” Ibu beranjak pergi. Cicio tak menjawab. Matanya kembali terpejam.
Keesokan harinya. Cicio baru saja keluar dari lubang dan hendak menghirup udara sore yang segar. Kebetulan ia bertemu dengan Caki dan dua cicak lainnya. Setelah menyadari ekor Cicio yang putus, mata Caki berbinar. Senang sekali bisa kembali mengejek Cicio
“Keren sekali ekormu, Cicio.” Ujar Caki sambil tertawa
Kedua temannya ikut tertawa. Cicio hanya diam tak menanggapi
“Teman-teman, cicak apa yang selalu putus ekornya?”
Kedua temannya menggeleng
“Cicak pengecut! Berkali-kali ketakutan dan merasa terancam. Ahahahahah.” Caki kembali tertawa keras
Cicio sebenarnya kesal sekali. Tapi percuma saja meladeni Caki. Lebih baik ia fokus mencari makanan nanti malam. Cicio berjalan cepat melewati Caki yang masih saja menertawainya.
“Jangan-jangan yang putus bukan hanya ekornya, teman-teman. Tapi juga telinganya. Hahahaha.”
Disaat yang bersamaan, terdengar suara keras dari lantai. Kucing rumah sedang melihat kearah mereka. Karena kaget, kaki Caki terlepas dari dinding.
“Aaaaaa! Tolong!” teriak Caki panik
Kedua temannya kaget. Cicio juga kaget. Kucing rumah itu berlari mendekat.
Caki sudah pingsan. Mulut kucing itu sudah dekat sekali dengan tubuhnya. Sesaat sebelum ia sempat menerkam. Ada yang jatuh diatas tubuhnya. Itu Cicio. Ia hendak mengalihkan perhatian si kucing. Cicio sengaja melenggak-lenggokkan tubuhnya yang tak berekor itukearah kucing. Si kucing tertarik mengejarnys. Cicio lari terbirit-birit
Caki sudah siuman saat ia diceritakan kedua temannya. Ia menyesal sekali setelah tahu kalau yang menyelamatkannya adalah Cicio. Kini Cicio terbaring di rumahnya. Kakinya terkilir.
“Cicio maafkan aku ya.” ucap Caki sambil menangis
“Tidak apa-apa, Caki.” jawab Cicio
Terdengar suara ketukan dari luar
“Bisakah kami bertemu dengan cicak yang ekornya putus?” terlihat seekor tikus, dua pasang kecoa dan seekor capung menunggu di bawah lantai rumah.
“Ada perlu apa dengan Cicio? Anakku itu sedang sakit.” tanya ibu cicak sembari merayap ke bawah dinding
“Kami ingin berterima kasih. Sekaligus meminta maaf. Tiga kali Cicio. Apakah namanya Cicio? Tiga kali Cicio kehilangan ekornya karena menyelamatkan kami dari terkaman si kucing galak.”
Terjawablah sudah pertanyaan ibu cicak, Caki, dan cicak-cicak yang lainnya. Cicio hanya tersenyum malu saat semuanya memandangnya kagum. Cicio hebat sekali. Diam-diam ia suka menolong hewan lain.
***
 Cicio dimuat di Lampung post tanggal 3 Maret 2013

Mujair kapok bermain kail



Mujair suka sekali mencoba kegiatan baru. Ada-ada saja yang dilakukannya. Coba dengarkan apa yang diceritakannya kepada kura-kura kali ini.
 “Aku suka sekali bermain kail di hilir sungai itu loh, Kura-kura.” Cerita Mujair sambil meliuk-liukan tubuhnya dengan semangat 

“Apa? Kau bermain kail?” Tentu saja Kura-kura kaget. Tidak ada yang berani bermain-main dengan kail milik manusia itu. Semua induk di sungai melarang anak-anaknya mendekati kail. Bahaya sekali kalau sampai ada yang tersangkut mata kailnya. Hidupnya dapat dipastikan akan berakhir di perut manusia. Hiiii...
 “Iya, dong. Asyik sekali bisa memakan cacing lezat sedikit demi sedikit.” Mujair melanjutkan ceritanya sambil tertawa. Kura-kura bukannya ikut tertawa justru bergidik ngeri.
“Bagian yang paling seru adalah saat si manusia mengangkat kailnya karena bergoyang-goyang. Eh, tahu-tahu umpan cacingnya sudah habis.” Lanjut Mujair tergelak
“Kau jangan suka main-main dengan kail, Mujair. Ayahku dulu pernah tersangkut kail. Beruntung sekali manusia itu melepaskan ayahku.” Ujar Kura-kura pelan. Duh, kok Mujair berani sekali ya.
“Ah, yang penting kan aku bisa hati-hati, Kura-kura.” Jawab Mujair masih tertawa. Hm, mengapa Kura-kura tidak ikut tertawa mendengar cerita serunya itu? Ah, tidak asyik
“Kalau kau mau lihat aksiku. Ayo ikuti aku, Kura-kura.” Mujair segera berenang ke hilir dengan penuh semangat.
“Tu..tunggu Mujair! Kau tidak boleh kesana. Bahaya!” Kura-kura panik mendengar ajakan Mujair. Dengan cepat, ia menyusul Mujair.
“Kau benar-benar tidak boleh bermain kail lagi, Mujair. Itu bahaya sekali!” kura-kura yang makin panik masih berusaha mengurungkan niat Mujair
“Ah, kau seperti Ibuku saja, Kura-kura. Cerewet sekali.” Jawab Mujair kesal
“Kalau kau tidak mau ikut ya sudah!” ucap Mujair ketus
Mujair sudah sampai di hilir, ketika ditengoknya Kura-kura tak mendekatinya lagi. Hanya diam disela-sela batu memperhatikannya. Hm, kura-kura harus melihat aksi hebatku ini, pikir Mujair dalam hati
Nah, itu dia kailnya! Sorak Mujair dalam hati. Wow! Besar sekali cacing malang yang menjadi umpan itu. Pasti nikamt sekali.
Mujair dengan gesit mendekati mata kail. Terlihat disana seekor cacing terkapar tak berdaya. Siap menjadi santapan.
“Hup! Hup! Nyam. Nyam...” uh! Nikmat sekali
Mujair melirik Kura-kura yang melongo menonton aksinya. Siap-siap ia mendekati mata kail lagi
“Slrup! Aaahhhh!!!!!” tiba-tiba Mujair menjerit kesakitan. Saat kail itu bergerak. Rupanya tersangkut di ekornya.
Gawat! Bagaimana ini? wajah Mujair pucat. Kura-kura yang melihat kejadian itu segera mendekati Mujair. Hendak menolong Mujair yang sedang meronta-ronta menyelamatkan diri.
Susah payah kura-kura membantu Mujair melepaskan mata kail itu dari ekornya. Setelah berhasil, mereka berdua terlempar ke tepi sungai. Mujair ternyata pingsan.
Saat sadar, Mujair menangis terisak-isak. Masih takut dengan kejadian yang menimpanya tadi. Mujair kapok deh tidak akan bermain kail lagi.
 ***
Mujair dimuat di Lampung Post tanggal 17 Februari 2013

A.S.A

Ada asa yang kian membumbung kala suara terdengar menggebu.

Aku suka semangatmu cinta

juga lembutmu yang kurangkai menjadi senyum

terima kasih sudah membersamai waktu

kan selalu kutunggu :)

Opi jangan marah lagi



“Huh, seharusnya aku bisa puas menikmati padi yang lezat itu.” Keluh Opi, si burung pipit sedih.
Gara-gara Puka, temannya yang ceroboh itu. Usaha Opi mendekati padi dan menikmati lezatnya padi berakhir sia-sia. Opi sudah merencanakan segalanya sejak pagi-pagi sekali. Ia akan mendekati batang padi yang paling pojok di dekat pohon nangka. Perlahan mengamati pandangan mata Pak Tani. Saat Pak tani lengah, Opi terbang perlahan. Tanpa suara mendekari batang padi. 

Semuanya gagal setelah Puka tiba-tiba datang. Berisik sekali mematuk-matuk butir padi yang menggoda. Opi yang kaget dengan kedatangan Puka, tak sempat ikut menyantapnya. Ia justru bersiap-siap protes, tepat ketika Pak Tani berlari kemari dan mengusir mereka. Untunglah mereka sempat melarikan diri dan bersembunyi di dahan pohon rambutan.
“Wah, enak sekali Opi! Kau pintar sekali menemukan tempat itu. Lezat sekali deh padinya.” Sorak puka tanpa rasa bersalah sedikit pun. Tentu saja Opi jengkel minta ampun. Opi yang sudah lapar namun tetaap sabar menunggu waktu yang tepat, malah sama sekali belum menikmati lezatnya padi itu.
“Gara-gara kamu Puka! Aku justru tidak makan satu butir pun!” teriak Opi tak bisa menahan marah. Kali ini Puka benar-benar keterlaluan. Selama ini walaupun puka suka mengganggunya. Biasanya Opi hanya diam. Tapi kali ini Puka amat keterlaluan. Opi sudah tidak tahan lagi.
“Kan kamu yang tidak buru-buru memakan padi itu, Opi. Kamu malah berdiri mematung tadi. Keburu anak petani itu mengejar kita, bukan?”
Huh! Masih saja si ceroboh ini membela diri.
“Heh! Kau ini! Sudah salah tapi tidak mau mengaku salah! Kalau kamu tidak berisik tadi, Pak Tani itu tidak mungkin datang mengusir kita tahu!”
Puka menunduk dalam-dalam. Opi mendengus sebal. Baguslah kalau Puka menyesal. Puka harus diberi pelajaran. Tidak bisa semaunya begitu.
Opi mengibaskan sayapnya dan pergi tanpa pamit. Puka bertambah sedih. Tidak menyangka Opi akan semarah itu. Selama ini Opi hanya diam dan tidak pernah marah.
Puka tahu dia ceroboh, dan sangat tahu kalau Opi sahabatnya itu, sangat hati-hati. Tapi Opi terlalu serius sih. Kadang-kadang Puka juga ingin menghibur Opi. Dengan bersikap sangat riang, Puka kira itu akan sangat lucu dan dapat membuat Opi tertawa. Tapi ternyata opi justru marah.
Puka terbang perlahan. Ia masih memikirkan bagaimana agar Opi mau memaafkannya. Tak sengaja Puka melihat butiran padi berserakan. Tentu saja padi-padi itu tak ada pemiliknya. Tidak akan ada Pak Tani yang mengejarnya. Lihatlah. Sepanjang jalan setapak, terserak butiran padi yang mungkin terjatuh dari karung yang berlubang. Horeee!!!!! Sorak puka senang. Seketika lupa akan kesedihannya barusan.
Namun, tiba-tiba puka tersadar. Opi kan dari tadi belum makan. Duh, itu pun gara-gara Puka. Segera Puka terbang mencari Opi. Opi ternyata sedang duduk terpekur di dahan pohon nangka. Menatap butiran padi yang tak bisa lagi dinikmati. Karena masih ada Pak Tani yang berjaga disana.
“Opi?!” Panggil Puka riang
“Untuk apa kau kesini, hah?! Untuk menertawakanku yang kelaparan?! Bentak Opi dengan tatapan tak suka.
“Bukan begitu, Opi. Aku hanya ingin memberitahumu kalau....” Puka berkata ragu-ragu.
“Tidak perlu. Pergi sana!” potong Opi sambil melotot
“Opi, maafkan aku.” Tiba-tiba Puka menangis terisak-isak. Opi jadi kaget. Tidak pernah ia melihat Puka menangis. Puka selama ini selalu terlihat riang.
“Opi, tolong maafkan aku. Aku hanya ingin mengajakmu kearah jalan setapak. Disana berserakan butiran padi. Percaya dehdenganku.” Ujar Puka terbata-bata di sela tangisnya
Opi menyesal membuat puka sesedih itu. Dia segera tersenyum dan kembali membuat wajah Puka cerah kembali. Mereka bersama-sama menuju jalan setapak. Dan lihatlah, mereka bisa puas menikmati kelezatan butir-butir padi dengan tertawa senang. Opi sekarang tidak marah lagi. Duh, Opi manis sekali kalau tertawa.
***
 *Opi dimuat di Lampung post tanggal 13 Januari 2013

Sunday 29 December 2013

Sabila bilang wow

Sabila senang sekali hari ini. Akhirnya dia bisa membuat Hilya ditertawakan teman-teman di kelas. Hahaha. Suruh siapa bersikap menyebalkan. Mentang-mentang kemarin dapat nilai sepuluh saat ulangan harian matematika. Lantas dipuji oleh Bu Husna. Hilya sepanjang hari terlihat kesana kemari membantu teman-teman yang sedang mengerjakan soal. Huh, sok pintar sekali.

“Rin, bukan begitu caranya. Ini kan harusnya ditambah bukan dikurangi.” Begitu Hilya memulai sok pintarnya saat kelas sedang hening mengerjakan latihan soal matematika
Sabila mendengus sebal. Dengan suara yang tak kalah keras, Sabila berkata menghampiri Hilya, “Terus, gue harus bilang wow gitu?”
Terdengarlah tawa membahana di kelas mereka. Jadilah sepanjang hari, setiap kali Hilya sok mengajarkan ini itu kepada teman-temannya. Sabila akan terus-terusan berkata asal, “Terus, gue harus bilang wow gitu?” Yang paling lucu, tadi saat Hilya berkata sendiri, “Duh, dimana  ya pensilku?” Rafi, Fatih, Ica  juga Ratih kompak ikut-ikutan Sabila bertanya, “Terus, gue harus bilang wow gitu?”
Hahahahaha. Lucu sekali bukan? Sabila sampai sakit perut menahan tawa. Apalagi melihat wajah Hilya yang memerah seperti kepiting rebus itu. Sabila puas deh hari ini. Bahkan sampai bel pulang, Sabila masih tertawa dengan teman-teman karena membahas soal Hilya tadi.
Hm, ngomong-ngomong, dimana Pak Edi ya? Tanya Sabila dalam hati. Kok dari tadi Sabila menunggu sopir jemputannya itu, tidak juga nampak batang hidungnya. Sabila bolak-balik melihat jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul 3 sore. Duh, mana cuma tinggal berdua dengan Hilya lagi. Teman-teman yang lain sudah pada pulang. Sabila jadi gusar.
“Sabila, kamu belum dijemput ya?” Tanya Hilya sambil tersenyum
“Sudah tahu kok nanya!” Jawab Sabila tak suka. Kenapa sih Hilya masih ramah dengannya. Padahal Sabila kan sudah mempermalukan Hilya di depan teman-temannya.
“Mau menunggu di rumahku tidak? Rumahku di depan gang sini kok. Nanti kalau ada yang menjemput, kamu bisa melihat dari teras rumahku.” Hilya menawarkan panjang lebar
Sabila yang ditanya masih terdiam. Kikuk akan menjawab apa. Sebenarnya Sabila enggan ikut Hilya. Tapi di sekolah sudah tidak ada orang lagi selain Pak Adin, penjaga sekolah mereka. Bisa bosan sekali Sabila di sekolah sepi seperti ini. tidak apa-apa deh, Sabila ikut ke rumah Hilya sebentar. Lagipula Sabila juga haus sekali. Nanti di rumah Hilya kan bisa minta minum. Sabila mengangguk kaku. Sebenarnya Sabila begitu karena masih merasa tak enak hati dengan Hilya atas sikapnya hari ini.
“Siapa nak?” Tanya seorang ibu berkerudung coklat yang ternyata ibunya Hilya itu sambil tersenyum ramah
“Ini teman Hilya, bu.” Jawab Hilya sambil mencium tangan ibunya takzim
“Mari nak, silahkan masuk. Duh, maaf ya. Rumahnya Hilya lagi berantakan.” Ajak ibunya Hilya sambil kembali mengaduk-aduk sesuatu di dalam baskom besar.
Disinilah Sabila melihat kenyataan tentang Hilya yang selama ini tidak Sabila ketahui. Sepulang dari sekolah, Hilya selalu membantu ibunya membuat mie. Sabila baru tahu kalau bapaknya Hilya adalah penjual mie ayam. Di sela-sela kesibukannya membantu ibunya. Hilya sesekali merawat kedua adiknya yang masih kecil-kecil. Memandikan. Menyuapi makan. Bahkan membersihkan bekas makan yang tercecer di lantai. Semua itu dilihat Sabila sambil menunggu Pak Edi di rumah Hilya.
“Hilya, kamu belajarnya kapan?” Tanya Sabila setelah meneguk minuman yang disediakan Hilya.
“Aku hanya bisa belajar malam hari.” Jawab Hilya sumringah
“Kalau main?”
“Hilya tidak pernah bisa main keluar rumah. Tapi tidak apa-apa. Hilya kan sudah main seharian dengan adik-adikku.” Jawab Hilya lagi sambil tertawa
Duh. Sabila jadi malu sekali. Sabila yang anak bungsu di rumah, tidak perlu repot-repot membantu mama. Bisa main sesuka hati. Bahkan saat malam susah sekali kalau disuruh mama belajar. Lebih asyik main play station dengan Kak Ringga.
“Hilya, maafkan Sabila ya.” Sabila berkata sambil menunduk dalam-dalam
“Eh, kok tiba-tiba minta maaf?”
“Iya, hari ini aku sudah membuatmu malu di depan teman-teman.”
“Iya tidak apa-apa kok, Sabila.” Jawab Hilya sambil tersenyum tulus
Wah, ternyata Sabila sudah salah menilai Hilya. Hilya justru baik hati karena mudah memaafkan kesalahan Sabila. Sabila janji tidak akan mengejek Hilya lagi.