“Pa, Palestina itu jauh ya?” Falih tiba-tiba bertanya dengan Papa.
“Iya, jauh.” Papa menjawab pertanyaan Falih tanpa menoleh kearahnya. Papa tetap asyik mengetik sesuatu di laptopnya.
Papa kali ini tersenyum dan menoleh kearah Falih, “Memang Falih mau ke Palestina?” Falih menggeleng lemah, “Tidak. Falih kan masih kecil, Pa.”
“Terus, kenapa tanya ongkos ke Palestina berapa?”
“Ongkos untuk pak posnya, Pa.”
“Kok pak pos?”
“Iya. Pak pos yang antar sumbangan kesana.”
“Papa tidak tahu pasti, Falih. Hm, Falih mau menyumbang untuk palestina ya? Bagus sekali. Tidak usah difikirkan ongkos kesana berapa. Itu urusan pak pos.” Kata Papa sambil mengedipkan sebelah matanya.
Falih terdiam. Tak berkata apapun. Falih masih sibuk dengan pemikirannya sendiri. Sejak kemarin Falih memikirkan ini. Sejak Iqbal, teman sekolahnya berkata kepadanya,”Kok menyumbang ke Palestina hanya seribu rupiah? Untuk ongkos saja tidak cukup.” Begitu kata Iqbal sambil tertawa. Mau tidak mau, Falih jadi memikirkannya.
Sebelumnya, Falih juga menonton berita di televisi. Falih sedih juga melihat berita itu. Kasihan sekali anak-anak seusianya disana. Bahkan ada yang lebih kecil darinya. Apa yang mereka rasakan. Bagaimana rasanya kelaparan dan diserang peluru setiap hari? Bahkan ada yang meninggal dunia. Falih benar-benar ingin membantu mereka. Tapi apa yang bisa diharapkan dari uang jajannya yang hanya seribu rupiah?
Karena Iqbal berkata seperti itu, Falih tidak jadi memasukkan uangnya ke kotak amal yang dibawa-bawa kakak mahasiswa di pinggir jalan tadi. Uang seribu rupiah memang tidak ada harganya, keluh Falih dalam hati.
“Falih masih memikirkan Palestina ya?” Papa mendekati Falih yang duduk di teras rumah. Falih mengangguk lemah. Masih sedih memikirkan tidak bisa membantu apa-apa untuk anak-anak Palestina.
“Masih memikirkan ongkosnya?” Tanya Papa sambil tertawa. Falih terdiam tidak ikut tertawa. Falih benar-benar sedang sedih.
“Ayo dong, Falih cerita ke Papa. Apa yang Falih fikirkan tentang Palestina?”
Falih menoleh dan menjawab, “Falih sedih, Pa. Falih cuma bisa menyumbang sedikit buat Palestina. Cuma seribu rupiah.”
Papa tersenyum mendengar jawaban Falih. Ditepuknya pundak anaknya itu.
“Allah memberi pahala bukan dari berapa sumbangannya, Falih. Tapi dari niat Falih yang tulus untuk membantu saudara-saudara kita disana.” Papa berkata sambil tetap menepuk pundak Falih.
“Tapi tetap saja uang seribu itu tidak ada gunanya untuk mereka kan, Pa?” sahut Falih.
“Kata siapa tidak ada gunanya? Kalau Falih berkali-kali menyumbang uang seribu rupiah. Ditambah teman-teman Falih yang juga berkali-kali menyumbang uang seribu rupiah. Ditambah Papa dan Mama. Ditambah seluruh rakyat Indonesia. Hm, apakah uang seribu itu masih sedikit?” Tanya Papa
“Wah! Iya juga ya, Pa! Makasih Pa! Karena Papa, Falih jadi punya ide.” Suara Falih tidak lagi lemah seperti tadi. Sekarang Falih semangat dan tidak sedih lagi. Falih pasti bisa membantu anak-anak di Palestina.
“Tapi nak, yang paling penting. Falih juga harus ingat. Do’a juga sangat dibutuhkan mereka.” Falih mengangguk mantap.
***
Kalau teman-teman ingin ikut menyumbang untuk palestina. Silahkan masukkan uangnya ke kotak ini. cukup seribu satu hari. Tulisan itu terpajang besar-besar disebuah karton. Dibawahnya terdapat kotak kardus besar. Tepat diletakkan di depan kantor guru. Siapa lagi yang membuatnya kalau bukan Falih? Tentu saja, Falih sudah meminta izin dengan Pak Zul, Kepala Sekolahnya.
Selama satu minggu, kotak itu masih diletakkan di depan kantor guru. Setiap pulang sekolah, Falih dan teman-temannya mengumpulkan uang tersebut dan menyimpannya. Iqbal juga tidak tinggal diam. Iqbal bahkan sudah meminta maaf atas perkataannya kemarin-kemarin. Ternyata uang seribu juga bisa bernilai.
Benar sekali apa kata Papa. Setelah satu minggu penuh, uang seribu yang dikumpulkan jumlahnya cukup banyak. Falih seakan tak percaya kalau uang itu bisa sebesar dua juta rupiah. Tentu saja sudah ditambah dengan sumbangan dari Papa, para guru, dan orang tua teman-temannya.
***
Dimuat di Lampung post tanggal 2 Desember 2012
No comments:
Post a Comment