Monday, 30 December 2013

Opi jangan marah lagi



“Huh, seharusnya aku bisa puas menikmati padi yang lezat itu.” Keluh Opi, si burung pipit sedih.
Gara-gara Puka, temannya yang ceroboh itu. Usaha Opi mendekati padi dan menikmati lezatnya padi berakhir sia-sia. Opi sudah merencanakan segalanya sejak pagi-pagi sekali. Ia akan mendekati batang padi yang paling pojok di dekat pohon nangka. Perlahan mengamati pandangan mata Pak Tani. Saat Pak tani lengah, Opi terbang perlahan. Tanpa suara mendekari batang padi. 

Semuanya gagal setelah Puka tiba-tiba datang. Berisik sekali mematuk-matuk butir padi yang menggoda. Opi yang kaget dengan kedatangan Puka, tak sempat ikut menyantapnya. Ia justru bersiap-siap protes, tepat ketika Pak Tani berlari kemari dan mengusir mereka. Untunglah mereka sempat melarikan diri dan bersembunyi di dahan pohon rambutan.
“Wah, enak sekali Opi! Kau pintar sekali menemukan tempat itu. Lezat sekali deh padinya.” Sorak puka tanpa rasa bersalah sedikit pun. Tentu saja Opi jengkel minta ampun. Opi yang sudah lapar namun tetaap sabar menunggu waktu yang tepat, malah sama sekali belum menikmati lezatnya padi itu.
“Gara-gara kamu Puka! Aku justru tidak makan satu butir pun!” teriak Opi tak bisa menahan marah. Kali ini Puka benar-benar keterlaluan. Selama ini walaupun puka suka mengganggunya. Biasanya Opi hanya diam. Tapi kali ini Puka amat keterlaluan. Opi sudah tidak tahan lagi.
“Kan kamu yang tidak buru-buru memakan padi itu, Opi. Kamu malah berdiri mematung tadi. Keburu anak petani itu mengejar kita, bukan?”
Huh! Masih saja si ceroboh ini membela diri.
“Heh! Kau ini! Sudah salah tapi tidak mau mengaku salah! Kalau kamu tidak berisik tadi, Pak Tani itu tidak mungkin datang mengusir kita tahu!”
Puka menunduk dalam-dalam. Opi mendengus sebal. Baguslah kalau Puka menyesal. Puka harus diberi pelajaran. Tidak bisa semaunya begitu.
Opi mengibaskan sayapnya dan pergi tanpa pamit. Puka bertambah sedih. Tidak menyangka Opi akan semarah itu. Selama ini Opi hanya diam dan tidak pernah marah.
Puka tahu dia ceroboh, dan sangat tahu kalau Opi sahabatnya itu, sangat hati-hati. Tapi Opi terlalu serius sih. Kadang-kadang Puka juga ingin menghibur Opi. Dengan bersikap sangat riang, Puka kira itu akan sangat lucu dan dapat membuat Opi tertawa. Tapi ternyata opi justru marah.
Puka terbang perlahan. Ia masih memikirkan bagaimana agar Opi mau memaafkannya. Tak sengaja Puka melihat butiran padi berserakan. Tentu saja padi-padi itu tak ada pemiliknya. Tidak akan ada Pak Tani yang mengejarnya. Lihatlah. Sepanjang jalan setapak, terserak butiran padi yang mungkin terjatuh dari karung yang berlubang. Horeee!!!!! Sorak puka senang. Seketika lupa akan kesedihannya barusan.
Namun, tiba-tiba puka tersadar. Opi kan dari tadi belum makan. Duh, itu pun gara-gara Puka. Segera Puka terbang mencari Opi. Opi ternyata sedang duduk terpekur di dahan pohon nangka. Menatap butiran padi yang tak bisa lagi dinikmati. Karena masih ada Pak Tani yang berjaga disana.
“Opi?!” Panggil Puka riang
“Untuk apa kau kesini, hah?! Untuk menertawakanku yang kelaparan?! Bentak Opi dengan tatapan tak suka.
“Bukan begitu, Opi. Aku hanya ingin memberitahumu kalau....” Puka berkata ragu-ragu.
“Tidak perlu. Pergi sana!” potong Opi sambil melotot
“Opi, maafkan aku.” Tiba-tiba Puka menangis terisak-isak. Opi jadi kaget. Tidak pernah ia melihat Puka menangis. Puka selama ini selalu terlihat riang.
“Opi, tolong maafkan aku. Aku hanya ingin mengajakmu kearah jalan setapak. Disana berserakan butiran padi. Percaya dehdenganku.” Ujar Puka terbata-bata di sela tangisnya
Opi menyesal membuat puka sesedih itu. Dia segera tersenyum dan kembali membuat wajah Puka cerah kembali. Mereka bersama-sama menuju jalan setapak. Dan lihatlah, mereka bisa puas menikmati kelezatan butir-butir padi dengan tertawa senang. Opi sekarang tidak marah lagi. Duh, Opi manis sekali kalau tertawa.
***
 *Opi dimuat di Lampung post tanggal 13 Januari 2013

No comments:

Post a Comment