Danar berjalan cepat menuju kantin sekolah. Wajahnya terlihat senang. Setelah penat belajar selama dua jam, bunyi bel istirahat seolah terdengar merdu di telinga Danar dan murid-murid lainnya. Apalagi ada jajanan baru di kantin sejak tiga hari yang lalu. Gulali. Bukan sembarang gula yang tentu saja manis. Gulali juga sangat menarik. Di tangan mamang penjualnya, gulali bisa menjadi berbagai macam bentuk yang unik dan lucu.
“Mang, buatkan singa ya!” seru Danar tak sabar. Ia berada diantara belasan anak-anak lain yang ikut dibuatkan gulali.
“Buatkan saya bunga, mang!”
“Burung, mang!”
“boneka beruang, mang!”
Hiruk pikuk anak-anak terus terdengar. Tangan si mamang terus bergerak lincah. Tangan kirinya memegang sebatang lidi. Tangan kanannya membentuk gulali yang belum mengeras. Dan tara! Jadilah gulali dengan bentuk sesuai pesanan.
Danar masih setia menunggu. Matanya tak lepas dari gerakan lincah tangan si mamang. Ia baru menengok ke samping setelah merasa kakinya terinjak oleh seseorang,
“Aduh, lihat-lihat dong,” ucapnya kesal
“Eh, maaf.”
Danar pun menengok. Ternyata yang menginjaknya itu Ali. Teman sekelas Danar. Walaupun sekelas, Danar tidak begitu akrab dengan Ali. Selain karena tempat duduk mereka berjauhan, Ali juga anak yang pendiam.
“Maaf ya, Danar,” ucap Ali lagi
“Tidak apa-apa. Kamu juga tidak sengaja,” sahut Danar sambil tersenyum
Ali balas tersenyum. Mereka berdua kembali melihat gulali yang sedang dibentuk oleh si mamang.
Pesanan gulali bentuk singa sudah berada di tangan Danar. Hebat sekali mamang gulali ini, begitu fikir Danar. Apakah ia seorang seniman? Tentu tidak sembarang orang yang bisa membuat bentuk singa seperti ini.
Danar menikmati gulalinya sembari duduk di kursi panjang depan kelasnya. Ia melihat Ali berjalan menuju kelas. Bukankah tadi Ali menunggu gulali? Mengapa ia tidak memegang gulali?
“Ali, gulalinya mana?” tanya Danar. Lidahnya masih asyik menjilati gulali.
Ali menggeleng. Ia tersenyum lebar.
“Habis ya? Kamu tidak kebagian?” tanya Danar lagi
Ali kembali menggeleng
“Aku tidak beli kok. Tadi hanya lihat saja.”
Danar mengangguk-angguk. Tapi untuk apa Ali menunggu si mamang membuat gulali padahal ia tidak membelinya? Ali masuk ke dalam kelas dan tak lama keluar lagi. Ia memegang sebuah kotak bekal.
“Ali, duduk disini yuk!” ajak Danar
Ali mengangguk. Ia duduk di samping Danar dan mengeluarkan kue dadar gulung dari kotak bekalnya. Ternyata Ali membawa kue dari rumah. Pantas saja ia tidak membeli gulali.
Ali menikmati dadar gulungnya sambil melirik-lirik kearah gulali yang sedang dinikmati Danar. Tentu saja Danar menyadarinya. Apakah sebenarnya Ali ingin makan gulali?
Sepulang dari sekolah, Danar masih memikirkan Ali. Ia justru bertanya pada mamanya,“Ma, Danar boleh berbagi kan?”
“Tentu saja, sayang,” jawab Mama
“Ada teman Danar yang ingin makan gulali, tapi tidak beli. Mungkin saja karena tidak bawa uang jajan. Ia hanya bawa bekal dari rumah.”
“Wah, itu lebih bagus, nak. Lebih sehat,” komentar Mama
“Bukan itu maksud Danar, Ma. Teman Danar itu juga mau mencoba manisnya gulali.”
“Iya, boleh sekali-sekali. Tapi ingat ya, tidak baik terlalu sering makan gulali. Apalagi kalau malas sikat gigi. Giginya bisa habis dimakan gulali. Bagaimana kalau besok Danar bawa bekal dari rumah seperti Ali?” tawar Mama.
Danar tertawa dan mengangguk setuju.
Esoknya saat jam istirahat di kantin sekolah. Danar kembali bertemu Ali yang sedang asyik melihat gerakan tangan si mamang membentuk gulali. Danar memesan dua gulali dengan bentuk burung bangau. Tak lama pesanannya jadi.
“Ali, ini gulali untukmu.” Danar menyodorkan gulali burung bangau itu kearah Ali. Ali menggeleng ragu
“Tidak apa-apa. Sekali-sekali aku ingin mentraktir. Ini gulali terakhir sepekan ke depan. Mamaku bilang tidak baik terlalu sering makan gulali. Katanya nanti gigiku habis dimakan gulali. Besok aku juga mau membawa bekal sepertimu.” jelas Danar panjang lebar.
Ali tertawa mendengarnya. Ia menerima gulali itu dengan senang hati. Berbagi itu manis. Manis seperti gulali.
No comments:
Post a Comment