Sunday 28 August 2011

cerpenku: Kayu Capa Kayu Kemuning


“Tibas pesai bagian, di tiuh Negararatu
Api munih harapan, sanak mak ngedok guna
Sanak mak ngedok guna, sakik mak ngedok banding
Ibarat kayu capa, banding kayu kemuning”

Nisa tertegun menatap tanah lapang bertabur ilalang, sejauh seratus meter dari becak yang ditumpanginya. Akhirnya pulang juga ia. Rindu yang tertimbun seolah memaksa keluar. Membuncah. Menggelegak. Bukan hanya rindu pada Nyanyik dan Yayik. Tapi pada seluruh isi atmosfer kampung tercinta. Tiuh Negararatu, sebuah kampung di ujung Kabupaten Lampung Selatan. Sepuluh tahun bukan waktu yang sebentar, Nisa diboyong kedua orang tuanya ke pulau Sulawesi saat akan menginjak bangku SMA dan segera setelahnya ia melanjutkan kuliah di negeri Jiran, Malaysia.

Lamun niku lapah, nyak jama sapa, Nis?” begitu tanya Yani, sahabatnya, sepuluh tahun yang lalu.
Ya khadu lah. Tidak ada apapun yang bisa kulakukan. Aku ini siapa. Tidak pantas berkata seperti tadi. Hati-hati di jalan.” Yani berlari setelah berderai-derai airmata. Tanpa menunggu kata-kata Nisa.


Itulah terakhir kali Nisa bertemu dengan Yani. Seorang sahabat yang amat ia kasihi. Tidak seperti anak-anak seusianya. Yani memiliki rasa rendah diri yang berlebihan. Sangat pendiam. Jarang sekali berbicara. Suka menyendiri. Berwajah pilu. Yani terlahir cacat. Kaki kirinya kecil, jauh dari ukuran normal. Dari keluarga miskin, miskin harta miskin adat, dan tentu juga miskin pandangan orang. Ia sering sekali dihina orang-orang, terutama teman-teman seusianya. Yani kecil. Ia hanya mampu menangis tertahan di balik pohon capa di pinggir padang ilalang. Suatu hari, saat Nisa juga ada disana. Sibuk menangkap capung. Tak sengaja menyimak nada pilu yang terlantun pedih itu.

“Sanak mak ngedok guna, sakik mak ngedok banding
Ibarat kayu capa, banding kayu kemuning
Banding kayu kemuning, janah mak sesuai
Minyak dicampor way, janah lampu mak ukhik”

Nisa mulai mengenal Yani sejak ia sering mendengar lantunan itu. Merasakan kepedihan yang mendalam. Nisa kasihan. Apalagi saat melihat kaki anak itu ternyata tidak normal.. Tak ada yang tak cocok dari mereka kecuali satu. Yani selalu berkeluh kesah. Sedih. Tak bersemangat. Merasa takdir yang ditentukan untuknya selalu buruk. Namun dari semua itu, betapa Nisa sangat mengagumi mata bening Yani. Mata bening yang masih indah meski bersanding dengan wajahnya yang pilu.

Ulah api niku bekawan jama sanak sa?” Basir, anak paling bongsor dan paling berkuasa di kalangan anak-anak seusia mereka itu mencegat Nisa suatu hari. Tak terima anak baru yang dalam pikirannya seharusnya ikut kelompoknya, ternyata akrab dengan seorang Yani. Beberapa anak menjadi ekor di belakang. Memandangnya tak suka. Nisa sama sekali tidak takut. Yani, tidak pantas untuk diremehkan seperti itu.
“Memang kenapa? Yani anak baik.”
“Dia cacat.”
“Lantas kenapa?” Nisa meninggikan suaranya. Kesal.
“Dia miskin.”
“Miskin bukan dosa.!”
“Dia juga bodoh. Tidak sekolah!” Kali ini Basir sudah kelewatan. Geraham Nisa mengeras. Tangannya mengepal. Ingin sekali dilayangkan tinju ke arah anak itu. Biar tahu rasa. Tapi saat itu, bola matanya menangkap tatapan Yani. Sedang bersandar di pagar tembok rumah yang bersisian dengan lapangan. Menunduk. Tanpa ekspresi. Lalu berlalu begitu saja.

Segera saja Nisa menyusul sahabatnya itu. Ingin klarifikasi. Tapi ternyata Yani sama sekali tidak terlihat tersinggung. Apalagi marah. Seperti biasa. Wajah duka itu tampak datar. Ada satu sisi dari seorang Yani yang tidak Nisa pahami. Saat-saat seperti itu, Nisa belum bisa mengenal sahabatnya ini.

Hidup Yani terlalu pedih untuk diterima oleh anak seusianya. Buyahnya meninggal gantung diri setelah musim paceklik memaksa mereka memiliki hutang belasan juta dengan wak Dullah. Setelahnya otomatis Umiknya yang banting tulang mencari uang untuk menyambung nafas dan membayar hutang meski itu tidak mungkin. Fisik Yani yang cacat tidak memungkinkan bisa bekerja berat mengangkut pasir di pinggir way seputih. Daing Abu, kakak satu-satunya yang kala itu seumuran anak SMA sudah minggat entah kemana. Kata orang, menjadi anak buah preman di ibukota. Yani. Sahabat Nisa yang hanya mengenyam bangku kelas empat sekolah dasar. Yani. sahabatnya yang selalu bersedih. Nisa tidak menyalahkannya. Nisa tulus untuk berteman dengannya. Setidaknya bisa sedikit membantu Yani, agar sahabatnya itu mau tersenyum. Meski hanya sesekali. Ah, entah bagaimana kabar sahabatnya itu sekarang. Nisa rindu.
Kak sappai nak. Iji lamban Suttan Mahkota.” Suara mamang becak menyadarkan Nisa dari lamunan. Rumah panggung itu tidak berubah sama sekali, meskipun terlihat lebih aus dimakan usia. Tidak lama dua sosok yang amat ia rindukan telah muncul di beranda rumah. Nyanyik dan Yayik.
+++
Nisa duduk di bangku kayu yang terletak di bawah pohon jambu samping rumah. Perlahan ia menarik nafas panjang, menatap jauh ke depan. Mendengarkan irama-irama khas pedesaan. Aroma yang sama. Suara burung, desiran angin sejuk, gerobak sapi, yang sedikit berbeda adalah beberapa bunyi kendaraan bermotor yang sesekali lewat.

Suasana sore seperti ini mengingatkannya pada masa-masa kecil dulu. Saat ia dan Yani tak kenal lelah bermain sepanjang sore. Sekedar berjalan menyusuri jalan di kampungnya, menaiki gerobak sapi yang melintas, merayu anak-anak laki-laki agar mereka diperbolehkan main kelereng juga gundu. Menangkap capung atau bermain layang-layang di tanah lapang beralas ilalang, tempat favorit mereka. Tentu saja dari semua yang mereka lakukan, Yani tetap sama. Tidak pernah tertawa. Wajah berduka. Sekedar mengekor Nisa di belakang. Hanya senyum tipis yang mampu ia gambarkan.

“Tibas pesai bagian, di tiuh Negararatu
Api munih harapan, sanak mak ngedok guna
Sanak mak ngedok guna, sakik mak ngedok banding
Ibarat kayu capa, banding kayu kemuning
Banding kayu kemuning, janah mak sesuai
Minyak dicampor way, janah lampu mak ukhik”

Niku mak bosan menyanyikan lagu itu terus, Yan?” Tanya Nisa suatu hari. Mereka berdua sedang duduk di bawah pohon capa. Sudah setengah jam, lagu itu terus terlantun.
Yani tak menanggapi. Hanya suara desahan pelan yang terdengar.
 “Nyak bosan mendengarnya. Sudah lima tahun kita berteman. Tidak ada lagu lain yang niku nyanyikan selain lagu ituNisa berkomentar asal sambil tertawa pelan. Kali ini Yani menoleh kearahnya. Lantas terdiam beberapa detik untuk menjawab,
“Lagu ini sangat pas untukku.”
Nisa mengernyitkan keningnya. Tak mengerti.
“Seolah lagu ini dibuat untukku. Anak tidak berguna. Sekedar kayu capa. Tidak akan sama dengan kayu kemuning.” Nisa tak bereaksi. Masih tak mengerti. Terlalu sering kata-kata pedih diucapkan seorang Yani.
+++

Sanak sikop mak patut berwajah masam seperti itu.” Nyanyik menangkap mendung di wajah Yani. Ia sedikit mengubah ekspresinya, malu. Yani datang untuk mengantarkan kue pesanan Nyanyik. Sehari-hari ia membantu umiknya berjualan penganan di pasar Natar. Nisa yang saat ini baru pulang dari sekolah menyambung omongan Nyanyik sembari mengganti seragam putih birunya.
Yani lagi banding-bandingkan kayu capa dengan kayu kemuning, nyik.” Godanya terkikik. Yani menoleh kearahnya. Ingin membantah. Tapi urung, ia justru berbalik menoleh, bertanya pada nyanyik
Nyik, kenapa kayu capa dan kayu kemuning berbeda ya? Kayu capa jelek. Kayu kemuning bagus.”
“kayu capa, kayu kemuning. Semua bagus. Kayu capa kuat untuk bangunan. Kayu kemuning bagus untuk hiasan. Berbeda. Tapi semua bagus.”
“Tetap saja kelihatannya kayu capa jelek, nyik.”
“Yani, bagus itu tidak selalu dilihat dari apa yang terlihat. Sama seperti manusia. Ada yang terlihat cantik dari luar. Tapi jelek hatinya. Ada juga yang hatinya cantik. Walaupun luarnya biasa saja. Kita harus tetap bersyukur. Allah Maha Adil untuk semua ciptaanNya” Jawaban nyanyik membuat Yani terdiam. Nisa tak tahu apa yang  dipikirkannya kala itu.

Nisa menarik nafas perlahan. Episode-episode masa kecilnya tidak pernah terlupa. Seperti penggalan sore hari yang selalu rutin menghampiri. Tatapannya meluas ke jalan raya. Matanya menangkap satu sosok gadis berjilbab rapi. Mengendarai motormatic menuju arah rumahnya. Setelah memarkir motornya, ia terlihat membawa bungkusan berwarna biru. Tersenyum menyapa Nisa,
“Asalamu’alaikum?” Nisa balas salam dan tersenyum.
Nyanyik ada?” Tanyanya kemudian
“Ada. Ayo silahkan masuk.” Ajak Nisa sambil memanggil Nyanyik.
“Ini titipan dari Batin, nyik.” Terang gadis itu sembari menyerahkan bungkusan kain biru di tangannya.
“Alhamdulillah. Terima kasih. Nurul dari sana?” Ia mengangguk. Nyanyik mengajaknya duduk, mengobrol barang sebentar. Gadis bernama Nurul ini terlihat tidak asing. Ah, Nisa amat kenal dengan mata itu. Mata yang sama dengan mata milik Yani. Mata indah sebening telaga.
“Ini Nisa, cucu nyanyik yang baru selesai kuliah dari Malaysia. Sedang liburan disini.” Terang nyanyik tanpa diminta. Nurul menyodorkan tangan menyalami Nisa.
“Nisa ini sahabat batinmu Nur. Mereka sangat dekat sampai sekolah menengah pertama.”
Nurul terpana. Mengangguk-ngangguk dan tersenyum sumringah padanya. Batinnya adalah Yani? Adik sepupuYani kah?

Belum sempat Nisa bertanya, cerita itu meluncur pelan. Nurul bercerita dengan berderai-derai airmata. Mata nyanyik pun turut basah. Bagaimana Nurul yang saat duduk di sekolah menengah atas mengidap penyakit glukoma. Segera setelahnya ia mengalami kebutaan total. Bagaimana Yani yang kala itu bekerja sebagai pengantar makanan bagi pasien di rumah sakit bisa mengenal Nurul. Sehari-hari Yani semakin rajin membesuknya. Mendengar cerita Nurul yang selalu penuh semangat, sama-sama mendengar kaset murottal, atau sekedar menemaninya dalam diam.

Suatu hari, ada kabar gembira bagi Nurul. Ada seorang dermawan yang bersedia mendonorkan matanya. Dan kenyataan bahwa pendonor itu tidak lain adalah Yani, membuat Nurul seperti disambar halilintar kala itu.
“Saat itu, Batin mengatakan satu hal padaku. Aku harus bisa memanfaatkan matanya. Agar berguna bagi orang banyak.”
Hati Nisa bergetar setelah mendengar semuanya. Ada rasa entah yang menjalar disana.
+++
Wajah sederhana berbalut kerudung cream itu terlihat amat sejuk. Pemilik wajah itu sedang sibuk menggerakkan tangannya diatas buku tebal penuh titik-titik. Huruf Braille. Sekian menit berlalu, Nisa hanya mampu memandanginya dari jauh. Air matanya jatuh perlahan. Betapa Yani adalah sahabat yang sangat ia kasihi. Apakah ia semakin menderita selama ini? Apakah keputuan yang diambilnya adalah sebab keputusasaan melihat dunia? Hati Nisa pedih. Isakannya tertahan.

Nisa mendekat. Yani merasakan kehadiran seseorang, lantas menoleh pelan.
“Ya..ni..?” panggil Nisa pelan. Tercekat oleh pilu juga rindu. Sekian detik udara menerjemahkan suara kearahnya, Yani menutup bukunya lantas berusaha berdiri
“Nisa? Nisa bukan?? Nisa?” Nisa meraih tangan dan menghambur ke pelukan sahabatnya itu. Isaknya tak tertahan. Menghadapi kenyataan.
Niku pasti bertanya, mengapa nyak mau seperti ini. Iya kan nis?” Nisa menggenggam tangan sahabatnya itu lebih erat. Memang itu yang ingin ia tanyakan.
Nyanyik benar nis. Kayu capa juga bagus, amat bermanfaat.” Bulir-bulir airmata semakin cepat mengalir di sudut mata Nisa.
Niku tahu? Mataku adalah mata seorang calon dokter. Aku bahagia, nis. Maka kau pun harus bahagia.”
Wajah itu berbeda. Terlihat menyejukkan. Senyum Yani teramat indah. Nisa yakin, sahabatnya itu memang telah menemukan kebahagiaannya.
Nyak tahu, nyak juga bahagia untukmu, Yani.”
Betapa hidup memiliki beragam rasa. Dan bahagia, adalah satu dari sekian pilihan yang ada. Yani sudah memilihnya.
+++

Footnote:
Tiuh : kampung
Nyanyik : Nenek
Yayik : Kakek
Buyah : Ayah
Umik : Ibu
Niku : Kamu
Nyak : Saya
Batin, Daing: Kakak
Sanak : Anak
Sikop : Bagus, cantik
Mak : Tidak
Bupattun : Syair lampung:
Tibas pesai bagian, di tiuh Negararatu : Ada satu cerita, di kampung negararatu
Api munih harapan, sanak mak ngedok guna : apalagi harapan, anak tidak berguna
Sanak mak ngedok guna, sakik mak ngedok banding : anak tidak berguna, sakit tidak terkira
Ibarat kayu capa, banding kayu kemuning : ibarat kayu kecapi dibandingkan kayu kemuning
Banding kayu kemuning, janah mak sesuai : dibanding kayu kemuning, jelas tidak sesuai
Minyak dicampor way, janah lampu mak ukhik : minyak dicampur air, jelas lampu tidak hidup

Lamun niku lapah, nyak jama sapa nis? : kalau kamu pergi, aku dengan siapa nis?
Ya khadu lah : ya sudah lah

Ulah api niku bekawan jama sanak sa? : kenapa kamu berteman dengan anak itu?
Kak sappai nak. Iji lamban Suttan Mahkota: sudah sampai nak, ini rumah Suttan Mahkota

(akan dimuat dalam antologi cerpen Forum Lingkar Pena Sesumatera 2011) insyaAllah

No comments:

Post a Comment