Friday 12 August 2011

cerpenku: coblos senyum


Siang yang panas. Semakin menyengat saja setelah lewat jam dua belas ini. Terlihat dari kejauhan fatamorgana air di jalan yang pelan-pelan dilalui pak Sumadi. Pria kurus hitam itu berkali-kali menyapu wajahnya dengan handuk kumal yang tersampir di bahunya, dengan tetap mendorong becak, sumber nafkahnya sehari-hari. Becak yang tak dinaiki karena lumayan babak belur kelihatannya. Roda yang tidak berbentuk lingkaran utuh lagi, sudah peot sana-sini, ban kempes di bagian depan sebelah kiri, juga engsel bagian bawah yang patah. Sial sekali hari ini, begitu rutuknya dalam hati.

Wajah letih itu menegang, menahan kekesalan, sebab tak diketahuinya mesti ditumpahkan pada siapa rasa kesal itu. Pada seorang Ibu dengan belanjaan penuh, penumpangnya tadi? Ah, justru itulah korbannya. Untung saja Ibu itu tidak seberapa marah, hanya teriak sekilas lalu meringis memegang lengannya yang memerah akibat becak pak Sumadi yang oleng dan jatuh begitu saja. Tapi apesnya Ibu itu tidak mau bayar.
“Anggap saja ganti rugi pak!” begitu katanya ketus tanpa menunggu tanggapan pak Sumadi. Padahal dia tadi mau keberatan, tapi tak juga dipanggilnya Ibu itu. Takut kalau balik marah membentaknya. Ditatapnya saja dari kejauhan si Ibu berjalan terseok-seok kearah rumah karena memang rumahnya tak jauh dari tempat kejadian becaknya oleng dan jatuh. Beberapa detik kemudian Ibu itu hilang setelah berbelok kearah gang sebelah kiri. Hilang sudah lima ribu melayang, keluhnya dalam hati, tapi yang keluar dari mulutnya hanya helaan nafas berat. Belum rejeki, hibur sudut hatinya yang lain.

Becak satu-satunya itu diparkirkan di samping rumah papannya, nanti sore saja kuperbaiki, batin pak Sumadi. Dengan lunglai, pak Sumadi masuk dalam rumahnya, dan duduk begitu saja di kursi kayu. Disapu lagi wajahnya dengan handuk yang masih setia tersampir di bahunya, lalu ia meraba kantung celana, mulai menghitung satu-satu lembaran lusuh uang yang didapat dari hasil narik becak hari ini.
“Sudah pulang pak?” suara yang begitu dikenal memecah lamunan pak Sumadi, spontan ia menengok dan melihat istrinya berdiri tak jauh dari tempatnya duduk.
“Ya.” Jawabnya parau.
“Kok tumben pulang cepat? Ini kan belum waktu Ashar?” Tanya istrinya lagi. Agak malas ia menjelaskan sebabnya, bikin tambah kesal saja.
“Becaknya rusak.” Jelasnya parau
“Apa?” Tanya istrinya lagi memastikan. Pak Sumadi hanya diam tak mau menjawab. Tanpa menunggu jawaban, istrinya melongok ke jendela samping rumah, menjenguk kendaraan penjemput rejeki milik mereka. Memprihatinkan memang, dari jendela saja sudah terlihat miring sana miring sini, tidak mantap lagi. Rumah berukuran 4 x 6 m itu kembali sunyi. Ikut sedih atas luka becak pak Sumadi yang bersender di samping menunggu diobati.

“Sudah to pak, jangan melamun. Sebentar lagi iqomah.” Seru Istrinya demi melihat pak Sumadi yang masih terpekur lemas sejak datang tadi, padahal suara adzan sudah cukup lama berseru-seru memanggil.
Astaghfirullah! Seru hatinya kaget. Pak Sumadi sadar betul, untuk urusan yang satu ini dia tidak mau rugi. Di dunia boleh susah, tapi di akhirat no way. Becaknya boleh rusak, tapi sholatnya no way. Tergesa-gesa pak Sumadi menuju masjid yang hanya berjarak seratus meter dari rumahnya. Untuk sejenak urusan becak menjadi terlupa.
***
“Sudah, pilih nomor satu saja. jangan lupa, wakilnya asli orang sini lo.” Suara pak Hadi rekan seprofesi pak Sumadi itu lantang terdengar. Dengan wajah yakin, dia katakan pada teman-temannya sesama tukang becak bahwa nomor satu adalah pilihan tepat. Ada sekitar enam becak yang parkir menunggu giliran mengangkut penumpang di perempatan jalan itu. Berikut enam pengemudinya, termasuk pak Sumadi. Mereka mendengarkan pak Hadi berkampanye ria panjang lebar begitu meyakinkan. Yang jadi sasaran hanya manggut-manggut saja mendengarkan. Entah setuju entah tidak, pak Sumadi sendiri pun tak tahu.

Pemilukada yang ramai digelar tahun ini cukup menyedot perhatian, terutama bagi mereka para tukang becak. Mereka asyik membicarakan pemilukada Kabupaten Merak yang satu bulan lagi akan digelar. Sebenarnya perhelatan rutin ini cukup memiliki arti bagi mereka, masyarakat kelas bawah. Karena dengan menyoblos itulah andil mereka untuk negeri ini bisa mereka lakukan, dibalik harapan janji-janji saat kampanye benar-benar bisa dilakukan dengan baik, tidak sekedar omong doang seperti yang sudah-sudah. Akibat janji yang keseringan dan hasilnya menurut mereka tak berdampak apa-apa, itulah yang membuat warga masyarakat kelas bawah seperti pak Sumadi kali ini tidak begitu semangat menyambut pemilukada. Padahal sebelumnya, dia termasuk simpatisan aktif terhadap calon pemimpin yang menurutnya paling tepat memimpin. Tapi toh hasilnya sama saja. Jadilah kali ini dia ogah-ogahan. Seperti terlihat hari ini, biasanya pak Sumadi ikut diskusi aktif dengan seru bersama tukang becak lainnya, tapi ini ikut manggut-manggut saja sudah cukup. Malas. Tidak penting. Begitu fikirnya.

Lebih baik memfokuskan perhatian pada calon penumpang becaknya. Kali ini para tukang becak harus lebih aktif menawarkan calon penumpang untuk mau naik becak,
“Becak bu.”
“Becak pak.”
“Becak neng.”
Begitu terus seharian, karena tentu saja selain antre dengan tukang becak lainnya, mereka juga harus bersaing dengan para tukang ojek disini. Dulu belum ada ojek motor di perempatan ini, sehingga hasil dari narik becak lumayan besar. Walaupun hanya tiga ribu per narik, namun seharian mereka bisa dapat tiga puluh ribu sampai lima puluh ribu. Tapi sekarang, semenjak ada saingan ojek motor, meskipun ongkosnya lima ribu tetap saja tak bisa dapat lebih dari tiga puluh ribu sehari. Sebenarnya beberapa rekan profesi pak Sumadi banyak yang beralih menjadi tukang ojek motor, jadi lebih enak tidak terlalu capai mengayuh becak, dan sebenarnya lagi dia ingin pula seperti itu, tapi apa daya motor saja tidak punya, pernah menyewa dengan tetangga tapi yang ada justru nombok, rugi. Apalagi jalan aspal yang sudah lama tidak diperbaiki sepanjang jalur narik becaknya sudah rusak parah, banyak yang berlubang. Bahkan kemarin, jalan itu yang membuat becaknya peot, tidak dibayar pula.

“Kalau pilih nomor satu, jalanan ini langsung diperbaiki. Itu janji mereka kalau terpilih. Enak to? bisa lancar narik becak, mulus jalannya.” Pak Hadi terus berkampanye, hidungnya pun ikut kembang-kempis seirama dengan naik turun nada bicaranya. Usahanya berhasil, beberapa rekannya manggut-manggut mantap terlihat setuju dengan ucapan pak Hadi.
“Itu kan baru janji, nanti setelah terpilih jangan-jangan tidak terbukti.” Pak Sumadi akhirnya angkat bicara. Bukannya ingin memojokkan pak Hadi, hanya saja itu benar-benar kekhawatirannya dan mungkin juga kekhawatiran rekan-rekannya. Pak Hadi menatap tajam ke arah pak Sumadi, siap-siap dibidiknya dengan pernyataan balasan.
lha wong calon wakil bupatinya orang sini. Lahir di Merak, besar di Merak. Pasti yang pertama kali diperhatikan ya Merak dulu, jalan kampungnya ini dulu yang diperbaiki.” Begitu serangnya balik. Mau menyangkal bagaimana lagi pak Sumadi ini, begitu pikirnya sambil terus menatap pak Sumadi. Yang ditatap justru perlahan menoleh ke arah lain, sibuk menerawang dengan pikirannya sendiri. Skak mat, teriak batin pak Hadi bangga.
***
Pemilukada digelar seminggu lagi. Saat-saat kampanye semakin gencar dilakukan oleh masing-masing calon. Sepanjang jalan, gang-gang, termasuk di seluruh penjuru Kecamatan Merak penuh terpasang warna-warni bendera, spanduk, pamflet, juga baliho bergambar dua wajah. Pak Sumadi yang berada didalam hiruk pikuk pemilukada pun mau tidak mau, tidak bisa tidak, ikut larut dalam suasana ini. Apalagi hari ini, pak Sumadi mulai berfikir keras. Bakal calon mana yang akan dipilihnya di pemilukada kali ini. Ah, batinnya terus saja bertolak belakang, satu sisi bilang untuk apa mikir-mikir, toh suaranya tak akan berpengaruh apa-apa. Gitu-gitu wae jadi tukang becak. Ada tidaknya pemilukada, menang tidaknya calon bupati yang dipilhnya, tidak akan mengubah profesinya dari tukang becak, sekalipun itu hanya naik pangkat jadi tukang ojek. Sisi yang lain bilang, walau bagaimanapun dia masih bermimpi memiliki pemimpin yang baik, memperhatikan masyarakat kelas bawah seperti keluarganya. Minimal yang bisa menurunkan harga sembako. Itu saja. Tapi sepertinya masih jauh dari kenyataan, begitu yang berkecamuk sedari tadi dalam otaknya.

Beberapa calon pernah datang khusus ke desanya. Ada yang kampanye terang-terangan, ada yang katanya silaturahmi, ada lagi yang mengadakan pengajian akbar. Beberapa kali pak Sumadi mendapat baju saringan tahu bergambar dua wajah orang. Lumayan untuk baju dinas narik becak. Istrinya lain hal, kemarin dia begitu senang sampai histeris memanggilnya, menunjukkan dua buah plastik. Yang satu kecil dan yang satu lumayan besar dengan isi berwarna sama, warna biru. Jilbab dan baju gamis dari pak Rino, begitu kata istrinya sumringah sambil membuka dan mencoba sendiri baju gamis itu. Jelas saja istrinya senang, toh dia memang belum punya yang seperti itu.
“pilih pak Rino saja pak.”  Imbuh istrinya mantap, di sela-sela dia sibuk mencoba jilbab dan gamisnya.
***
Sampai H-1 menjelang pemilukada digelar, pak Sumadi belum juga memastikan calon mana yang akan dia pilih. Bukan karena dia masih tidak peduli, tapi karena pak Sumadi masih bingung. Kali ini, tidak ada calon yang benar-benar sreg dihatinya.
“Pak, pak, gitu aja kok dibuat repot.” Begitu komentar istrinya mendengar jawaban pak sumadi saat dia menanyakan calon mana yang akan dipilih suaminya itu. Tapi pak Sumadi memang begitu, walaupun cuma tukang becak, dia tidak mau hanya ikut-ikutan orang lain, apalagi mau memilih calon bupati hanya karena selembar dua lembar baju yang dia dapat.
“Daripada memilih calon yang tidak ngasih apa-apa, lebih baik memilih yang ngasih jilbab, gamis, sembako. Apalagi kalau janji-janjinya bagus.” Istrinya kembali berkomentar setelah mendengar pendapat pak Sumadi, bahwa suaranya tidak bisa dibeli dengan barang-barang seperti itu. Tidak peduli dengan komentar istrinya, pak Sumadi sibuk dengan pikirannya sendiri. Berpikir keras calon mana yang akan dia pilih besok. Pak Sumadi ingin memilih calon yang benar-benar tulus berniat mengemban tugas dengan baik, tidak membiarkan bawahannya korupsi apalagi dia sendiri yang korupsi. Tapi bagaimana cara membedakannya, mana calon yang memiliki niat baik dan mana calon yang memiliki niat tidak baik. Jelas bisa dibedakan, begitu pikirannya lagi. Dari gerak-geriknya, dari keluarganya, dari senyumnya. Ya! Itu dia. Senyumnya.
“Akan kupilih yang tersenyum. Akan kucoblos tepat di senyumannya. Kalau semua senyum, akan kupilih yang senyumnya ikhlas, tidak palsu.” Pak Sumadi berkata dalam hati. Menyimpulkan hasil pemikirannya sendiri.
“Tapi bagaimana membedakan antara senyum ikhlas dengan senyum tidak ikhlas?” pak Sumadi kembali bingung dengan kesimpulannya barusan.
“Ya pokoknya yang paling enak dilihat itu berarti senyum ikhlas.” Jawabnya lagi, asal saja.
***
Wajah-wajah itu berjejer rapi. Ada lima pasang calon dan semua tersenyum, bahkan ada yang memamerkan gigi-giginya yang putih bersih. Cukup lama pak Sumadi menatap satu-satu wajah-wajah itu di balik bilik suara. Semakin lekat ditatap, wajah-wajah itu semakin terlihat aneh. Olala, pak Sumadi membelalak tak percaya. Senyuman dari wajah-wajah itu berubah menjadi seringai lebar, lama-lama menjadi menakutkan. Pak Sumadi mengucek-ngucek matanya, tak percaya dengan apa yang dilihatnya barusan. Seringai-seringai itu kian menakutkan, gigi-gigi yang tadinya putih bersih menjadi hitam berkerak, dan dari sudut-sudut mulutnya keluar darah yang menetes semakin banyak. Pak Sumadi ketakutan, cepat-cepat dilipatnya kertas itu asal-asalan. Sedikit berlari, dia menuju kotak suara, menyerahkan dengan petugas. Petugas yang keheranan melihat pak Sumadi ketakutan itu membantu memasukkan kertas suaranya kedalam kotak suara. Pak Sumadi berlari pulang. Tidak perduli dengan tatapan aneh tetangga-tetangganya yang masih antre menunggu giliran menyoblos. Tidak perduli dengan kertas suaranya yang belum dicoblos. Sama sekali tidak perduli.

Natar, 28 November 2010

(dimuat dalam antologi kolase season 2 : Dari balik jendela)



No comments:

Post a Comment