Sunday 28 August 2011

Puisiku: Puisi Prosaik

sebuah puisi prosaik perdana

Ini Tanahku (Tanahmu), Lantas Kau Hanya Menumpang
: Fadila Hanum

Sebersit rasa tak rela. Atas nyata yang diharapkan tak pernah ada. Lama menatap kapal-kapal yang merapat. Lelah pada dorongan air laut. Kembali pulang. Nyaris kehabisan nafas yang dipanjang-panjangkan. Maaf. Tapi aku masih ingin terlihat ada. Berbalik menengok kebelakang. Cengkeraman Krakatau masih menghujam rupanya. Aku kira telah berubah. Mengiringi zaman yang kian tak masuk akal. Merebut tanahku menjadi tanahmu. Meski tetap menjadi tanahku.


Disini. Ketika rahim menelurkan wujudku kedalam dunia. Nasib menuntunku menjadi pongah. Remeh memandang kau yang kala itu kebingungan. Terkatung-katung. Menunduk-nunduk. Budak -begitu panggilan sambutan yang kuberikan- harap ikuti setiap perintahku.
: Ini tanahku, lantas kau hanya menumpang

Tidak. Sudah kukatakan padamu. Kita tak sama. Bahkan oleh pijakan yang satu. Nyatanya tanah yang kini kurelakan bisa membuatmu tidak melayang pun bukan apa-apa. Beberapa jengkal tanah tanah berharga menjadi sumbangan. Ikan-ikan kecil yang tak menjadi hitungan, dengan rakus kau telan semuanya. Aku tertawa. Oleh ketotolan juga kemiskinan yang kau tunjukkan. Terima kasih sudah memberiku hiburan. Kau melewatiku. Kembali menunduk-nunduk. Entah segan hormat. Entah takut sembari mengumpat. Masa bodo! Kunikmati saja. Kuperintahkan duduk. Kau ikuti. Kuperintahkan berdiri. Lagi-lagi kau ikuti. Lucu sekali.

Masa itu aku adalah tuan
Masa itu kau adalah budak
Sepanjang jalan aku tetap pongah. Tak sadar kecolongan oleh tampang bodoh yang diperlihatkan. Satu-satu aku tergerogoti. Tadinya aku ingin menuduhmu yang tak tahu diri. Tapi vonis justru mengarah padaku yang zero usaha. Memang dunia milik moyangmu? Begitu ejek langit menertawakanku yang basah kuyup. Apa salahnya jika kuingin nikmati dunia? Bukankah itu cermin syukur menjadi hamba. Di sudut sana, aku sempat melihat sekilas. Kau sedang mengumpulkan bulir-bulir keringat.
: Ini tanahku, lantas kau hanya menumpang

Roda hidup terus berputar. Begitu katanya. Cepat membawa lari masa depan yang dikejar-kejar banyak manusia. Tak sedikit yang terlindas. Katamu, kau melihatku disana. Menjadi gepeng oleh besi yang tanpa ampun menggilas tubuhku. Lucu sekali. Kau mencoba bergurau padaku? Mengapa aku tidak kesakitan? Bahkan merasakan ada yang menyentuhku pun tidak? Percuma bicara denganmu. Kau hanya mengerti bagaimana menanam lantas memetik hasil. Sesekali nikmati hidup ini bung! Kau tak ubah seperti pemuja dunia. Aku tergelak atas senyum sebaris itu. Jawaban tolol dari orang tolol. Kau katakan Tuhan akan memberi jika kita mencari. Itu yang namanya rejeki. Maaf! Mungkin Tuhan kita tak sama?

Tikaman ini sejak kapan bersarang ditubuhku? Kau kah yang menancapkannya disitu? Luka itu terlanjur mengeram. Membiru. Nyaris membusuk oleh debu.

Gedung-gedung menjulang yang hanya mampu terlihat jika dongakan kepala ditujukan padanya seakan mengejekku. Sinis memandangku yang melewatinya beralaskan sendal jepit. Lantas apa? Kau ingin bilang aku kalah? Oleh kemalasan juga kebodohan yang dengan senang hati kujadikan rekan? Aku sudah muak mendengar ceramah dari mulut-mulut lipstik yang katanya cantik merona.
: Ini tanahku, lantas kau hanya menumpang
Sampai kapanpun itu masih berlaku. Meski tak sekerat roti bernama bumi ini menjadi milikku. Meski diatas kertas kau katakan ada namamu. Dengan berat –atau justru senang- hati berkata,
: Ini tanahmu, lantas kau hanya menumpang

(akan dimuat dalam antologi Puisi Forum Lingkar Pena Sesumatera 2011) InsyaAllah

No comments:

Post a Comment