Friday, 16 March 2012

tentang ayah-ayah kita


Sesore itu, aku masih betah berlama-lama di kosanmu. Sedari siang kita berjibaku mengerjakan tugas paper ini itu. Lantas melanjutkannya dengan obrolan santai.

Yang kuingat dari rantai cerita kita, adalah satu tema. Tentang ayah. Ayah-ayah kita. Ada sepiring gorengan dan dua gelas air bening di depan kita. Menjadi imbuhan dalam irama cinta yang kita dendangkan untuk mereka berdua: ayahmu dan ayahku.

Awalnya saat aku menangkap frame diatas meja belajarmu. Sepasang pengantin yang sudah kutebak adalah ayah dan ibumu.

Sore itu kita bercerita, tentang ayah-ayah kita.

“Ayahku tak lagi bersamaku. Beliau meninggal dunia saat aku masih kelas satu SMA.” Matamu tak lepas dari frame itu. Menatap penuh. Pun juga aku

Tak ada cerita yang panjang sebenarnya. Ceritamu singkat dan jelas. Namun yang terdengar oleh telingaku adalah nada-nada rindu. Aku mendalami sosok teduh itu. Raut senyumnya yang kaku menandakan ketegasan, kumisnya yang tipis, wajahnya yang sedikit cekung, kulitnya yang gelap, juga tatapan matanya yang teduh. Semua itu milik ayahmu. Juga milik ayahku.

 “ayahmu mirip sekali dengan ayahku.” Aku memecah hening setelah ceritamu berakhir.

“oh, ya?” matamu sedikit berbinar. Rindu yang memantul semakin jelas terlihat olehku. Aku mengangguk cepat.

Sore itu kita bercerita, tentang ayah-ayah kita.

Tentang betapa kekagumanku atas sosok ayahku, tak sejalan dengan keakrabanku dengan beliau. Ayahku yang idealis, paham agama, dermawan, suka berkebun dan memelihara ikan. Ayah nomor satu. Namun mengapa aku tak pernah bisa mengobrol banyak dengan beliau? Atau bercanda. Tertawa, bahkan bercerita tentang ini itu. Tentang sekolahku, teman-temanku, atau mungkin tentang seseorang yang mencuri simpatiku. Tak pernah. Pertanyaan yang kujawab sendiri kala itu.

“Ayahku memang tipe ayah yang pendiam. Aku juga. Namun kalau ayahku sudah bercerita, itu adalah cerita yang luar biasa.”

Wajahmu sumringah mengimbangi tawaku. Cerita favoritku dari ayahku adalah cerita masa ia remaja dulu. Berani, tegas, lucu, spontan. Bahkan kau saja bisa ikut tertawa kala aku mengulang cerita itu kepadamu bukan?

Aku terbiasa menjalani hari-hari tanpa mengobrol banyak dengan ayahku. Mungkin karena terbiasa, rasa kehilangan akan ketidaktahuannya dalam berbagai episode juga rasa yang mampir dalam diriku tak begitu kurasakan. Aku tak tahu bagaimana rasanya kehilangan. Sesuatu yang mungkin tengah kau rasakan. Aku merasa semua baik-baik saja.

Sore itu kita bercerita, tentang ayah-ayah kita.

Satu hal yang diam-diam terniat dalam hati. Satu titik balik dalam diriku. Aku bertekad untuk mulai belajar mengobrol sepatah dua patah kata dengan ayahku. Usaha yang ternyata sangat sulit. Beberapa kali aku berfikir keras ‘mau tanya apa?’ ‘mau bicara apa?’ sepanjang jalan aku dan ayahku berangkat bersama pagi itu. Hingga sampai kampus, hanya satu kalimat yang keluar dari lisanku,’anum kuliah bi, assalamu’alaikum.’

It’s sound funny? Yah, lucu memang. Butuh berhari-hari bagiku untuk bisa bertanya satu pertanyaan yang ternyata dijawab cukup panjang oleh beliau. Kau tahu, aku bersorak dalam hati detik itu. Mulai meniti kembali rajutan pelajaran ‘akrab dengan ayah’ berikutnya.

“Aku merindukan ayahku, num.” satu kali sms itu mampir di inbox handphoneku. Membuatku membeku dan lama baru membalas smsmu itu. Aku merasakan rindu yang menyala-nyala. Rindu yang terdengar oleh para malaikat. Rindu yang kau sampaikan dalam bait-bait doa. Juga dendang rindu yang terdengar kala itu. Kau bernyanyi sangat spesial. Kala penat merajai kita. Nyanyian rindu yang kau alunkan membuat hatiku ikut sesak dan mataku basah

Dan pohon kemuning akan segera kutanam
Satu saat kelak dapat jadi peneduh
Meskipun hanya jasad bersemayam di sini
Biarkan aku tafakkur bila rindu kepadamu

Walau tak terucap aku sangat kehilangan
Sebahagian semangatku ada dalam doamu
Warisan yang kau tinggal petuah sederhana
Aku catat dalam jiwa dan coba kujalankan

Meskipun aku tak dapat menungguimu saat terakhir
Namun aku tak kecewa mendengar engkau berangkat
Dengan senyum dan ikhlas aku yakin kau cukup bawa bekal
Dan aku bangga jadi anakmu

Ayah aku berjanji akan aku kirimkan
Doa yang pernah engkau ajarkan kepadaku
Setiap sujud sembahyang engkau hadir terbayang
Tolong bimbinglah aku meskipun kau dari sana

Sesungguhnya aku menangis sangat lama
Namun aku pendam agar engkau berangkat dengan tenang
Sesungguhnyalah aku merasa belum cukup berbakti
Namun aku yakin engkau telah memaafkanku

Air hujan mengguyur sekujur kebumi
Kami yang ditinggalkan tabah dan tawakkal

Ayah aku mohon maaf atas keluputanku
Yang aku sengaja maupun tak kusengaja
Tolong padangi kami dengan sinarnya sorga
Teriring doa selamat jalan buatmu ayah tercinta 


(Ebiet G Ade – Ayah aku mohon maaf)

Kita kembali bercerita, tentang ayah-ayah kita.

Ya, kita bercerita tentang laki-laki yang darahnya menitis dalam tubuh kita dan menuturkannya dengan rasa kasih. Detik ini aku masih mengingatnya. Detik ini aku sedikit demi sedikit sudah mengobrol banyak dengan ayahku. Hei, apakah itu berarti aku sudah dewasa?

Ayahmu dan ayahku. Ayah nomor satu.

Untukmu teman: teriring doa untuk almarhum ayahmu. Semoga cinta dan rindumu menjadi penerang di kuburnya dan mahkota indah untuknya di surga kelak :) aamiin

No comments:

Post a Comment