Wednesday 2 November 2011

Aku dalam rasa

Kali pertama, aku mulai mengeja rasa. Pada pelangi yang terlukis sempurna. Saat orang-orang histeris saling berkata,”Ada pelangi...ada pelangi.” Lantas berebut ingin menikmati indahnya. Aku hanya mampu berdiri di satu sudut. Berdecak kagum tanpa ingin si pelangi tahu. Setiap kali ia muncul, setiap itu pula senyum juga binar mataku terukir nyata. Beberapa kali pelangi menangkap basah aku yang sedang mencuri-curi pandang. Untunglah ia tersenyum, amat indah. tapi pelangi, rasa itu mudah saja terhapus seperti mudahnya engkau terhapus dari langit, begitu saja. Ah, langit...tiba-tiba kau berganti warna menjadi malam.

Aku melihat bintang. Ada begitu banyak bintang. Semua orang lebih suka melihat yang paling terang. tapi kau, bintang kecil. Mampu mencuri ekor mataku untuk tak berpaling. kau dengarkan segala rasa. Suka duka. Kau mengerlingkan cahaya dan selalu berkata:”tidak masalah, kamu pasti bisa.” Kukatakan padamu aku tak begitu suka kau nampak. Namun jawabmu kala itu,”aku ada. Disuka atau tidak.” Aku bingung. Sebab rasaku tiba-tiba membuncah. Aku larut berlama-lama dalam atmosfer yang kau bilang duniamu, bukan duniaku. Ah, tak apa bintang. Kataku kala itu. Kita sama. dan kamu istimewa. Sejak kapan kau tiba-tiba menghilang bintang? Menyisakan tawar yang membuatku tak bisa berkata-kata. Jujur, aku kehilangan. Maaf. Katamu kala itu. Aku tak pantas. Tak cukup terang untukmu. Aku kelu. Tak paham.


Tak lama, hujan tiba-tiba datang. Mengabarkan padaku tentang ia lewat titik-titiknya yang lembut jatuh di telapak tanganku. Seperti damai yang sempurna, hujan membawa kesegaran. Ia membuatku kembali menjadi kanak-kanak. Tertawa-tawa bersama dunia. Aku segan untuk mendekat, tapi ia menyapaku dengan indah. Aku suka pada kedatangannya yang tiba-tiba. Juga kejutannya yang membuatku bahagia. Kukatakan padanya, aku suka basah kuyup. Tapi aku pasti bisa dengan mudah terkena flu. Tiba-tiba ia menampar-nampar wajahku dengan keras. Kenapa hujan? “kamu tidak bisa terpesona olehku.” Dia menjawabku kaku. aku menggigil. Dingin. Panas demam.

Petir menyambar-nyambar. Menasehatiku lewat satu pesan,”kamu boleh suka. Tapi sekedarnya saja ya? Tak bisa jatuh. Sekedarnya saja.” Aku tahu. “lalu?” aku hanya tidak sadar. Maaf.

Entahlah, aku sedang memperhatikan angin saat ini. Ia yang begitu bebas kesana kemari. Menyapaku lewat lambaian yang menyegarkan. Tak wujud namun terlahir nyata. Mengajariku tentang pentingnya bersikap apa adanya. Mampu mengajakku menari bersama ilalang. “kau lucu sekali.” Begitu katanya tertawa. Ah angin. Kali ini, aku tahu kok bagaimana seharusnya rasa.  Sebab waktu bukan milikku sekarang. Tenang saja. Kita masih bisa berteman kan?

#aku hanya ingin ia. Ia yang kusebut autumn. Saat nanti. Saat waktu menjadi milikku. Amin... :)

No comments:

Post a Comment