Sunday 27 November 2011

Cerpen hebat :P

Inilah tiga cerpen hebat saya. Saya katakan hebat, sebab ada proses berbeda saat membuatnya. Lebih membuka mata. Ada sisi lain dunia cerpen yang baru saya ketahui. Ending tak tertebak. Saya baru belajar. Dan terima kasih aw, sudah menjadi guru saya :)

-------------------------------------------------------------
1. AKU MEMBENCI HENDRI


Aku membenci Hendri. Sama seperti aku membenci Pak Beni, kepala bagian personalia tempatku bekerja. Bedanya, kalau aku membenci pak Beni karena ia kaya dan sewenang-wenang. Memiliki kedudukan dan suka memaki orang seenak jidatnya, termasuk terhadapku. Aku iri. Mengapa orang dengan sikap menjijikkan seperti itu bisa kaya dan memiliki kedudukan penting di perusahaan ini? Sedangkan Hendri, aku membenci Hendri bukan karena ia kaya. Bukan juga iri. Iri dengan apa? Dia hanya pegawai rendahan di kantor ini. Meja kerjanya pun paling pojok belakang. Pergi bekerja hanya dengan sepeda motor butut keluaran tahun 2006. Rumahnya masih mengontrak di pemukiman padat penduduk. Untuk ukuran seorang ayah dengan empat orang anak. Hendri sama sekali tidak bisa dibilang sukses dalam pekerjaan.


Aku membenci Hendri. Entahlah, aku muak dengan wajahnya yang sok itu. Sok tidak memiliki beban. Sok ramah. Sok baik. Sok murah senyum. Setiap kali aku mendengar tawanya yang membahana jika ia dan rekan-rekan sekantorku mengobrol di jam istirahat, atau mendengar ia menyapa orang-orang yang berpapasan dengannya di kantor. Bahkan ketika ia melempar senyum lebarnya. Huek! Aku jijik sekali.

Aku membenci Hendri. Dengan segala ke-sok-baikannya. Mengapa aku katakan ia sok? Karena tidak seharusnya ia memiliki sifat dan sikap seperti itu. Penuh kepura-puraan. Lihatlah, ia selalu memasang wajah ceria seperti tidak memiliki beban apa-apa. Suka sekali mengobral senyum dan humor dengan rekan-rekan kerja. Seperti hari ini, aku tahu pasti dia baru saja keluar dari ruangan Pak Beni. Tentu saja habis dimarahi. Dimaki habis-habisan. Suara Pak Beni menggelegar sampai keluar ruangan. Semua orang disini mendengar. Tapi saat ia keluar justru melempar senyum pada para karyawan.
“Biasa…” Begitu katanya ingin mencairkan suasana.
Lantas beberapa menit setelahnya, dengan senyumnya yang terlalu lebar, ia katakan bahwa hari ini anaknya berulang tahun. Dengan tak tahu malu ia bertanya pada satu-satu rekan kantor. Siapa yang bisa memberikannya pinjaman uang. Beberapa orang hanya melengos pergi. Tentu karena hutang-hutangnya yang lalu belum dibayar. Untunglah, Mbak Wina berbaik hati meminjamkan satu lembar uang lima puluh ribuan padanya. Dengan senyum memuakkan itu, ia berkali-kali mengucapkan terima kasih. cih!

Aku membenci Hendri. Akan tetapi, meski wajahnya tidak bisa dibilang tampan. Ia cukup beruntung soal pasangan hidup. Ia memiliki istri yang sangat cantik. Tapi cantik-cantik begitu kalau marah seperti mak lampir. Bella namanya. Dua kali istrinya itu pernah kemari. Datang dengan wajah merah padam lantas menarik paksa tangan Hendri keluar. Olala, ternyata ia dimarahi habis-habisan dipojok parkiran motor. Masalah hutang. Bella marah karena uang sepuluh juta yang ia minta tak pernah ada. Bella kembali berkata, tidak ada yang bisa dibanggakan dari seorang suami sepertinya. Hahahaha! Meski Bella menurutku termasuk istri durhaka. Tapi dia benar.

Mungkin Hendri memiliki banyak hutang karena sikap Bella yang begitu glamour. Bisa terlihat dari pakaian dan perhiasaan yang menempel di tubuhnya. Sekali lihat bisa ditebak semuanya barang bermerek. Ah, suruh siapa menikahi wanita cantik tapi menyiksa diri begitu? Lagipula, Hendri dengan wajahnya yang kotak, alis tipis tapi terlalu panjang keatas, bibir tebal dan mata besar, Ia dan Bella bak bumi dan langit. Sangat bertolak belakang.

Aku membenci Hendri. Karena satu sebab yang tak bisa kuhindari. Ah, aku tidak ingin membahas saat itu kini. Aku sedang berjalan ke arah warteg. Ingin sarapan. Hari minggu begini, aku baru pulang dari mengantarkan anakku ke sekolahnya. Ia mengikuti ekstrakurikuler basket. Istriku bilang, ia akan pergi sebelum aku pulang dan memintaku membeli sarapan diluar. Sebelum aku masuk warteg. Mataku menangkap sesosok wanita yang kukenal. Bella. Berjalan hati-hati menuju perempatan jalan. Aku mengikutinya dengan tatapan mata. Hey! Bukankah itu pak Beni? Bella berjalan menuju ke tempat pak Beni berdiri di sebelah mobilnya. Tak lama, mereka sudah masuk kedalam mobil. Aku kaget. Mengapa mereka pergi berdua? Ada hubungan apa diantara mereka? Aku mencium gelagat yang tidak beres.

Aku membenci Hendri. Tapi kali ini aku tidak bisa tidak membantunya. Aku harus mengetahui kemana Pak Beni pergi bersama Bella. Aku bergegas menghidupkan sepeda motorku lantas mengikuti mobil Pak Beni dari belakang. Mereka belok kearah jalan Harapan Jaya. Lantas parkir tepat di depan Hotel Surya. Tidak salah lagi! Dugaanku bahwa adanya aroma perselingkuhan disini, nyaris seratus persen terbukti benar. Dalam degup jantung yang tak karuan, aku terus mengikuti mereka. Perlahan kuintip mereka dari pintu masuk hotel. Terlihat mereka berjalan dengan mesra, kearah koridor. Dadaku semakin berdegup kencang. Aku bergegas masuk kedalam hotel. Mempercepat langkahku untuk menyusul mereka. Mereka masuk kedalam lift. Sebelum pintu lift sempat menutup, aku segera menahannya dengan tanganku.

Seperti tayangan slow motion, kulihat wajah Pak Beni kaget bukan kepalang melihatku. Wajah Bella juga tak kalah kaget. Menganga melihatku seperti melihat hantu. Secepat kilat aku masuk kedalam lift. Kutekan tombol close dan angka lima.
“Mas!!!” Pekik Bella tertahan.
Aku tak bisa lagi menahan diri. Kulayangkan tinju membabi buta kearah Pak Beni. Bagaimana nasib pekerjaanku nanti, itu urusan belakangan. Aku seperti orang kesetanan. Kubenturkan berkali-kali kepala Pak Beni ke dinding lift. Ia sudah nyaris pingsan. Darah segar mengalir deras dari keningnya. Suara jeritan Bella tak berhenti. Wanita sialan itu tak kuasa melakukan apapun.

Tubuhku terhuyung-huyung lemas. Pak Beni sudah tak bergerak. Terkapar di sudut lift. Mungkin dia sudah mati. Kuharap begitu. Aku kemudian melirik tajam kearah Bella yang berdiri dengan wajah berair. Ia sangat ketakutan. Tubuhnya gemetaran. Dengan sisa-sisa tenaga yang ada, aku menariknya keluar dari lift. Menuju tangga di sebelah kiri. Keatas atap hotel. Tanpa berkata sepatah kata pun, aku terus menariknya paksa. Ia menjerit-jerit memohon ampun. Tapi aku sudah tak bisa berfikir apa-apa lagi. Aku akan mengajak paksa wanita sialan ini  pergi ke neraka. Melompat dari atap hotel ini. Terbayang satu-satu wajah keempat anak-anakku. Airmataku membuncah keluar. Aku limbung. Jatuh begitu saja sesampai di atap hotel. Bella ikut terjatuh disampingku. Masih bisa kudengar suara tangisannya. Beberapa detik kemudian, aku sudah tidak ingat apa-apa lagi.

Aku membenci Hendri. Sangat membencinya. Karena Hendri adalah aku. Aku adalah Hendri.

***
Selesai

-------------------------------------------------------------------------------------

2. ROMANSA DUA DUNIA

Aku suka tempat ini. Sejak sebulan yang lalu aku mengetahui tempat ini, aku sudah sering kemari. Biasanya di sore hari. Menghabiskan waktu di padang luas bertabur ilalang. Kau tahu jika angin sore bertemu ilalang? Mereka akan menari dalam hembusan melodi yang menenangkan. Menanti senja yang berkabar malam. Ah, aku selalu menikmatinya. Makanya tempat ini sudah kuanggap seperti rumahku sendiri. Sekedar  duduk di bawah pohon besar dekat jalan besar, menyusuri lautan ilalang dihempas ombak angin yang lembut, atau memperhatikan orang-orang yang lalu lalang disekitarnya.

Tempat ini cukup sering dikunjungi orang-orang. Meski bukan tempat rekreasi. Hamparan ilalang menurun kearah barat, jalan setapak yang jika kita terus berjalan kesana akan ditemukan sungai kecil yang bening airnya. Banyak yang suka berlama-lama berada di tempat ini. Terutama pasangan kekasih. Begitu pula dengan lelaki itu. Beberapa kali aku melihatnya datang ke tempat ini. Bersama seorang wanita. Uh ya! kemungkinan besar itu kekasihnya. Atau istrinya? Mereka terlihat mesra. Ah, aku tak perduli. Aku hanya suka melihat lelaki itu. Melihat sosoknya yang jika terpendar oleh cahaya senja, ia akan terlihat seperti lukisan emas nan sempurna.

Aku tahu namanya. Jun. Entahlah, Junaidi atau Arjun? Aku beberapa kali mencuri dengar wanita yang bersamanya memanggil ia begitu. Aku suka diam-diam memanggil nama itu. Dalam diam. Pelan. Takut kalau-kalau dia mendengarnya.

Kesekian kali mereka datang bersama. Aku kembali menangkap senyum Jun yang menawan. Aku suka memperhatikannya dari bawah pohon besar ini. Karena letaknya diatas tanah yang sedikit lebih tinggi dibandingkan tanah padang ilalang. Sehingga aku bisa melihatnya dengan jelas. Kalau mereka berada cukup jauh dari pohon ini. Aku akan diam-diam menguntit dari belakang. Berjalan perlahan takut kalau-kalau mereka menyadari kehadiranku. Ikut berlari-lari pelan jika mereka tertawa-tawa saling berkejaran. Setiap kali melihat senyum Jun, senyumku akan ikut mengembang. Aku jatuh cinta dengan senyumannya itu. Lepas. Bebas. Aku ingin terus-terusan memandanginya. Meski begitu, sedihnya aku karena ia tidak pernah menyadari keberadaanku. Aku ingin sekali melihat bayanganku tergambar di retina mata indahnya itu. Juga ingin sekali ia mendengar suaraku. Tapi, ah sudahlah. Aku cukup senang bisa melihatnya. Cukup dengan melihatnya.

Hari ini Jun datang lagi, tapi ia datang sendirian. Ya sendirian. Ah, aku begitu senang sampai ingin melompat-lompat kegirangan. Apakah ini waktuku untuk mendekatinya, lantas mengajak berkenalan? Ah, bahagianya. Aku harus bagaimana? Berpura-pura berjalan lantas tak sengaja menabraknya? Berkata, maaf. Dan berbasa-basi kecil lantas mengajak berkenalan? Atau pura-pura terjatuh didepannya sehingga ia membantuku dan aku bisa dengan mudah mengajak berkenalan. Hai namaku Nay. Kamu? Duh, hatiku berdebar tak karuan.

Selangkah, dua langkah, aku semakin mendekat. Kini aku berada tepat satu langkah dibelakangnya. Jun hanya terduduk diam ditengah-tengah ilalang. Aku tak bergeming. Ikut duduk memandangi punggungnya. Tak lama ia berbaring dan memejamkan mata. Aku bergegas mundur dan pelan-pelan mendekatinya lagi dari arah samping. Aku melihat ada air yang jatuh pelan dari sudut matanya. Keningku berkernyit heran. Ada apa dengan Jun? Apakah ia ada masalah? Apakah ini ada hubungannya dengan wanita yang beberapa waktu lalu datang bersamanya? Aku ingin bertanya padanya. Ingin menyentuh bahu dan menenangkannya. Tapi takut kalau itu justru membuat keadaan bertambah runyam.

Beberapa saat kemudian ia membuka mata. Aku kaget dan bergegas mundur menjauh. Ia berdiri dan berjalan terhuyung ke arah jalan besar. Aku mengikutinya lagi. Semakin aku mendekat, semakin terdengar jelas suara isakannya yang tertahan. Semakin lama isakan itu semakin keras. Ada apa Jun? aku cemas melihatnya seperti itu.  Aku ingin melihat wajahnya. Tapi ia terus saja berlari. Seperti orang kesetanan. Tidak perduli pada tatapan satu dua orang di sekitar. Aku diam terpaku. Tak mengerti. Kupandangi sosoknya yang semakin mengecil menjauh. Ia masih terus berlari dan sekejap menghilang di balik pohon besar. Sudahlah, aku tak hendak mengejarnya. Mungkin ia besok akan datang lagi.

Sore ini Jun datang lagi. Benar kan dugaanku? Kenapa hari ini ia tampak pucat? Ah, tetapi ia tetap tampan. Aku mungkin berhasil berkenalan dengannya kali ini. Aku akan berusaha. Jun melangkahi satu-satu ilalang yang memanjang. Berjalan perlahan. Tangannya direntangkan kearah ilalang disamping kiri dan kanan. Menyibakkan jari-jarinya. Merasakan sentuhan ilalang. Ia terus berjalan. Entah kemana. Aku terus mengikutinya. Begitu bersemangat sampai nyaris terjatuh berkali-kali. Tiba di jalan setapak yang membatasi padang ilalang dan kebun milik orang, tiba-tiba Jun menengok ke belakang. Aku kaget bercampur heran. Nafasku tertahan. Ia melihatku. Mengamatiku dari ujung kaki hingga ujung kepala. Aku sampai salah tingkah dibuatnya. Aduh bagaimana ini? Apakah dia akan memarahiku karena telah mengikutinya?
Jun tersenyum. Hey! Jun benar-benar tersenyum padaku.
“Siapa namamu?”
Apa? Jun bicara padaku? Bertanya namaku? Apakah aku bermimpi?
“Ee…mm…na…namaku Nay. Nayla. Kamu?” Jawabku terbata-bata
 “Aku Jun.” Ia tersenyum lagi. Manis sekali.
“Kamu sering kesini?” Tanyanya lagi. Aku mengangguk malu-malu. Mungkin wajahku memerah kini. Duh!

Akan tetapi, percakapan kami terhenti oleh kehadiran seorang Bapak. Ia akan melewati jalan setapak tempat kami berdiri, berjalan kearah yang berlawanan. Dibelakangnya menyusul seorang Ibu. Mungkin itu istrinya.
“Pak! Tunggu pak. Jalannya pelan-pelan toh pak. Ibu takut nih!”
“Takut apa toh bu?”
“Ih bapak ini. Emang ibu ndak tahu apa? Kata Bu Ratmi, semalam ada yang bunuh diri disini. Tergantung di pohon itu kan pak? Seorang pemuda katanya. Belum juga hilang rumor tentang hantu gentayangan seorang gadis yang meninggal akibat mobil yang ia kendarai menabrak pohon besar itu. eh, ini ada lagi.” Si Ibu menunjuk kearah selatan, dekat dengan jalan besar. Menunjuk pohon tempat favoritku. Aku terhenyak dan menoleh kearah Jun. Dia tersenyum dan menunduk pelan.
 “Cepatlah bu. Bulu kuduk bapak berdiri semua nih. Kenapa jadi bahas soal itu sih.” Si bapak terlihat gusar.
Mereka bergegas pergi. Hening. Aku kembali menengok kearah Jun.
“Jun, yang mereka maksud itu kamu?”
Jun mengangguk pelan dan lagi-lagi ia tersenyum padaku. Ah, pantas saja ia bisa melihat dan menyapaku hari ini.

Langit senja sebentar lagi mempersunting malam. Angin kembali mengajak ilalang menari dalam hembusan melodinya. Penasaran dengan apa yang terjadi setelah ini? Aku juga.
***
Selesai

-----------------------------------------------------------------------------------

khusus yang ketiga. Mungkin endingnya memang tertebak. tapi entahlah, saya begitu ringan saat menuliskannya :)

3. INGIN KUJAWAB TANYA

“Aku tidak pernah mencintaimu!” Begitu yang sering kukatakan kepadamu. Setiap kali kita saling berdebat tentang harga beras, lauk pauk, kredit panci, kredit televisi, susu untuk Ali, tagihan rekening listrik, angsuran bank keliling, pun bahkan sampai kopi yang kuseduh tanpa gula. Keluhan dan rutukanmu kian panjang jika ada satu saja dari daftar masalah hidup yang mau tak mau harus kita bahas. Awalnya aku lebih banyak diam. Untuk apa menambah panjang rutukanmu yang memang sudah melebihi panjang gerbong kereta api. Tapi ada waktunya aku tak tahan mendengar semua itu. Lantas kukeluarkan kalimat sakti yang akan membuat gerbong kereta apimu tiba-tiba terputus.

“Aku tidak pernah mencintaimu! Sejak dulu!”
Kuakui kalimat itu sangat egois. Setiap kali aku mengucapkannya, kamu terdiam. Beberapa saat tak ada lagi rutukan demi rutukan.  Aku kembali bisa terfokus pada siklus keluar masuk barang dagangan di warung kecilku. Tak lama kamu keluar. Entah mencari penumpang ojek, mengobrol dengan Pakde Slamet, atau ke rumah Pak Lasno, Kepala Dusun. Bertanya kapan jatah beras raskin datang bulan ini. Tak lama kamu datang lagi. Akibat daftar masalah dari yang sekecil debu sampai ke yang sebesar batu tak pernah tak ada. Keluhan dan rutukanmu akan kembali terdengar. Lagi-lagi kita berdebat tentang harga beras, lauk pauk, kredit panci, kredit televisi, susu untuk Ali, tagihan rekening listrik, angsuran bank keliling, pun bahkan sampai kopi yang kuseduh tanpa gula.

Aku lelah terus-terusan bertengkar denganmu. Tapi entahlah, aku tidak bisa menghindar. Semua masalah yang kita bicarakan selalu berujung pada keluhan dan rutukanmu yang panjang itu. Ingin sekali kukatakan, siapa yang menyuruhmu menikahiku? Membawaku untuk sekedar menemanimu mengarungi hidup dengan keluhan demi keluhan, rutukan demi rutukan.

Dalam satu hari, kamu hanya memberiku uang tiga puluh ribu rupiah. Uang yang hanya berumur satu hari. Hanya cukup memenuhi kebutuhan dalam sehari. Aku terus memutar otak, akan kukemanakan saja uang yang sedikit itu. Kupaksa mengambil sepersekian persen untuk berjaga-jaga. Untuk membayar biaya SPP Leni karena tidak diterima di sekolah negeri, untuk keperluan sekolah Lisa, juga susu untuk si bungsu Ali. Untunglah, aku terbantu dengan pendapatan dari warung kecilku. Saat keadaan benar-benar buntu, aku bisa menjadi penolongmu.

Kuakui, kamu banting tulang kesana kemari untuk menyambung nafas kita dari hari ke hari. Kamu berangkat subuh sekali, menjemput rejeki, mengantarkan pelanggan ojekmu hilir mudik saban hari. Lantas kembali kerumah pukul tujuh pagi. Untuk mengantar Leni dan Lisa ke sekolah. Lima belas menit kemudian kamu pulang. Kembali datang dengan keluhan dan rutukan. Kali ini lebih panjang. Di jalan, kamu tak sengaja berpapasan dengan rentenir, yang kita pinjam uangnya sebesar lima ratus ribu rupiah. Pinjaman yang hingga saat ini terus mencekik kita. Kembali kutelan keluhan dan rutukanmu tentang harga beras, lauk pauk, kredit panci, kredit televisi, susu untuk Ali, tagihan rekening listrik, angsuran bank keliling, pun bahkan sampai kopi yang kuseduh tanpa gula. Rutukanmu kian panjang. Bahkan saat kau membuang hajat di wc. Sama sekali tidak berhenti.

Dalam tidur pun kamu tidak diam. Suara dengkurmu seperti lagu usang yang wajib kudengar setiap malam. Wajahmu selalu terlihat lelah. Aku juga lelah. Aku ingin berhenti. Tapi tak bisa. Keluhan yang seharusnya menjadi milikku. Nyatanya selalu keluar dari lisanmu. Aku selalu terdiam tak menanggapi sembari berujar dalam hati, tidak perlu ditambahi. Cukup kamu saja yang mengeluh dan aku mengiyakan. Ingin sekali aku memiliki suami yang terus memberiku semangat dan kata-kata menenangkan setiap kali. Tapi kamu tidak, Mas! Kamu terus mengeluh tentang suara klakson sepeda motormu yang tak hidup, angsuran bank keliling yang harus kau bayar hari itu, rengekan Lisa yang minta dibelikan crayon dan tempat pensil. Aku diam. Tak hendak berkata apapun yang bisa mengurangi bebanmu meski hanya sekedar kata, “Sudahlah mas, pasti ada jalan.” Aku tidak pernah mengatakan itu. Tidak perlu.

Aku ingin memberitahumu satu hal, Mas. Aku menyesal…

Hidup kita seperti daun yang kian lama kian mengering. Kalau sudah begitu. Aku kembali mengingat-ingat masa-masa muda dulu. Cukup banyak antrian pria yang ingin meminangku. Namun karena suratmu kala itu yang jumlahnya sepuluh kali lipat dari yang lain. Juga keinginan dan kegigihanmu yang berpuluh kali lipat dibanding yang lain, aku lantas memilihmu. Kamu lebih cepat berani datang dan memintaku menjadi pendamping seumur hidup. Tidak ada rasa berdesir-desir di hatiku kala itu. Tapi kupikir ia akan terus tumbuh seiring kebersamaanku denganmu. Tapi tak jua kurasakan cintaku padamu. Yang mestinya ada walaupun harus menelan semua rutukanmu. Aku tak pernah meragukan cintamu padaku. Tapi ah, apalah arti semua itu jika hari ini kita tak memliki beras satu butir pun.

“Mas, beras kosong.” Hanya tiga kata itu yang terucap, namun cukup mampu membuatmu kembali merutuk lagi. Tentang beras raskin yang tak kunjung tiba, lauk pauk, kredit panci, kredit televisi, susu untuk Ali, tagihan rekening listrik, angsuran bank keliling, pun bahkan sampai kopi yang kuseduh tanpa gula. Panjang sekali sampai mulutmu berbusa-busa. Saat di satu titik aku tak tahan. Kembali kuucapkan kalimat saktiku yang kedua.

“Kamu tak pernah memberiku bahagia. Satu janji yang kamu katakan saat melamarku!” Setiap kali aku mengucapkannya, kamu terdiam. Lagi-lagi. Ada rasa tak enak yang menjalari tubuhku kala kata-kata itu keluar dari mulutku.

Ingin sekali mengulang waktu. Atas diammu yang mungkin terjemahan dari tanya,” Benarkah kau tidak mencintaiku? Benarkah kau tidak bahagia denganku?”

Hari itu. Hari yang tak bisa kuterjemahkan artinya. Kamu bungkam seribu bahasa. Tenang seperti air dalam. Kamu diam sembari mengotak-atik sepeda motormu yang mau diapakan seperti apapun tetap terlihat usang. Lantas kamu tak juga berkomentar tentang permintaan Lisa yang minta dibelikan baju muslim. Atau kedatangan Bu Warsih yang mengomel-ngomel menagih hutang. Kamu baru tahu aku berhutang saat itu. Aku bersiap–siap mengeluarkan alibi atas tuduhanmu yang kukira pasti muncul. Aku mengira kita akan kembali berdebat tentang harga beras, lauk pauk, kredit panci, kredit televisi, susu untuk Ali, tagihan rekening listrik, angsuran bank keliling, pun bahkan sampai kopi yang kuseduh tanpa gula.Tapi diluar dugaan, kamu diam. Sama sekali diam. Aku sedikit heran tapi juga lega.

Pukul lima sore, kabar itu terdengar. Kamu yang kusebut daun. Tiba-tiba jatuh. Menghilang…

Aku runtuh. Kamu pergi tanpa pesan. Setengah jam sebelum aku terduduk, dengan tulang dan sendi yang lolos satu-satu di samping jenazahmu. Satu jam sebelum itu, kamu masih mengotak-atik motormu sembari mendengar bu Warsih menagihku. Kamu masih menawarkan diri untuk membuat sayur ikan patin kesukaanku. Kamu masih menyisakan kopi pahit jatahmu untukku. Aku mimpi bukan? Mari kita bangun, Mas! Keluarkan lagi semua keluhan dan rutukan itu. Lantas akan kusambut dengan kalimat menenangkan,“Tidak masalah. Kita pasti bisa melewatinya.”

Kutatap kosong wajahmu yang membengkak dan kaku. Kamu tertabrak truk saat hendak menyeberang menuju pasar. Begitu kabar yang kudengar diantara sayup-sayup suara kiri dan kanan. Kehilangan nyawa begitu saja. Tidak sempat diberi pertolongan. Aku masih menatap wajahmu. Garis-garis kening yang menyiratkan kerasnya perjuangan hidup. Atau mungkin itu tanya, apakah aku mencintaimu? apakah aku bahagia denganmu? Bahkan kau tidak memberiku kesempatan untuk merawatmu di detik-detik terakhir dan memberiku waktu mengklarifikasi juga menjawab pertanyaanmu.

Aku mencintaimu, Mas. Atas usaha kerasmu. Meski hanya lembaran usang ribuan yang kau ulurkan padaku. Aku mencintaimu, Mas. Yang memberiku jatah kopi dan tidak lupa membelikanku ikan patin barang satu atau dua ekor. Aku mencintaimu, Mas. Mencintai kamu yang kusebut daun. Mencintaimu yang tak henti bertanya jika ada yang tak beres dengan wajahku. Apakah nafasku masih sesak? Apakah kepalaku masih pusing? Apakah obat asmaku sudah habis?

Aku mencintaimu. Aku merindukanmu. Merindukan keluhan dan rutukanmu yang melebihi panjang gerbong kereta api itu.

Hari-hariku sudah renta, Mas. Detik ini, aku sedang menunggu kedatangan anak-anak dan cucu-cucu kita. Penebusan dosa yang kubayar dengan air mata dan keringat darah untuk membuat anak-anakmu, anak-anak kita, menjadi orang. Mereka harus menjadi menjadi orang, Mas. Agar tak menjadi manusia perutuk seperti kita. Agar tak berakhir penyesalan seperti yang terjadi padaku.

Tak lelah kembali kusampaikan dalam doa-doa panjangku. Sejak hari itu. Hingga detik ini. Tiga puluh enam tahun setelah kamu pergi begitu saja. Membawa tanya, apakah aku mencintaimu? Apakah aku bahagia denganmu?

Daun yang luruh satu-satu. Menjadi penghitung jawab yang kulirihkan untukmu. Aku mencintaimu, Mas. Aku bahagia kala bersamamu.

***
selesai

------------------------------------------------------------------------------


Ketiga-tiganya saya ikutkan dalam lomba fiksifoto yang diadakan oleh leutika prio. Tidak menang. Itu kabar baik. Dan kabar yang lebih baik. saya benar-benar telah belajar membuat cerpen yang lebih baik (nyontek kata2nya aw :P)

Semagnum!!!



No comments:

Post a Comment