Oleh Faricha Hasan
Awalnya, menjadi seorang fesbuker hanyalah sebuah iseng untuk sekedar kabur dari penat yang saya rasakan. Tak ada sebuah target pasti kecuali hanya having fun saja and no more. Namun
kemudian, banyak hal yang ternyata bisa saya ambil hikmahnya. Dunia
maya, seperti yang banyak orang katakan, bisa berdampak positif atau
negatif tergantung dari penggunanya. Jadi, alih-alih menyia-nyiakan
waktu di dunia fesbuk hanya dengan sekedar iseng dan pelarian
saja, saya mulai mencoba hal baru, membuatnya lebih berguna agar saya
tidak termasuk orang yang merugi. Ya, ibarat pepatah, sekali dayung dua
tiga pulau terlewati, saya mencoba memanfaatkan fesbuk sesuai hobi yang lama terpendam. Menulis. Sebuah hobi yang seperti terfasilitasi di jagat fesbuk dengan adanya fitur note yang kemudian merambah lebih luas dengan mengikuti berbagai lomba yang banyak diadakan secara online. Bersyukur, banyak akun di friendlist saya adalah para penulis, penerbit, atapun mungkin hanya sekedar penyuka buku yang menambah referensi kepenulisan saya. Ah, this is I called a gift. Thanks God for this.
Mulailah
saya menjadi salah seorang ‘hantu’ lomba. Berbagai lomba menulis,
sebisa mungkin saya ikuti. Meski masih lebih sering kalah dibanding
menang, toh semangat saya mengikuti lomba tetap berkibar. Ketika kalah
menghampiri, saya tetap merasa mendapatkan hadiah yang tak terkira.
Sebuah pengalaman dan juga teman baru.
Seperti beberapa bulan yang lalu ketika sebuah penerbit indie yang menjadi teman di fesbuk saya, leutikaPrio, mengadakan lomba Kumcerku di leutikaPrio. Lomba yang menyatukan saya dengan tiga fesbukers di friendlist saya
untuk berantologi. Kami berempat bertemu di dunia maya. Kami mempunyai
hobi yang sama; sama-sama suka lomba dan sama-sama suka nulis. Klop, deh!
Tanpa rencana, saya rasa, dalam hari hari melewati masa kreatif
pengumpulan naskah cerpen, kami menjadi dekat laiknya sudah saling kenal
di dunia nyata..
Satu bulan lebih berjibaku menyiapkan
lomba itu nyaris membuat kami ‘diskusi’ hampir tiap hari. Saling tukar
cerpen yang harus kami kasih ulekan sambel −istilah kami untuk
menyebut kata kritik− ketika selesai menikmatinya. Tak mulus memang, di
sela kesibukan kami masing-masing, seringkali banyak detlen yang meleset. Rencana onlen dan chatting bersama pun juga tak terwujud karena keterbatasan inet
dan waktu yang lebih sering tak bisa kami padu padankan. Namun lagi
lagi kami harus banyak bersyukur karena masih bersemangat melanjutkan
perjalanan pena hingga naskah kumcer berhasil kami kirim. SKETSA 13,
itulah judul cerpen utama (sekaligus judul kumcer) yang pada saat
pengumuman lomba harus rela tak masuk dalam lima besar. Kecewa? Tentu
saja.
Ya, tentu saja kami kecewa dengan sebuah kekalahan
meski ini bukan kekalahan pertama kami. Namun kekecewaan tak selalu
harus diratapi dan membuat sebuah keterpurukan, kan? Pun kami. Kami
sepakat mengambil kesempatan menerbitkan kumcer secara indie seseuai
tawaran leutikaPrio. Kesibukan baru. Kami berjibaku memvermak isi SKETSA 13. Karena bukan lomba, tak ada batasan jumlah cerpen, kami pun deal untuk
menambah muatan cerpen kami hingga menjadi tujuh belas dan muncul judul
baru. SKETSA 17. angka yang kata salah seorang di antara kami ‘angka
keramat’. Hehe..mungkin. ^^v
Seperti yang saya katakan,
selalu ada hikmah di balik kekalahan. Dan ada hadiah indah juga di
dalamnya. Bagi saya pribadi, Allah yang Mahabaik menghadiahkan tiga
orang saudara lagi dalam hidup saya. Tiga orang yang bahkan belum pernah
saya temui di dunia nyata.
Pondok Autumn; Not an ending. It is a movement and a continuum (sekarang namanya ganti Pondok Semesta)
Fadila Hanum. Saya memanggilnya Anum. Empat belas bulan lebih muda dari saya. Seorang gadis Natar yang mengenalkan saya dengan tempoyak. Cerpenis
handal yang ide-idenya seringkali membuat saya terperangah.
Cerpen-cerpennya sudah termuat dalam beberapa antologi. Pertama kali
mengenalnya adalah ketika kami sama-sama ikut serta dalam lomba menulis
cerpen JUARA Grup Taman Sastra. Lomba yang pada akhirnya ‘mengeliminasi’
cerpen saya dan meloloskan punya Anum. Hehe.. ^^v
Pondok Autumn. Rumah mayanya yang terkadang juga menjadi tempat kami ‘ngobrol’ atau sekedar menikmati cappuccino hangat, minuman favorit kami. Di sana ia akan berbagi cerita tentang banyak hal yang sedang menggelayuti pikirannya. Ya, dari autumn –musim
gugur— Anum belajar memaknai sekeping fase kehidupan. Sesuatu yang bisa
kita renungkan, Teman. Benar. Kita. Berkunjunglah ke sana jika kalian
senggang. Bagaimana? :)
Pondok Delima; Saujana.. Sejauh Mata Memandang.
Aw
Wibowo. Saya memanggilnya Aw. Delapan belas bulan lebih muda dari saya.
Seorang yang asli Klaten tapi saat ini berdomisili di Cirebon. Secara
aklamasi kami menjadikannya koordinator SKETSA. ‘Sambel-sambel’nya cukup
pedas, khususnya, bagi saya. Meski greget juga saat dia tega
memberi nilai 5,5 pada cerpen saya, toh akhirnya ulekan pedas itu cukup
ampuh untuk meningkatkan kualitas tulisan saya. Thanks, Aw.
Pondok
Delima. Rumah mayanya yang juga beberapa kali kami kunjungi. Di sana,
kami akan melihat banyak hal sejauh mata kami memandang. Karena kami pun
bisa melihat dari sudut pandang yang berbeda, kan? :) Tak hanya itu,
suguhan manis masam menakjubkan delimanya terkadang masih terasa bahkan
ketika kita beranjak dari sana. Pernah suatu kali saya tanya filosofi
pondoknya, Aw tersenyum dan mengatakan bahwa delima adalah buah yang
istimewa. Ah, saya tak akan bercerita panjang lebar tentang ini. Teman,
datanglah dan rasakan sensasi masam menakjubkan merah delima di sana.
Pondok Hati; Membaca Dengan Hati, Berkarya Untuk Negeri.
Ibnu
Ar. Kami bertiga memanggilnya Mas Ibnu. Entahlah. Soal usia, ia tidak
pernah mengakuinya pada kami. Yang jelas ia pernah bilang bahwa kami
lebih pantas jadi adik-adik manisnya. Hmm.. penasaran juga soal usianya.
^^v.
Jika Pondok Autumn dan Pondok Delima masih ‘hanya’ rumah maya, maka Pondok Hati lain ceritanya. Tak hanya di dumai kami bisa mengunjunginya, namun jagat
dunia nyata pun kami bisa (meski untuk hal ini baru Aw yang
mengalaminya). Hal yang tentu saja membuat saya ‘iri’ tanpa kompromi.
Benar, Pondok Hati Mas Ibnu merupakan sebuah Taman Bacaan di Indramayu. Reading Park itu melayani antusias baca masyarakat yang tinggal di sekitar rumahnya. Well, saya berdecak ketika Aw berkisah panjang lebar tentang pengalamannya berkunjung ke sana. Someday, saya mungkin akan melakukan hal yang sama. Tunggu saja, Mas Ibnu. ^^v
Satu hal lagi tentang Pondok Hati. Hmm.. mungkin
dari Pondok Hati itulah Anum, Aw, dan saya serius merawat pondok-pondok
kami. Membaca dengan hati, berkarya untuk negeri. Semoga.
Pondok Kupukupu; Metamorfosa.
Tepat.
Ini tentang saya. Seorang yang tak punya alasan untuk tak bersyukur
atas begitu banyak nikmat Allah yang Mahabaik. Bahkan di dunia maya,
sebuah unlimited world yang tak juga tersentuh, saya –merasa—
mendapatkan banyak teman dan saudara. Orang-orang ‘entah di mana’ yang
memberikan saya banyak pelajaran berharga. Dan tiga di antara begitu
banyak orang itu adalah Anum, Aw, Mas Ibnu (Ah, saya begitu ingin
menyebutkan begitu banyak nama!!). Banyak hal yang mereka ‘ramu’ dan
‘rapal’, benar-benar membantu saya untuk melakukannya. Bermetamorfosa,
sebuah filosofi kupu-kupu.
Tak berlebihan kan kalau saya
menyebut ‘rumah’ maya dan juga ‘kapal pecah’ saya sebagai Pondok
Kupukupu? :) Seperti juga Pondok Autumn, Pondok Delima, dan Pondok Hati,
Pondok Kupukupu –di dunia maya— pun merupakan zona saya berbagi kisah.
Mengungkapkan ‘sesuatu’ yang saya harapkan tertebar ibrah. Tak hanya
saya, mungkin kalian pun bisa bermetamorfosa. Mau coba?
Itulah, pondok network kami. Mozaik-mozaik cerita yang sedang kami sketsa bersama. Masih abu-abu dan maya, memang.
Tapi mungkin suatu hari Allah yang Mahabaik menakdirkan peta dunia
mendeteksinya. Bisa jadi, kan? Ya, kelak kalian berkunjunglah, Teman.
Kami tunggu. Kelak. :) SEMANGKA!!
♥♥♥
-Pondok Kupukupu, 28 Sya’ban 1432 H
No comments:
Post a Comment