Tuesday 8 November 2011

Mozaik cerita sketsa maya

Oleh Faricha Hasan

Awalnya, menjadi seorang fesbuker hanyalah sebuah iseng untuk sekedar kabur dari penat yang saya rasakan. Tak ada sebuah target pasti kecuali hanya having fun saja and no more. Namun kemudian, banyak hal yang ternyata bisa saya ambil hikmahnya. Dunia maya, seperti yang banyak orang katakan, bisa berdampak positif atau negatif tergantung dari penggunanya. Jadi, alih-alih menyia-nyiakan waktu di dunia fesbuk hanya dengan sekedar iseng dan pelarian saja, saya mulai mencoba hal baru, membuatnya lebih berguna agar saya tidak termasuk orang yang merugi. Ya, ibarat pepatah, sekali dayung dua tiga pulau terlewati, saya mencoba memanfaatkan fesbuk sesuai hobi yang lama terpendam. Menulis. Sebuah hobi yang seperti terfasilitasi di jagat fesbuk dengan adanya fitur note yang kemudian merambah lebih luas dengan mengikuti berbagai lomba yang banyak diadakan secara online. Bersyukur, banyak akun di friendlist saya adalah para penulis, penerbit, atapun mungkin hanya sekedar penyuka buku yang menambah referensi kepenulisan saya. Ah, this is I called a gift. Thanks God for this.


Mulailah saya menjadi salah seorang ‘hantu’ lomba. Berbagai lomba menulis, sebisa mungkin saya ikuti. Meski masih lebih sering kalah dibanding menang, toh semangat saya mengikuti lomba tetap berkibar. Ketika kalah menghampiri, saya tetap merasa mendapatkan hadiah yang tak terkira. Sebuah pengalaman dan juga teman baru.

Seperti beberapa bulan yang lalu ketika sebuah penerbit indie yang menjadi teman di fesbuk saya, leutikaPrio, mengadakan lomba Kumcerku di leutikaPrio. Lomba yang menyatukan saya dengan tiga fesbukers di friendlist saya untuk berantologi. Kami berempat bertemu di dunia maya. Kami mempunyai hobi yang sama; sama-sama suka lomba dan sama-sama suka nulis. Klop, deh! Tanpa rencana, saya rasa, dalam hari hari melewati masa kreatif pengumpulan naskah cerpen, kami menjadi dekat laiknya sudah saling kenal di dunia nyata..

Satu bulan lebih berjibaku menyiapkan lomba itu nyaris membuat kami ‘diskusi’ hampir tiap hari. Saling tukar cerpen yang harus kami kasih ulekan sambel −istilah kami untuk menyebut kata kritik− ketika selesai menikmatinya. Tak mulus memang, di sela kesibukan kami masing-masing, seringkali banyak detlen yang meleset. Rencana onlen dan chatting bersama pun juga tak terwujud karena keterbatasan inet dan waktu yang lebih sering tak bisa kami padu padankan. Namun lagi lagi kami harus banyak bersyukur karena masih bersemangat melanjutkan perjalanan pena hingga naskah kumcer berhasil kami kirim. SKETSA 13, itulah judul cerpen utama (sekaligus judul kumcer) yang pada saat pengumuman lomba harus rela tak masuk dalam lima besar. Kecewa? Tentu saja.

Ya, tentu saja kami kecewa dengan sebuah kekalahan meski ini bukan kekalahan pertama kami. Namun kekecewaan tak selalu harus diratapi dan membuat sebuah keterpurukan, kan? Pun kami. Kami sepakat mengambil kesempatan menerbitkan kumcer secara indie seseuai tawaran leutikaPrio. Kesibukan baru. Kami berjibaku memvermak isi SKETSA 13. Karena bukan lomba, tak ada batasan jumlah cerpen, kami pun deal untuk menambah muatan cerpen kami hingga menjadi tujuh belas dan muncul judul baru. SKETSA 17. angka yang kata salah seorang di antara kami ‘angka keramat’. Hehe..mungkin. ^^v

Seperti yang saya katakan, selalu ada hikmah di balik kekalahan. Dan ada hadiah indah juga di dalamnya. Bagi saya pribadi, Allah yang Mahabaik menghadiahkan tiga orang saudara lagi dalam hidup saya. Tiga orang yang bahkan belum pernah saya temui di dunia nyata.

Pondok Autumn; Not an ending. It is a movement and a continuum (sekarang namanya ganti Pondok Semesta)

Fadila Hanum. Saya memanggilnya Anum. Empat belas bulan lebih muda dari saya. Seorang gadis Natar yang mengenalkan saya dengan tempoyak. Cerpenis handal yang ide-idenya seringkali membuat saya terperangah. Cerpen-cerpennya sudah termuat dalam beberapa antologi. Pertama kali mengenalnya adalah ketika kami sama-sama ikut serta dalam lomba menulis cerpen JUARA Grup Taman Sastra. Lomba yang pada akhirnya ‘mengeliminasi’ cerpen saya dan meloloskan punya Anum. Hehe.. ^^v

Pondok Autumn. Rumah mayanya yang terkadang juga menjadi tempat kami ‘ngobrol’ atau sekedar menikmati cappuccino hangat, minuman favorit kami. Di sana ia akan berbagi cerita tentang banyak hal yang sedang menggelayuti pikirannya. Ya, dari autumn –musim gugur— Anum belajar memaknai sekeping fase kehidupan. Sesuatu yang bisa kita renungkan, Teman. Benar. Kita. Berkunjunglah ke sana jika kalian senggang. Bagaimana? :)

Pondok Delima; Saujana.. Sejauh Mata Memandang.

Aw Wibowo. Saya memanggilnya Aw. Delapan belas bulan lebih muda dari saya. Seorang yang asli Klaten tapi saat ini berdomisili di Cirebon. Secara aklamasi kami menjadikannya koordinator SKETSA. ‘Sambel-sambel’nya cukup pedas, khususnya, bagi saya. Meski greget juga saat dia tega memberi nilai 5,5 pada cerpen saya, toh akhirnya ulekan pedas itu cukup ampuh untuk meningkatkan kualitas tulisan saya. Thanks, Aw.

Pondok Delima. Rumah mayanya yang juga beberapa kali kami kunjungi. Di sana, kami akan melihat banyak hal sejauh mata kami memandang. Karena kami pun bisa melihat dari sudut pandang yang berbeda, kan? :) Tak hanya itu, suguhan manis masam menakjubkan delimanya terkadang masih terasa bahkan ketika kita beranjak dari sana. Pernah suatu kali saya tanya filosofi pondoknya, Aw tersenyum dan mengatakan bahwa delima adalah buah yang istimewa. Ah, saya tak akan bercerita panjang lebar tentang ini. Teman, datanglah dan rasakan sensasi masam menakjubkan merah delima di sana.

Pondok Hati; Membaca Dengan Hati, Berkarya Untuk Negeri.

Ibnu Ar. Kami bertiga memanggilnya Mas Ibnu. Entahlah. Soal usia, ia tidak pernah mengakuinya pada kami. Yang jelas ia pernah bilang bahwa kami lebih pantas jadi adik-adik manisnya. Hmm.. penasaran juga soal usianya. ^^v.

Jika Pondok Autumn dan Pondok Delima masih ‘hanya’ rumah maya, maka Pondok Hati lain ceritanya. Tak hanya di dumai kami bisa mengunjunginya, namun jagat dunia nyata pun kami bisa (meski untuk hal ini baru Aw yang mengalaminya). Hal yang tentu saja membuat saya ‘iri’ tanpa kompromi. Benar, Pondok Hati Mas Ibnu merupakan sebuah Taman Bacaan di Indramayu. Reading Park itu melayani antusias baca masyarakat yang tinggal di sekitar rumahnya. Well, saya berdecak ketika Aw berkisah panjang lebar tentang pengalamannya berkunjung ke sana. Someday, saya mungkin akan melakukan hal yang sama. Tunggu saja, Mas Ibnu. ^^v

Satu hal lagi tentang Pondok Hati. Hmm.. mungkin dari Pondok Hati itulah Anum, Aw, dan saya serius merawat pondok-pondok kami. Membaca dengan hati, berkarya untuk negeri. Semoga.

Pondok Kupukupu; Metamorfosa.

Tepat. Ini tentang saya. Seorang yang tak punya alasan untuk tak bersyukur atas begitu banyak nikmat Allah yang Mahabaik. Bahkan di dunia maya, sebuah unlimited world yang tak juga tersentuh, saya –merasa— mendapatkan banyak teman dan saudara. Orang-orang ‘entah di mana’ yang memberikan saya banyak pelajaran berharga. Dan tiga di antara begitu banyak orang itu adalah Anum, Aw, Mas Ibnu (Ah, saya begitu ingin menyebutkan begitu banyak nama!!). Banyak hal yang mereka ‘ramu’ dan ‘rapal’, benar-benar membantu saya untuk melakukannya. Bermetamorfosa, sebuah filosofi kupu-kupu.

Tak berlebihan kan kalau saya menyebut ‘rumah’ maya dan juga ‘kapal pecah’ saya sebagai Pondok Kupukupu? :) Seperti juga Pondok Autumn, Pondok Delima, dan Pondok Hati, Pondok Kupukupu –di dunia maya— pun merupakan zona saya berbagi kisah. Mengungkapkan ‘sesuatu’ yang saya harapkan tertebar ibrah. Tak hanya saya, mungkin kalian pun bisa bermetamorfosa. Mau coba?


Itulah, pondok network kami. Mozaik-mozaik cerita yang sedang kami sketsa bersama. Masih abu-abu dan maya, memang. Tapi mungkin suatu hari Allah yang Mahabaik menakdirkan peta dunia mendeteksinya. Bisa jadi, kan? Ya, kelak kalian berkunjunglah, Teman. Kami tunggu. Kelak. :) SEMANGKA!!

♥♥♥
-Pondok Kupukupu, 28 Sya’ban 1432 H

No comments:

Post a Comment