Dengan kepala dingin mulai kembali merunut sebab, mengapa saya sampai sekesal ini, mengapa saya semarah ini. Lantas mencoba menyelesaikannya dengan baik-baik.
Ah, ternyata itu masih teori teman. Saya masih tak bisa mengontrol emosi. Mengontrol ekspresi tidak suka pada sesuatu atau pada sesiapa. Terlalu jelas. Saya bisa begitu
saja panas sampai ke ubun-ubun. Mungkin tidak perlu dilihat. Saya saja tidak
berani melihat cermin.
Mungkin saya memang terlalu sensitif. Menduga-duga,
merasa-rasa apa yang sebenarnya tidak terjadi (atau memang terjadi?). mungkin
itu memang salah. tapi tidak adakah yang mau mengerti? Saya lelah. Berlipat-lipat
kadarnya melebihi mereka yang lelah melihat saya. Sungguh. Saya lelah. Tapi saya
tidak berdiam diri bukan? Bisakah saya meminta untuk sedikit saja dimengerti? Mengapa
saya berkata seperti ini? Mengapa saya berfikiran seperti itu? Selalu ada
kolerasi atas sikap yang saya terima juga keadaan saya yang memaksa sikap itu
saya terima.
Saya tidak iri. Sungguh. Tidak pada sesiapapun. Sebab saya
tahu, masing-masing orang punya bagian-bagian tersendiri. Tidak mungkin saya
disingkirkan olehNya. Ada dua bentuk kasih sayangNya. Diberi suka atau diberi
duka. Dan memang jika detik ini saya sedang merasa duka. Lagi-lagi duka. Bisakah
saya merasa nyaman untuk menikmati duka itu? Bisakah saya sakit sendiri tanpa
perlu mendengar kalimat-kalimat (yang mungkin terdengar biasa) tapi buat saya
itu teramat nyeri.
Bisakah saya menikmati lapar tanpa perlu mendengar betapa
lezatnya santapa mewah yang bisa kalian nikmati sepuasnya? Bisakah saya
menikmati sepi tanpa perlu mendengar nama saya disebut-sebut dalam hingar
bingarnya celoteh kalian? Bisakah saya merasai sakitnya menjadi daun yang
berguguran sembari mengingat bahwa dosa saya sedang dihapus satu-satu olehNya?
Saya memang sedang berjalan diatas kerikil-kerikil tajam
tanpa alas kaki. Bisakah tidak melempari saya dengan kerikil lain? Bahkan mungkin
kalian hanya sekedar melempar saya dengan selembar kertas. Itu sakit. Sangat sakit.
Saya tidak ingin disindir-sindir. Ditatap aneh. Dibanding-bandingkan. Bahkan jika
tidak bisa memberi saya uluran tangan. Senyum hangat. Ucapan semangat. Apalagi
pelukan yang menguatkan. Bisakah hanya melihat saya tanpa berkomentar? Bisakah memberi
saya ruang agar tidak terlalu sesak oleh perasaan bersalah? Bisakah?
Saya tidak menginginkan hal lain. Selain satu jawaban: bisa
Terima kasih
No comments:
Post a Comment