Friday 30 December 2011

Pertanyaan-pertanyaanku dan jawaban-jawabanMu

Beri aku jawaban duhai pemilik langit. Atas tanya yang berkelebat tak henti. Beri aku jawaban. Atas apa yang telah berlaku di bumi. Beri aku jawaban. Kumohon.

Kuberi kau kesempatan untuk mengajukan lima pertanyaan terbesar dalam hidupmu…

*Kaget. Bingung. Siapa orang ini? Sesosok orang tua berwajah menyenangkan*

Semua manusia sesungguhnya memiliki pertanyaan-pertanyaannya kepada pemilik langit dan bumi. Kepada Sang Maha. Tentang hidup. Mengapa begini? Mengapa begitu? Mengapa aku harus melalui semua ini? Mengapa semua yang terlihat dirasa tidak adil. Mengapa? Berjuta mengapa. Mengambang penuh sesak dalam ruang jarak antara bumi dan langit. Dan kau hanya buih kecil dari samudera tanya, anak muda.

Kau siapa? Malaikat?

Hahahaha

*ia tertawa menyenangkan. Bukan untuk menertawakan pertanyaanku yang mungkin terdengar bodoh*

Kau tidak perlu tahu siapa aku. Diberi tahu pun kau tidak akan mengerti. Aku hanya akan menjawab pertanyaan-pertanyaan seumur hidupmu. Lima pertanyaan yang sebenarnya sudah ada jawabannya jika kau mau sedikit peka. Peka terhadap jawaban yang berserakan di sekitarmu. Ya disekitarmu. Tak jauh.


Dimana aku sekarang?

Dirumahmu. Bukankah kau baru saja membuatkan secangkir kopi hangat beberapa menit tadi? Sayangnya itu bukan untukku. Kau hanya membuatnya secangkir dan langsung menikmatinya sendiri


*aku menatap orang tua ini penuh tanya. Wajah yang teramat menyenangkan. Semenyenangkan menatap wajah langit malam dan rembulan yang manis terpajang diatasnya*

Kita ada dimana?

Ya Tuhan, ini di rumahmu!


***

Berpilin-pilin. Menerobos waktu di masa lalu.

Terlahir sempurna. Bahagia. Tanpa cela. Disambut bahagia.

Ada suara sumbang yang mengatakan, sepertinya kau memang tidak diinginkan untuk hadir kedunia. Namun nyatanya kau semakin sehat dan begitu mudah menyongsong dunia di kala subuh baru saja terbangun. Suara sumbang yang sebenarnya tercipta dari sekat-sekat pikiranmu sendiri. Dari rahim keegoisan dalam menilai sesuatu dari sisimu sendiri.
Itukah pertanyaan pertamamu? Mengapa aku harus lahir? Untuk apa menambah jumlah orang yang tidak berguna di muka bumi?


*gemetar. Mengapa orang  tua ini tahu? Siapa dia?*

Kau cukup sopan, anak muda. Meski tanya itu semakin tumbuh dalam dirinya. Namun kau mampu membuatnya tak keluar bahkan lewat mata dan bahasa tubuhmu. Tidak. Kau menyimpannya rapat.


Kau tahu. Tidak ada yang tidak berguna di dunia ini. Tidak ada yang tidak penting. Hidup nyatanya adalah benang. Antara hidup seseorang dengan orang lain terhubung layaknya benang-benang yang saling berhubungan. Satu dengan yang lain. Tak terpisah. Seperti sebuah lautan dan tetes-tetes hujan yang jatuh. Lautan itu adalah kumpulan titik-titik manusia. Dan hujan yang jatuh adalah manusia baru yang terlahir. Segera masuk ke dalam lautan kehidupan. Satu titik jelas tidak berpengaruh bagi lautan. Akan tetapi ia jelas berpengaruh oleh dan terhadap titik-titik lain yang bersinggungan dengannya. Semua berhubungan. Menjadi rumus hukum alam: ada sebab maka aka nada akibat. Sekecil apapun sebab pasti akan ada akibat. Sekecil apapun sebab, sangat mungkin menjadikan akibat yang luar biasa besar.

Dan kau. Mengapa kau harus lahir? Sebab kaulah yang akan mempengaruhi titik-titik hujan yang bersinggungan denganmu. Baik atau buruk pengaruhmu. Itu pilihan. Sebab kau melakukan ini. Maka pasti ada akibat bagi orang lain. Untuk apa menambah jumlah orang yang tidak berguna di muka bumi? Semua orang berguna, anak muda. Berguna untuk menjadikan sesuatu baik. Atau sebaliknya. Buruk. Dan lagi-lagi. Itu pilihan.


Ocehan orang tua berwajah menyenangkan ini sama saja dengan ocehan-ocehan manusia yang terkadang hanya manis di ucapan. Nihil perbuatan. Tanpa sadar, sudah lama aku muak dengan semua. Menjadi baik. Menjadi buruk. Itu pilihan. Yeah. Pilihan. Lantas lucunya, pilihan menjadi baik adalah pilihan manis yang harus terbayar oleh perjuangan ‘mahal’. Tidak ada yang pernah menyangkalnya. Orang-orang baik lebih banyak mendapat derita lebih banyak dibanding orang-orang jahat. Menjadi orang baik nyatanya lebih berat. Lantas apa salahnya menjadi jahat? Apa salahnya menjadi buruk? Jika nantinya derita yang dirasa jauh lebih ringan

Hahahaha. Kau mungkin benar atas justifikasi bahwa kebanyakan orang baik justru menemukan derita yang jauh lebih besar. Aku pun bahkan masih tidak mengerti tentang itu. Beberapa kali tersudut jeri menyaksikan kepahitan demi kepahitan. Mengapa rasanya hidup ini tidak adil? Itukah pertanyaan keduamu? Mengapa Dia begitu memudahkan jalan mereka yang tak perduli, sombong, kaya, jahat, licik? Mengapa justru orang-orang baik tertimpa derita bahkan dari hal yang teramat sederhana. Kelaparan, kurang gizi, miskin, papa.


Jangan pungkiri ada banyak orang baik yang kaya. Pun jangan pungkiri ada orang sombong yang miskin. Siapakah yang menciptakan persepsi bahwa kaya itu baik dan miskin itu buruk? Cantik itu baik dan jelek itu buruk? Pintar itu baik dan bodoh itu buruk? Siapakah yang menciptakan persepsi itu? Manusia. Ya. Kalian. Manusia.


Ketahuilah anak muda, segala yang ada di dunia nyatanya tercipta berpasangan-pasangan. Hanya Dia yang ganjil. Satu saja. Tidak ada yang salah dengan miskin, pun juga kaya. Apalagi cantik, juga jelek. Tidak ada yang salah dengan pasangan-pasangan yang sesungguhnya ada untuk saling bersinggungan dan mengeratkan satu sama lain. Lagi-lagi, anak muda. Meski bosan kau mendengarnya. Jelas nyatanya bahwa hidup adalah pilihan. Pilihan untuk menjadi ikhlas dan bahagia. Atau sebaliknya.


Jawablah. Untuk dirimu sendiri. Bagian mana untukmu yang dirasa kurang adil? Kau sakit? Tidak. Kau cacat? Tidak. Kau kelaparan? Tidak. Lantas dimana rasa tidak adil itu bersemayam jika di detik yang sama, dia yang sedang sakit, dia yang cacat, dia yang kelaparan justru mengucap syukur. Justru ridha atas kehendakNya. Bukankah mereka yang lebih berhak berkata tidak adil? Setiap manusia memiliki pertanyaan demi pertanyaan besar dalam hidupnya. Namun hanya beberapa yang mendapat jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu.


*aku mendengus. Sesak. Benar. Aku pun menyadari itu. Tapi…*

Apakah pertanyaan ketigamu?


Untuk apa anda bertanya. Bukankah yang dua sebelumnya anda amat tahu?

*Enggan. Sebenarnya enggan*

Hahahaha. Baiklah. Kau tahu mengapa kau diberi kesempatan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan besar seumur hidupmu? Karena meski kau bertanya. Kau tidak pernah mengeluarkan itu dalam lisanmu. Meski kau mengeluh, kau bisa melahirkan menjadi semangat. Meski kau merasa tidak bahagia, kau mampu tersenyum. Itu cukup menjadi alasan.


* Masih ada takut. Masih ada harap. Masih ada asa. Pun juga mimpi*

Jujur. Aku memang akrab dengan keluh beberapa bulan terakhir. Lebih nyaman berduaan dengan kesah. Meski sendiri. Menafikan semangat dan menertawakan ia yang dirasa sok akrab. Memutarbalikan harap. Positif jadi negatif. Lebih jadi kurang. Ah, sudah seberapa jauh aku melangkah? Jauh. Hingga tak lagi mampu melihat titik dimana awal mulanya aku salah melangkah. Bisakah aku berharap. Inilah kesempatan yang Dia beri padaku?

*airmata berdesak-desakan ingin tumpah. Tak lagi terbendung. Dada sesak*

Sudah kubilang, anak muda. Kau sungguh sopan. Namun tanpa sadar kesopananmu justru mampu membuatmu bak robot yang tak lebih dari sekedar menjalankan perintah tuannya. Kau merasa. Namun tak hendak mengubah semua. Sadarlah.


*Benar. Sangat benar. Teramat benar. Sungguh-sungguh benar*

Mengapa aku lebih dekat dengan kegagalan? Kesia-siaan? Usaha keras pada tempat yang salah.


Itulah pertanyaan ketigamu. Kau merasa mampu. Itu benar. Sungguh, kau sangat mampu. Usaha sedikit saja kau lebihkan diatas kebiasaanmu. Maka hasil yang kau dapat akan jauh berlipat-lipat dari orang kebanyakan. Kau sudah berjuang dengan keringat dan darah. Airmata dan letih yang teramat sangat. Tidak mudah. Kau yakini di setiap langkahmu, ucapan cinta dariNya: di setiap kesulitan pasti ada kemudahan. Kau tanamkan bisikan indah dariNya: Tiap-tiap hamba diberi ujian sesuai dengan kemampuannya. Namun hingga detik yang kesekian, kau tak jua menemukan ujung yang bernama berhasil. Itulah sebabnya kau merasa selalu ada gagal di setiap titik perjalananmu.


*semakin jauh aku melangkah. Semakin aku merasa tak mampu*

Kau benar. Itulah sebabnya aku disini untuk mejawab semua pertanyaan-pertanyaan besarmu.


Kau tahu, anak muda. Syarat Dia memberi jawaban indah pada setiap usahamu ada pada titik nol. Di satu titik tempat kau menyungkur penuh penyerahan. Zero. Itulah titik dimana Dia akan memberikan One untukmu agar bisa menjadi Hero. Tidak ada kata zero jika dalam hatimu masih bersemayam benih sombong dan angkuh. Sombong. Kau sungguh sombong anak muda! Kau angkuh oleh kelebihan yang kau rasa diatas orang-orang kebanyakan. Sombong yang tertanam dalam dirimu tumbuh subur tersiram oleh rasa dengki juga dugaan-dugaan yang menghakimi. Kau lebih banyak menyalahkan orang lain. Merasa lebih baik dari si A. jauh lebih baik dari si B. lantas itulah yang menyebabkanmu sibuk atas tanya keempatmu: mengapa mereka bisa mendapatkannya? Sedangkan aku tidak?


Kau tahu jawabannya anak muda. Jawaban yang ku dengar bahkan kau ucapkan di sela-sela lelahmu. Bahwa tiap-tiap hamba diberi ujian sesuai dengan kemampuannya. Bahwa setiap orang sudah memiliki rezekinya masing-masing. Bahwa diantara usaha yang sunggguh-sungguh dan berhasil ada jarak yang kau isi dengan sabar. Bahwa selalu ada hikmah dibalik semua peristiwa.


Kau tahu. Amat tahu. Tapi pernahkan jawaban itu masuk kedalam hatimu? Menerobos masuk dan tertanam disana? Membunuh paksa tanaman sombong dan dengki yang telah berakar kuat. Pernahkan? Bahkan kau tidak mau membuka pintu!


*terdesak-desak. Sesak*

Kau bahkan berani bertanya lagi. Tak bisakah aku seperti mereka? Yang seketika bertemu cita. Yang dimudahkan. Yang diperhatikan. Yang diberi cinta dan sayang berlimpah-limpah.


Kau tidak tahu bukan. Sepanjang perjalanan yang kau rasa selalu ditemani oleh gagal, adalah perjalanan yang terus menempamu menjadi bijak. Menjadi peduli pada sekitar. Menjadi sadar bahwa harta apalagi tahta tak mampu memberi cinta. Menjadi sederhana adalah pilihan tepat. Tersenyum disaat luka tak selalu miris terasa.


Pernahkah kau berfikir, jika langsung menemui cita. Diberi mudah. Kau tak akan paham bahwa setiap manusia terlahir istimewa. Kau akan terus merendahkan orang lain yang kau rasa jauh dibawahmu. Kau tidak akan dekat dengan anak-anak. Kau tidak akan mengerti betapa berartinya uang kecil bagi seorang papa.


Lewat jalan itu. Kau bisa merasa betapa direndahkan dan dihinakan sangat tidak enak rasanya. Maka kau bertekad untuk tidak pernah melakukannya. Kau bisa merasa betapa kesulitan akan mampu mengajarkan peduli pada sekitar. Kau bisa merasa sakit hati oleh ucapan-ucapan negatif, komentar-komentar miring, nada-nada nyinyir yang memang ditujukan padamu. Kau bertekad sejak itu. Tidak akan keluar satu huruf pun dari mulutmu perkataan serupa. Sikap serupa. Terhadap orang lain. Kau lebih mampu menghargai. Membuang jauh-jauh rasa lebih diatas orang lain.
Kau tidak tahu itu bukan?


*semakin terdesak-desak. Semakin sesak*

Itulah lima jawaban untukmu, anak muda. Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan besarmu. Selamat. Kau beruntung. Dia menunjukkan jalan agar aku menemuimu. Ada banyak pertanyaan dimuka bumi yang tidak terjawab. Bahkan mungkin tidak perlu terjawab.


Sekali lagi. Hidup adalah pilihan. Kau masih memiliki waktu untuk memilih.


tugasku sepertinya selesai. aku harus pergi. kembali menjalankan perintah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan besar manusia.


*teramat terdesak-desak. Teramat sesak*

Astaghfirullah’aladzim. Alhamdulillah wa syukurillah. Laa haula walaa quwwata illa billah…

#aku tidak berhenti menangis. Tidak ingin berhenti menangis. Rasanya sesak sekali.  Segala puji bagimu ya Robbi…

-------------------------------------------------------------------------------------------

Footnote: jazakumullah khairan katsiran buat Aw. Atas ‘hadiah’ yang tak ternilai harganya. Buat Anggun. Atas obrolan rasa cinta yang membuatku tertampar dan insyaAllah sadar. Buat bang Darwis Tere Liye yang sudah berbagi dengan menuliskan novel yang lagi-lagi indah *rembulan tenggelam di wajahmu*. Buat Anum. Atas pertanyaan-pertanyaan dan jawaban-jawaban. Berjuanglah num! Berjuanglah!^^


berkaca pada novel rembulan tenggelam di wajahmu. karya Tere Liye


No comments:

Post a Comment