Tuesday 26 July 2011

dua puluh tujuh: dua puluh empat



Bismillahirrahmaanirrahiim...

27 juli 2011. Pukul 04.30 a.m. Umur 24.

Tak ada yang istimewa sebenarnya. Toh, saya pun tak begitu membuat hari lahir menjadi istimewa. Beberapa kali saya lupa. Beberapa kali sengaja lupa. Entahlah. Saya hanya surprise sendiri dengan angka dua puluh empat. Bukankah itu jumlah yang tidak sedikit? Di titik itu, sedang dimana saya berdiri? Apa yang sudah saya dapat? Dan apa yang sudah saya perjuangkan?

Entah sejak kapan. Rasanya masih sama. Rasa yang mungkin suatu saat terkenang. Memorabilia tentang perjuangan. I hope it. Ya! Saya sedang berjuang. Seperti ber-takterhingga mahluk-mahlukNya dimuka bumi. Sebab memang hidup adalah perjuangan.

Someday after this darkness clear up
I hope the warm sunshine dries these tears
But wait it’ll come
Although the night is long, the sun comes up

Someday... someday...

Masih harap. Masih khawatir.

Someday. When?

Tanya skeptis yang tak seharusnya muncul dari dinding hati. Tapi toh ia tetap bergema. Memenuhi sekat-sekat sabar. Hendak pecah. Saya merasa saya sudah berjuang (tanpa lupa bahwa sudah dan masih amat sangat berbeda). Astaghfirullah. (Semoga Engkau kembali menyematkan ‘masih’ juga ‘terus’ dalam diri hamba ya Robbi)


27 juli 2011. Pukul 04.30 a.m. Umur 24.

Dua puluh empat. Tentang usia. Tentang harapan dan mimpi-mimpi.

Ibadah

Allah, Rabbku dan Rabbmu yang setiap jiwa berada dalam genggamanNya. Tentu tak terhingga rasa syukur untukNya, pun masih belum cukup membayar semua. Tak akan pernah cukup. Alhamdulillah. Dia masih memberi kesempatan untuk terus menikmati hidup, mensyukuri cinta, belajar pada duka juga suka. Astaghfirullah. Atas diri yang masih teramat jahil. Masih sangat minim. Syukur padaNya, cinta pada rasulNya, kasih pada dua orbit tersayang, pun cinta tumpah ruah pada sesama. Masih amat sangat minim.

Masih terus belajar mencintaNya. Masih terus merangkak mendekatiNya (Alhamdulillah ‘masih’). Membaca ayat-ayat cinta dalam qauliyah maupun kauniyah. Ah, betapa Ia dan RasulNya sudah membuat saya terus-terusan terpesona oleh cinta.

Keluarga

Saya amat bersyukur atas adanya saya diantara mereka. Keluarga yang terus-terusan mengajari saya banyak hal. Madrasah ilmu bernama mami dan abi. Tentang perjuangan, harapan, doa, ibadah, cinta, sabar, mengerti dan dimengerti, memahami dan dipahami. Tentang cita-cita yang terus-terusan bergema di dinding hati kami.

Ah, saya tentu belum mampu membuat binar mata paling bahagia dan senyum paling indah mereka yang ditujukan pada saya. Pun juga belum mampu menyeka airmata yang mengalir dengan perjuangan saya. Saya masih sering membuat kesal dan marah. Masih juga banyak pilihan-pilihan saya yang tidak sejalan. Tapi saya yakin, mereka pun yakin. Kepingan-kepingan puzzle memang berbeda, namun justru itulah yang membuat mereka saling melekat satu sama lain dan membentuk gambar yang nyata. Sungguh, saya mencintai mereka tanpa kata. Seperti cinta setitik bintang pada malam. Semoga kami dapat kembali berkumpul di jannahNya*,*

Diri

Saya masih saja kurang mampu mengontrol emosi. Masih suka gugup saat bicara di depan umum. Masih suka buang-buang waktu. Masih suka dengan kapucino (ingin beralih ke buah-buahan).

Saya tau apa yang mesti saya ubah. Tapi benar-benar tidak mudah. Ah, untuk urusan satu ini. Cukup saya dan Allah saja yang tahu bagaimana rupa dan permak yang akan dilakukan padanya.

Pekerjaan

Saya masih berharap. Masih (memaksa untuk) semangat. Terus-terusan (menodong diri) berfikir positif. Bahwa semua akan indah pada waktunya. Bahwa masing-masing hamba memiliki ‘jatah’nya. Sepertinya saya sudah bosan. Terlebih pada tanya “kerja di mana sekarang?” Pertanyaan yang sama sekali sedang tidak ingin saya dengar akhir-akhir ini. Setelah sebelumnya saya jawab dengan ringan. Kebanyakan mereka berkenyit dahi atas jawaban saya: usaha kecil-kecilan dirumah, buka bimbel, budidaya ikan, sambil persiapan untuk tes (kerja) dan (mimpi) beasiswa S2. Akan ada tanya berikutnya : “ga melamar kerja?”. Pertanyaan kedua yang juga sama sekali sedang tidak ingin saya dengar. Pun sebelumnya saya jawab dengan ringan dan pendek: melamar kok.

Tanya berikutnya, terus-terusan beranak pinak dan lagi-lagi sama sekali sedang tidak ingin saya dengar. Dimana? Kenapa? Bagaimana? Dengan respon tatapan tidak percaya. Dan jujur sejak itu, saya malas mendengar such questions.

Saya sadar. Amat sadar. Mungkin sebab ingin saya yang bercabang. Tidak fokus. Saya ingin sekali menjadi dosen. Dan sedang cari info sana sini beasiswa S2. Tidak ada yang tahu sebelum ini. Tentu ingin itu tidak terucap, saya tidak ingin kembali menjadi beban kedua orbit tersayang disaat semestinya sudah waktunya saya yang membantu mereka. Di sisi lain, saya melamar kerja ke beberapa tempat, seperti kakak saya, saya pun ingin secepatnya binar mata paling bahagia juga senyum terindah kedua orangtua juga tertuju pada saya. Tapi hingga detik ini, Allah berkehendak lain. Dan yakin itu masih tertancap kuat: Bahwa semua akan indah pada waktunya. Dan binar mata bahagia juga senyum indah itu pun ada untuk saya. Saya masih berlari. Masih kuat untuk berlari.

Cinta

Tentang ia. Tentu ia dalam arti sempit. Sesosok cinta yang namanya sudah tertulis di lauhf mahfudz. Sosok yang terus-menerus kusebut dalam doa, agar Allah menjaga hatinya. Ah, mungkin memang belum saatnya saya membicarakan ia. Dua puluh empat. Saya nyaris mendekati angka dua puluh lima. Satu titik yang pernah saya sebut sebagai titik maksimal saya untuk menggenapkan setengah dien. Mau tidak mau, detik ini saya kembali memikirkan ia, dan ingin membicarakan ia.

Ia yang saya inginkan bisa menyaingi selera humor saya. Ia yang tertawa dengan wajah bahagia saat saya melupakan sesuatu, saat ‘melongo’ oleh sesuatu, saat harusnya tak suka tapi suka oleh sesuatu. Ia yang bisa meladeni perkataan saya tentang hidup, mimpi, ilmu, cita, juga perjuangan. Tak lelah menyimak saya bicara tentang apapun. Tak heran dengan sikap saya yang tiba-tiba bisa menjadi begitu pendiam. Ia yang tak lelah mengajari saya dan tak henti memberi charger iman. Ia yang dengan wajah sumringah mau saya paksa bersepeda keliling kompleks, memancing, juga apapun yang menurut saya sangat seru. Tidak protes dengan sikap ‘autis’ saya ketika sedang berdua-duaan dengan buku juga menulis. Ia yang dengan senang hati membaca tulisan-tulisan saya ketika saya memaksanya membaca. Ia yang sangat menikmati karya-karya saya, mengerutkan kening, dan kritis memprotes isinya.

Ia yang juga senang dengan anak-anak. Masuk ke dunia mereka. Tak canggung bermain juga tertawa-tawa. Membaca mata mereka dan belajar darinya. Ia yang berbeda dari saya, tapi juga menikmati perbedaan itu. Tak mengerti tapi menikmati, heran tapi menikmati, geleng-geleng kepala tapi tersenyum indah. Ia yang berterus terang pada saya apa yang ia inginkan dan harapkan dari saya, dengan cinta dan ridhoNya akan saya lakukan.

Ah, saya terlalu jauh mungkin. Tapi harapan adalah doa. Dan ia adalah bait-bait doa yang selalu terdendang di hati saya.

27 juli 2011. Pukul 04.30 a.m. Umur 24.

I have a dream
I believe in that dream
One day I will pass over that wall
And be able to fly
As high as the sky
This heavy thing called life can't tie me down
At the end of my life, on the other day that I can smile, let's be together

Saya punya mimpi. Dan masih punya mimpi.

Someday my painful life n heart will get well... InsyaAllah

Amin Allahumma amiin...

Nb: aminkan juga ya? ^^

3 comments:

  1. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  2. Aamiinn.insyaAllah.

    semangat, Num!!

    Allah mahabaik..sangat baik:)

    ReplyDelete
  3. semangat!!!!!

    iya mbak, amat sangat baik ;)

    tarararengkyu....muah! hehe

    ReplyDelete